(Sebuah Refleksi di Bulan Kesehatan Jiwa)
(Tulisan Berlanjut ke Bagian 2) - Klik Disini
(Tulisan Berlanjut ke Bagian 2) - Klik Disini
Oleh Vini Arviani Azzahra*)
Tak terasa sudah tiba lagi hari Sumpah Pemuda, sebuah hari dimana peran serta identitas pemuda mendapat porsi perhatian kita semua. Namun sering ada yang luput dari perhatian kita bahwa kualitas seorang pemuda sangat ditentukan pada masa perkembangan sebelumnya yaitu masa remaja dan masa anak-anak.
Kita memiliki hari anak-anak nasional. Kita juga memiliki hari pemuda, namun kita tidak memiliki hari remaja. Semoga hal ini bukan karena masayarakat kita mengabaikan betapa pentingnya masa remaja. Pada tulisan ini penulis ingin mengajak pembaca guna menyelami apa itu masa remaja terutama ditinjau dari aspek kesehatan jiwa.
Remaja dalam bahasa latin disebut adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Adolensence bisa kita artikan sebagai masa perkembangan transisional antara masa anak dan masa dewasa. Transisi ini mencakup perubahan biologis, kognitif, serta sosial-emosional.
Remaja adalah individu yang teramat unik dengan berbagai macam proses perkembangan yang harus dilewatinya baik secara psikologis maupun fisik. Akan tetapi pada umumnya proses pematangan fisik terjadi lebih cepat dari proses pematangan kejiwaan.
Adapun kaitannya dengan kesehatan jiwa kita bisa melihat Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 pasal 1 ayat 1 tentang kesehatan dikatakan bahwa ”kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis”. Pada realitanya, banyak sekali masyarakat yang menaruh fokus pada upaya meningkatkan kesehatan fisik semata dan kurang memperhatikan faktor non fisik (jiwa).
Perkembangan Jiwa Remaja yang Bertumpu pada Lingkungan
Berbicara lingkungan, maka lingkungan yang paling pertama dikenal oleh manusia adalah lingkungan keluarga. Dalam hal ini, orang tua /wali lainnya adalah aktor utama dalam hal menjaga kondusifitas lingkungan yang membentuk serta mengarahkan perkembangan jiwa remaja dengan sebuah istilah yang dinamakan pola asuh.
Pertanyannya kemudian pola asuh yang seperti apa yang harus diterapkan sebagai proses sosialisasi yang baik untuk anak pada usia remaja? Seringkali orangtua / wali yang berada pada lingkungan keluarga selalu berpikir praktis dalam menerapkan pola asuh. Mereka memilih pola asuh yang otoriter untuk digunakan sebagai proses sosialisasi terhadap anak di usia remaja. Akan tetapi, pernahkan oran tua / wali keluarga berpikir atas dampak dari pola asuh yang otoriter?
Pola asuh yang otoriter berpengaruh pada perkembangan kepribadian remaja. Ia akan menjadi seorang penakut, tertekan, tidak memiliki rasa percaya diri, merasa tidak berharga sehingga proses sosialisasi merasa terganggu. Namun, tidak dianjurkan pula bagi orang tua / wali keluarga untuk menerapkan pola asuh yang permisif ( serba membolehkan ; suka mengizinkan ), karena dengan pola asuh permisif, orang tua / wali keluarga secara tidak langsung telah menumbuhkan sikap ketergantungan dan sulit menyesuaiakan diri dengan lingkungan sosial keluarga pada diri remaja.
Lantas bagaimanakah pola asuh yang ideal? Pola asuh yang terbaik adalah pola asuh demokratis, seperti prinsip negara demokratis dimana suara rakyat harus didengar begitu juga dengan suara anak pada keluarga juga patut diperhitungkan. Penerapan aturan dalam keluarga anak juga perlu dilibatkan saat membuat aturan dan penerapan aturan tersebut. Dengan langkah awal, menghargai cara pandang anak terlebih dahulu, dengan kunci orang tua / wali keluarga harus mau “tepo saliro”, sehingga tau apa yang anak lihat, rasakan dan inginkan. Berikan kesempatan pada anak untuk memberikan pendapat.
Tugas orang tua dalam pola asuh demokratis ini adalah menetapkan konsekuensi positif dan negative dalam aturan yang disepakati bersama. Dengan contoh, ketika melanggar aturan maka si anak akan mendapat hukuman dan ketika mentaati aturan maka si anak akan mendapatkan reward (penghargaan). Pola asuh demokratis akan menimbulkan keseimbangan antara perkembangan individu dan sosial sehingga anak memperoleh suatu kondisi mental yang sehat.
Selain lingkungan rumah, lingkungan sekolah pun sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa remaja yaitu dalam hal kedisiplinan, kebiasaan sekolah, pengendalian diri dan bimbingan guru. Sedangkan pada lingkungan teman sebaya, bisa dikatakan sebagai lingkungan yang sulit untuk dijamah oleh orang tua / wali keluarga. Kelompok sebaya memiliki dunianya sendiri, dimana nilai yang berlaku bukanlah nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman seusianya. Pada nilai tersebutlah letak bahaya di lingkungan teman sebaya.
Sosial budaya dan media massa, dua hal yang berpengaruh dalam perkembangan remaja. Semakin lunturnya budaya lokal akibat masuknya budaya luar berakibat pada terjadinya pergeseran nilai kehidupan dan menyebabkan konflik nilai yang dapat berakibat terjadinya penyimpangan perilaku pada remaja. (bersambung ke bagian 2)
Penulis adalah: Mahasiswa Semester 7 Program Studi Kesehatan Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kuningan
Inspiratif.. :)
BalasHapusTerimakasih..
BalasHapusAsyik, makin banyak mempublish beginian, ya... Biar banyak yang terinspirasi, terutama para kaula muda yang kurang memerhatikan pendidikan dan literasi.
BalasHapus