Karya: Dendy Fitriyandi
Cerpen (3 Bagian)
Bagian 1
Malam syahdu menembus keheningan di sebuah pedesaan kecil, sama halnya diriku nyaris tak bersua dengan hiruk pikuk kota-kota besar nan jauh disana. Dinginnya malam ini terhangatkan oleh bara kesetiakawanan.
Di temani oleh sosok berbadan agak kurus, berambut pendek bergelombang belah pinggir, brewok kasar menyasar pinggir-pinggir wajahnya, dan cukup tinggi untuk ukuran tinggi badan orang Indonesia.
“Tak perlu berisik kawan, rebahkan saja ragamu itu di atas ranjangku satu kali dua meter itu. Apalagi yang kamu pikirkan? Istri dan anakmu aman, sudah tak perlu kamu risaukan, Jon. Oh iya, Ini persedian obatmu tinggal sedikit, hanya untuk empat hari kedepan. Jadi, hari lusa nanti kamu bisa konsul lagi dengan dokter Muhur, dokter langgananmu itu. Sekarang tidurlah setelah minum obat kuning ini. Malam ini cuaca benar-benar kurang bersahabat.”
Ketika Jono terlelap dalam mimpi, diriku justru membayangkan nasibnya dalam lamunan berat dan kegelisahan tak berujung sembari ditemani angin malam yang meraba-raba bulu kudukku. Mungkin, bagiku ini seperti lamunan kekesalanku kepada Tuhan, yang dimana Jono selalu jadi bahan pergunjingan tanpa akhir oleh lingkungan tempat dia tinggal. Jono sebenarnya tinggal di sebuah perumahan elit yang cukup jauh jaraknya dari desaku ini.
Dia sengaja menginap di rumah mungilku ini, karena dia akhir-akhir ini terlihat mudah sekali gusar akibat anggapan-anggapan negatif dari tetangga sekitarnya itu yang menganggap bahwa Jono itu sosok manusia buas yang mampu membinasakan apa yang dia lihat.
Tak di sangkal memang, kala itu akupun pernah melihat langsung Jono mengamuk sambil mengacung-ngacungkan golok karatan miliknya di hadapan orang-orang disana.
“Hei kalian setan, jangan macam-macam dengan saya ya! Atau saya akan bunuh kalian semua. Saya tidak pernah takut dengan setan, ingat itu baik-baik!”.
Ungkapannya itu masih terngiang-ngiang jelas dalam pikiranku sampai saat ini. Suasana benar-benar gaduh dan mencekam saat itu. Tapi ah sudahlah itu masa lalu, lebih baik malam ini ku rehatkan dulu lamunanku dalam tidur singkat ini. Besok pagi, aku harus berkebun lagi.
Menjelang Pagi..
“Ndi.. Ndi... bangunlah cepat, ini sudah jam tujuh lewat. Ayam sudah malas berkokok itu. Pagi ini Kau seharusnya berkebunkan?” bisiknya sambil menggoyang-goyangkan tubuh gempalku.
Jujur saja, ketika itu mataku seolah berat membukakan kelopaknya, padahal jelas Jono yang baik hati itu sudah berusaha membangunkanku untuk segera pergi berkebun.
“Iya, aku udah bangun ini, Jon.. Sabar napa.. aku perlu mengehela nafas dulu biar gak tegang kepalaku ini” gumamku.
Sambil mengucek-ngucek mataku dan perlahan membukakan mata ini, ku lihat sosok pria jangkung kurus berambut klimis basah dan berpakaian rapih dengan setelan kemeja merah bergaris putih kelabu horizontal serta dipadukan dengan celana bahan hitam tepat di sampingku tersenyum sambil berdiri bak model catwalk sedang bergaya.
“Tumben pagi-pagi seperti ini kamu sudah berpakaian rapih, memang mau kemana??” tanyaku penasaran.
Namun, seketika dengan gerakan kakunya yang khas, Jono menuju ke arah dapur lalu membawakan secangkir kopi hangat kepadaku. Tanpa ragu, aku beranjak dari kasur dan ku cicipi langsung kopi buatannya yang ternyata sangat nikmat sekali.
Menurutku, perpaduan kopi pahit dan gulanya pas. Kenikmatan kopi hitamnya juga luar biasa enak. Hal ini tidak terlepas dari kebun kopinya. Ya, Jono adalah seorang petani kopi sukses yang termashur kemana-mana. Hasil buah kopinya juga memiliki kualitas dan cita rasa yang prima. Jangan heran, kalau kopinya sampai di ekspor ke luar negeri. Berbeda denganku, yang hanya seorang petani jagung dan petani kelapa biasa.
Tapi lagi-lagi yang membuatku penasaran itu, Si Jono ini sebenarnya mau kemana? Dengan penampilan rapih formal bagai dirut perusahaan yang mau menghadapi presentasi hasil kerja di hadapan para stakeholder ini. Jangan-jangan Jono mau menghadiri acara undangankah? Atau ke rumah mertuanya?? Setahuku, perkebunan kopinya sudah diturunkan dan di kelola penuh oleh anak laki-laki pertamanya, Delon.
“Gimana tidurnya semalam?” tanyanya
“Cukup Nyenyak, meskipun mimpiku tadi agak kurang menyenangkan. Oia, terima kasih buat kopinya. Ngomong-ngomong, sebenarnya kamu ini mau kemana, Jon?
“Ku kira ini bukan sesuatu hal yang penting. Hanya ingin pergi ke suatu tempat yang cukup menarik bagiku.” Ujarnya sambil senyum-senyum.
Tepat pukul delapan pagi, Jono bergegas ke luar sembari pamit kepadaku. Dia hanya menebar senyumnya yang terkesan agak dipaksakan. Saat bersamaan, aku juga pergi untuk berkebun. Maklum, pagi ini aku harus memberikan pupuk sekaligus membersihkan sampah anorganik di kebunku. Tak jarang kebunku digemari sebagai tempat bermain anak-anak, ya wajar kalau banyak sampah plastik berserakan.
Kebunku sebenarnya tidak jauh dari rumahku, jaraknya sekitar seratus meteran ke arah barat dan jika berjalan kaki akan terasa sangat menyenangkan karena dikelilingi pohon-pohong cukup besar yang rindang hijau di setiap pinggir jalan menuju arah kebun jagung.
Sesampainya di kebun, sejenak aku melihat sekitaran sampai ke sudut-sudut kebunku. Terlihat berdiri kokohnya lima belas pohon kelapaku yang saling berjajar dan berhadapan satu sama lainnya di sebelah barat kebunku. Sedangkan, jagungku juga tidak banyak, hanya dua puluh buah saja berjajar berdekatan di sebelah selatan dan timur kebun.
Disisi lain memang sangat terlihat jelas juga sampah plastik, kertas, dan lain sebagainya berserakan tersebar dimana-mana. Bagiku hal yang biasa melihat kondisi seperti ini. Ya, beginilah kegiatan sehari-hariku dalam mengurus kebun seluas enam ratus meter persegi ini. Terlihat membosankan tapi sebenarnya menyenangkan jika dikerjakan dengan kesungguhan hati. Lain kali, aku coba pasangkan papan larangan buang sampah sembarangan di area kebun ini. Ku pikir kelak anak-anak itu pasti akan mengerti jika bermain lagi disini tanpa harus meninggalkan remah-remah sampah.
Menjelang Siang..
Waktu berputar terasa cepat sekali, tak terasa sudah menunjukan pukul satu siang saja. Panas terik seperti ini aku harus segera berteduh dulu di gubuk reyot yang ada di pinggir kebunku. Tidak besar ataupun kecil, setidaknya gubuk ini bisa menutupi sengatan panas matahari. Namun, di sela-sela rehatku ada hal yang mengganjal dalam benakku terkait Jono. Yaitu, perihal sakitnya, keluarganya dan kepergiannya pagi tadi. Padahal angin disini sejuk sekali, tapi entah kenapa pikiranku seperti kudapan berkerak yang sulit dibersihkan terkait si pria kurus ini. Setelah beres ini, aku pengen cepat istirahat jika tiba di rumah nanti. Pegal rasanya punggungku ini setelah memunguti sampah-sampah disini. (bersambung ke bagian 2)
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.