(Bagian 1)
Oleh: T. Chaskey
Divisi Senja Merah Komunitas SAUNG INDUNG
Divisi Senja Merah Komunitas SAUNG INDUNG
Pada masa kepemimpinan Panembahan Girilaya di Cirebon, terdapat kisah heroik nan menarik yang berkaitan dengan salah satu daerah yang berada di sisi paling timur Kuningan, yaitu daerah Cibingbin.
Kisah itu bermula saat Amangkurat I murka kepada Cirebon karena dianggap tidak mau tunduk kepada kekuasaan Mataram dan memberi tempat kepada para pelarian asal negeri pedalaman itu. Sang Susuhunan pun memerintahkan salah seorang adipatinya untuk memberikan pelajaran kepada Cirebon yang dianggap telah melakukan kesalahan itu. “Aku tidak mau tahu, yang jelas Cirebon harus tahu bagaimana akibat jika melawan kebesaran Mataram,” tutur Amangkurat saat memerintahkan adipatinya itu.
Adipati Tandakodur, yang mendapatkan perintah itu, segera bergerak dengan sejumlah pasukan terbaiknya. Mereka berangkat ke arah Bagelen dan kemudian berjalan ke arah utara hingga ke wilayah Brebes. Sesampainya di Losari, yang menjadi tapal batas antara Cirebon dan Mataram saat itu, Adipati Mataram mengirimkan utusan ke Kraton Cirebon perihal kedatangannya. “Katakan pada mereka. Duel secara kstria denganku, atau kuhancurkan seluruh Cirebon dengan pasukanku!” pesannya dengan percaya diri.
Saat utusan itu sampai di tengah alun-alun Cirebon dan kemudian mendatangi kraton seraya menyampaikan pesan tuannya kepada Panembahan Girilaya, seisi kraton pun menjadi geger. Bagaimana tidak, ancaman yang sempat dilontarkan oleh Amangkurat I ternyata adalah kenyataan. Terlebih yang diutusnya itu adalah Adipati Tandakodur, salah seorang panglima Amangkurat yang paling masyhur dan kuat!
Panembahan Girilaya segera mengumpulkan seluruh pejabat dan panglima Cirebon di paseban kraton. Ia menceritakan kedatangan utusan Adipati Tandakodur dan ancaman yang disampaikannya. “Kini aku meminta kepada kalian semua, apakah ada yang bersedia melawannya atau kita biarkan Cirebon sirna oleh pasukan mereka?” tutur Panembahan Girilaya dalam pertemuan itu.
Para pejabat negara Cirebon beserta panglimanya tidak ada yang berani mengangkat kepala. Mereka sadar bahwa Adipati Tandakodur bukanlah orang biasa. Orang itu sangat sakti dan pedang pusakanya telah mengantarkan banyak musuh Mataram ke liang lahat. Berita mengenai kehebatan panglima Mataram itu membuat mereka ketakutan. Seisi paseban pun sepi. Tidak ada jawaban sama sekali untuk pertanyaan Panembahan tadi.
“Biarkan aku saja yang menghadapinya, Yang Mulia,” tiba-tiba seorang pemuda yang datang dari luar paseban memecah kesunyian.
“Siapa dirimu wahai pemuda, apakah benar dirimu berani menghadapi Adipati Tandakodur?” tanya Panembahan Girilaya dengan penuh rasa penasaran.
“Iya, Yang mulia. Saya berani melawannya,” jawabnya dengan rasa percaya diri.
Panembahan Girilaya benar-benar penasaran terhadap sosok pemuda di depannya. Berusaha mempertanyakan jati diri dan tekadnya, ia pun meminta pemuda itu untuk berbicara secara pribadi dengannya. Di sebuah ruangan, pembicaraan di antara mereka pun segera mengalir.
“Siapa sebenarnya dirimu, wahai anak muda?” tanya Panembahan Girilaya.
“Saya Bagus Jaka. Seorang pengelana yang berasal dari daerah Cibingbin,” jawab sang pemuda.
“Siapa kedua orang tuamu?” pertanyaan kembali bergulir dari Panembahan Girilaya.
“Ibu saya adalah seorang wanita, anak orang terpandang di Cibingbin. Namun saya tidak mengetahui siapa ayah saya. Ibu hanya berujar bahwa ayah saya adalah pemilik dari ali (cincin) yang saya pakai ini. Cincin ini adalah mas kawin pernikahan ibu dan ayah saya. Dulu saat saya masih berada di dalam kandungan, ayah saya pergi untuk kembali mengerjakan tugasnya yang belum selesai,” jawab Bagus Jaka sambil menunjukkan cincin yang ia pakai.
Saat melihat cincin yang dipakai oleh Bagus Jaka, Panembahan Girilaya pun terkaget-kaget. Ia mengenal baik cincin indah yang berhiaskan butiran permata dan benda mulia lainnya itu. Kenapa? karena memang ia adalah pemiliknya!
Kalau begitu, kamu adalah....
Bersambung
Note:
Uraian kisah ini disarikan dari obrolan penulis dengan sejarawan dan budayawan Cirebon, Dr. R. Opan S. Hasyim, M.Hum.
Kisah itu bermula saat Amangkurat I murka kepada Cirebon karena dianggap tidak mau tunduk kepada kekuasaan Mataram dan memberi tempat kepada para pelarian asal negeri pedalaman itu. Sang Susuhunan pun memerintahkan salah seorang adipatinya untuk memberikan pelajaran kepada Cirebon yang dianggap telah melakukan kesalahan itu. “Aku tidak mau tahu, yang jelas Cirebon harus tahu bagaimana akibat jika melawan kebesaran Mataram,” tutur Amangkurat saat memerintahkan adipatinya itu.
Adipati Tandakodur, yang mendapatkan perintah itu, segera bergerak dengan sejumlah pasukan terbaiknya. Mereka berangkat ke arah Bagelen dan kemudian berjalan ke arah utara hingga ke wilayah Brebes. Sesampainya di Losari, yang menjadi tapal batas antara Cirebon dan Mataram saat itu, Adipati Mataram mengirimkan utusan ke Kraton Cirebon perihal kedatangannya. “Katakan pada mereka. Duel secara kstria denganku, atau kuhancurkan seluruh Cirebon dengan pasukanku!” pesannya dengan percaya diri.
Saat utusan itu sampai di tengah alun-alun Cirebon dan kemudian mendatangi kraton seraya menyampaikan pesan tuannya kepada Panembahan Girilaya, seisi kraton pun menjadi geger. Bagaimana tidak, ancaman yang sempat dilontarkan oleh Amangkurat I ternyata adalah kenyataan. Terlebih yang diutusnya itu adalah Adipati Tandakodur, salah seorang panglima Amangkurat yang paling masyhur dan kuat!
Panembahan Girilaya segera mengumpulkan seluruh pejabat dan panglima Cirebon di paseban kraton. Ia menceritakan kedatangan utusan Adipati Tandakodur dan ancaman yang disampaikannya. “Kini aku meminta kepada kalian semua, apakah ada yang bersedia melawannya atau kita biarkan Cirebon sirna oleh pasukan mereka?” tutur Panembahan Girilaya dalam pertemuan itu.
Para pejabat negara Cirebon beserta panglimanya tidak ada yang berani mengangkat kepala. Mereka sadar bahwa Adipati Tandakodur bukanlah orang biasa. Orang itu sangat sakti dan pedang pusakanya telah mengantarkan banyak musuh Mataram ke liang lahat. Berita mengenai kehebatan panglima Mataram itu membuat mereka ketakutan. Seisi paseban pun sepi. Tidak ada jawaban sama sekali untuk pertanyaan Panembahan tadi.
“Biarkan aku saja yang menghadapinya, Yang Mulia,” tiba-tiba seorang pemuda yang datang dari luar paseban memecah kesunyian.
“Siapa dirimu wahai pemuda, apakah benar dirimu berani menghadapi Adipati Tandakodur?” tanya Panembahan Girilaya dengan penuh rasa penasaran.
“Iya, Yang mulia. Saya berani melawannya,” jawabnya dengan rasa percaya diri.
Panembahan Girilaya benar-benar penasaran terhadap sosok pemuda di depannya. Berusaha mempertanyakan jati diri dan tekadnya, ia pun meminta pemuda itu untuk berbicara secara pribadi dengannya. Di sebuah ruangan, pembicaraan di antara mereka pun segera mengalir.
“Siapa sebenarnya dirimu, wahai anak muda?” tanya Panembahan Girilaya.
“Saya Bagus Jaka. Seorang pengelana yang berasal dari daerah Cibingbin,” jawab sang pemuda.
“Siapa kedua orang tuamu?” pertanyaan kembali bergulir dari Panembahan Girilaya.
“Ibu saya adalah seorang wanita, anak orang terpandang di Cibingbin. Namun saya tidak mengetahui siapa ayah saya. Ibu hanya berujar bahwa ayah saya adalah pemilik dari ali (cincin) yang saya pakai ini. Cincin ini adalah mas kawin pernikahan ibu dan ayah saya. Dulu saat saya masih berada di dalam kandungan, ayah saya pergi untuk kembali mengerjakan tugasnya yang belum selesai,” jawab Bagus Jaka sambil menunjukkan cincin yang ia pakai.
Saat melihat cincin yang dipakai oleh Bagus Jaka, Panembahan Girilaya pun terkaget-kaget. Ia mengenal baik cincin indah yang berhiaskan butiran permata dan benda mulia lainnya itu. Kenapa? karena memang ia adalah pemiliknya!
Kalau begitu, kamu adalah....
Bersambung
Note:
Uraian kisah ini disarikan dari obrolan penulis dengan sejarawan dan budayawan Cirebon, Dr. R. Opan S. Hasyim, M.Hum.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.