Oleh : NG Dian*)
Malam bertabur bintang, dan udara yang dingin lembab telah kreasikan keheningan yang damai ketika perasaan menyatu dengan alam. Sedamai dalam nyanyian senja yang bersyair ketenangan.
Dan aku terus menambahkan ranting ranting kering agar api unggun tidak meredup untuk hangatkan tubuhku.
Pandangan kedua bola mataku menjadi hijau dan segar
karena tersaji pemandangan dimana hamparan tanaman sayuran yang subur. Latar
belakang gunung Ciremai yang gagah berdiri tegak bagaikan benteng raksasa yang
melindungi desa Palutungan.
Betapa sangat menakjubkan! Setiap saat aku dapat mendengar alam pegunungan berdendang dari desiran daun-daun pohon pinus yang gemulai diterpa angin. Dan kicau burung-burung saling bersahutan dari pepohonan yang rindang. Nyanyian pagi hari yang segar selalu hadir dihari yang cerah maupun didalam cuaca mendung.
“Neng, wilujeng enjing! (Neng, selamat pagi!)”
Hannah sayang,
*)NG = N.G. Dian (Orang Kuningan yang berdomisili di Kanada, Amerika) adalah salah satu penulis Indonesia. Dia telah menulis beberapa buku, cerita pendek, dan puisi dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Buku favoritnya adalah; The Kite Runner (Khaled Hosseini.), Parfum - Kisah Seorang Pembunuh (Patrick Suskind.), Pride and Prejudice (Jane Austen). Dia juga mencintai sepak bola, itu adalah alasan mengapa ia telah menulis sebuah buku berjudul 'Sepak Bola With Love'.
Kumpulan Tulisannya dapat dilihat di Smashwords.com (https://www.smashwords.com/profile/view/Nenendian)
Malam bertabur bintang, dan udara yang dingin lembab telah kreasikan keheningan yang damai ketika perasaan menyatu dengan alam. Sedamai dalam nyanyian senja yang bersyair ketenangan.
Dan aku terus menambahkan ranting ranting kering agar api unggun tidak meredup untuk hangatkan tubuhku.
Seindah sayap bidadari yang lembut, gumpalan kabut putih memeluk dengan mesra puncak gunung Ciremai. Dan perlahan merayap turun disebar angin menyentuh pucuk pucuk daun hutan pinus. Sungguh misteri namun lembut! Hati kecilku berbisik terkagum.
Aku mencoba untuk menyentuhnya dengan gemas, namun kabut seputih kapas itu selalu lolos dari genggaman tanganku. Sepertinya sengaja menggodaku, agar aku semakin penasaran akan misteri kabut yang hiasi bumi perkemahan Palutungan, Cigugur, kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Ditengah kepungan misteri kabut, namun aku tidak merasa berada didalam hutan menyeramkan, karena panorama asap putih itu anugerah dari alam yang memberi pesan damai nan asri.
“Dingin namun damai malam ini!” Gumamku terbuai akan nuansa harmonis malam. Seiring dengan sayup-sayup suara gemericik air terjun dari curug Ciputri yang jaraknya sekitar lima ratus kilometer dari tendaku.
Ingatanku kembali memutar ketika aku dan Bram sempat bercanda ria di curug Ciputri yang airnya jernih karena berasal dari mata air hutan gunung Ciremai. Setelah puas bermanja-manja dengan air curug Ciputri, aku dan Bram kembali ketenda untuk meneguk secangkir kopi susu hangat yang telah dipesan dari warung pak Sadik. Andai saja hari itu, aku bisa menjadi saksi kehadiran tangga-tangga warna pelangi yang melingkar hiasi curug Ciputri dalam gerimis hujan, tentu akan menambah nuansa yang lebih harmonis dan menyenangkan.
Hawa dingin semakin menusuk kedalam tubuhku, kemudian aku membetulkan kerah jaket tebalku. Aku tertegun tiba-tiba, karena ditengah tenang malam berkumandang alunan melodi gitar akustik yang merambat pelan namun jernih dan indah. Hingga mampu mengubah suasana misteri kabut menjadi romantis. Aku melirik kearah sebelah kanan dimana samar samar dibawah kumpulan asap kabut terlihat Bram tengah asyik disamping Ego sahabatnya yang dengan lugas sedang memainkan alunan melodi gitar. Alunan lagu cinta lawas yang semua orang pasti mengenalnya yaitu Love Me Tender Milik Elvis Presley, penyanyi yang melegenda seantero jagad raya ini. Kebetulan secara bersamaan Bram juga sedang melirik kearahku. Aku melambaikan tangan memanggilnya untuk menemaniku. Dan kemudian dia tergesa-gesa menghampiriku.
“Kamu ingin berdansa?” Dia bertanya
sambil tersenyum.
“Aku tidak pandai berdansa.” Jawabku
tersipu.
Kemudian Bram sedikit
membungkukkan tubuhnya untuk menjulurkan jemari tangannya kearahku.
“Apa yang akan kamu
lakukan bram?” Tanyaku seraya meraih jemari Bram dan bangkit perlahan mengikuti
ajakannya.
“Bercengkrama dengan
kabut putih.” Jawabnya lembut. Lalu dia memandangi jemariku yang terbungkus
sarung tangan beludru, dengan pelan dia mengusap-ngusap jemariku. “Kulit jemarimu menjadi beludru
malam ini.” Candanya, dan tersenyum.
“Dingin sekali.”
Ungkapku sembari sedikit tergelak.
Aku biarkan Bram
mengangkat jemari tanganku untuk dikecup olehnya dengan lembut. Dan aku mampu
merasakan desiran kasih yang dia tanam diruang hatiku. Perlahan dia menarik
tubuhku agar lebih dekat dengannya. Akhirnya aku merasa nyaman mengikuti
langkah kaki yang berseni, melenggang pelan, sambil memutar seirama alunan
melodi gitar yang dimainkan oleh Ego dengan merdu dan damai. Pandangan mataku
beradu dengan pandangannya, sembari asyik berdansa didalam kepungan kabut
putih.
Bram mendekatkan
bibirnya ditelingaku, dan lalu berbisik, “Terima kasih atas dansa manismu,
Hannah.”
Kemudian dia
mengajakku berayun dengan langkah Waltz bersenyawa dengan alunan cinta gitar
yang syahdu. Aku hanya mengikuti ayunan langkah kaki Bram yang berputar
mengitari kobaran kecil api unggun dengan damai.
“Putarkan tubuhmu
dengan tenang!”
Aku mengikuti arahan
Bram dengan rasa senang, aku berputar pelan dibawah lengannya sembari tetap
saling berpegangan, bertatapan, dan saling melempar senyuman.
“Aku merasa indah malam ini.” Ucapku
bahagia, lalu tanpa dikomando oleh Bram, aku kembali berputar kelain arah
dengan hati-hati dengan gerakan yang lebih manja.
“Kamu berdansa seperti bangau terbang
diangkasa.” Bram memujiku. Entah hanya untuk membuatku senang, atau memang
benar dia terpesona oleh gerakan dansaku yang bukan pemain dansa.
“Terima kasih, Bram.” Dengan manja
aku mendekap tubuhnya erat. Dan lalu aku berucap. “Jangan pernah meninggalkan
aku sendiri, karena aku tidak akan sanggup menahan rasa sakit dihatiku.” Aku
utarakan isi hatiku yang sebenarnya, sambil merebahkan kepalaku didadanya.
“Tidak pernah.” Ujar Bram
meyakinkanku. Kedua tangannya yang kuat namun lembut itu merangkul tubuhku
hingga alirkan desiran halus menciptakan kehangatan bagi tubuhku.
Aku sangat terharu
bahagia, karena malam itu aku benar-benar bisa bercengkrama dengan kabut putih
yang telah menghiasi ayunan langkah kakiku seiring dengan langkah kaki Bram
dibawah hangatnya detak jantung asmara.
Dan kabut putih yang damai tapi
dingin telah menjadi saksi untuk aku dan Bram, yang saling berbagi rasa bahagia
dalam alunan melodi cinta yang warnai asmaraku dan asmaranya melebihi indahnya
warna pelangi dari nirwarna.
*****
Bram mendapat beasiswa dari
perusahaan tempat dia bekerja untuk melanjutkan sekolah di Australia demi
meraih Sertifikat Manajemen Bisnis. Sementara aku membeli rumah sederhana
didesa Palutungan, karena aku jatuh cinta akan panorama alam hutan pinus yang
telah menciptakan udara dingin namun menyegarkan. Dimana ketika aku membuka
jendela kamarku disetiap fajar tiba, aku terkagum akan percikan sinar oranye
yang mulai menembus mega-mega, dan hangatkan bumi dengan ramah.
Betapa sangat menakjubkan! Setiap saat aku dapat mendengar alam pegunungan berdendang dari desiran daun-daun pohon pinus yang gemulai diterpa angin. Dan kicau burung-burung saling bersahutan dari pepohonan yang rindang. Nyanyian pagi hari yang segar selalu hadir dihari yang cerah maupun didalam cuaca mendung.
“Neng, wilujeng enjing! (Neng, selamat pagi!)”
Aku sedikit kaget karena bibi Atikah
yang sudah siap dengan peralatan kebunnya, tiba-tiba lewat didepan jendela
kamar dan menyapaku, “Eh, bibi, mendung begini kok mau berkebun?” Teriakku
heran, kemudian membuka jendela lebih lebar.
“Iya neng Hannah. Tapi bibi harus
kekebun mau metik jagung buat nanti malam.”
“Oh, ada pesanan ya?”
“Iya, nanti malam banyak yang
berkemah, biasa malam minggu.” Sahutnya dan tergelak kecil yang pancarkan
wajah lugunya.
“Hati-hati bibi!”
“Iya neng, terima kasih.”
“Jangan lupa lempar kesini ya jagung
bakarnya.” Aku sedikit bergurau, hingga membuat bibi Atikah tersenyum lebar. Lalu wanita setengah baya itu melenggang pergi dengan tergesa-gesa.
Hanya jagung bakar bibi Atikah yang punya rasa berbeda dengan pedagang jagung
bakar lainnya. Tak heran jagung bakar bibi Atikah selalu dicari para pengunjung
yang hanya sekedar rekreasi menghilangkan penat ataupun untuk berkemah akhir
pekan.
Aku
kembali menutup jendela kamarku, karena angin dingin berhembus masuk bersama
butiran-butiran kecil air hujan. Sesekali kilat menyambar menyeruak membelah
angkasa. Aku terdiam sesaat, memandangi tetesan rintik-rintik
hujan yang mengurai rerumputan dihalaman rumahku dari balik kaca jendela. Tak
lama terlihat bibi Atikah kembali melintas dan berlari-lari pulang karena hujan
telah menghentikan langkahnya untuk memetik jagung. Aku hanya mesem melihat
tingkahnya yang lucu.
Ding… Dong… Suara bel pintuku
berbunyi, segera aku membukakan pintu depan. “Waduh… Tarja!” Pekikku tertahan,
karena Tarja datang disaat hujan mulai deras sambil membawa satu kantong
plastik sayur bawang daun yang masih kelihatan segar.
“Bapak menyuruh saya untuk mengantarkan
sayur buat Ibu.” Ucapnya dengan gaya yang polos.
“Terima kasih Tarja, tapi kamu kan bisa
nunggu hujan reda!” Aku sedikit menegurnya. Sementara Tarja hanya tersipu malu.
“Kapan panen sayurnya?” Aku bertanya dengan sikap ramah agar Tarja tidak merasa
sungkan kepadaku.
“Kemarin.” Jawabnya singkat sambil
mengusap wajahnya yang basah oleh air hujan.
“Tunggu sebentar!” Aku berlari kedalam
untuk mengambil handuk kering. Terus aku bergegas kembali keluar buat Tarja.
“Hmm!” Ternyata aku telah kehilangan
dia. Hanya ada sekantong plastik sayur bawang daun yang dia tinggalkan didepan
pintu. Kiranya dia langsung pergi tidak mau menunggu handuk yang akan aku
berikan untuk mengeringkan wajahnya yang basah kuyup oleh air hujan. Tetapi aku tidak mau ambil pusing, karena itu kemauan Tarja sendiri.
Setelah aku cuci bersih sayur
bawang daun yang masih segar itu, terus aku bungkus kedalam pelastik bersih dan
disimpan dikulkas agar tidak mudah layu. Keluarga Tarja yang petani sayuran
tidak pernah melupakanku untuk berbagi sayuran ketika panen tiba. Aku sangat beruntung
karena aku tinggal disekitar petani petani yang baik dan ramah. Kadang aku
turut bersama mereka dikebun sayur untuk mencoba menanam benih sayuran sambil
menikmati udara segar dan pemandangan desa Palutungan yang cantik.
“Terima kasih Tuhan, atas berkah
yang terindah ini.” Aku ucapkan syukur atas kedamaian yang aku miliki didesa
wisata alam yang sejuk nan damai.
*****
Peluhku merembas dikeningku,
aku turut berdesak-desakkan ditengah puncak keramaian upacara rasa syukur
berkah panen adat Seren Taun di Cigugur. Aku terpesona oleh arak arakan
empat formasi. Barisan paling depan dua gadis dengan mimik wajah yang suka cita
sambil membawa padi, buah-buahan dan umbian. Mereka bagaikan dua bidadari yang
sedang dikawal oleh seorang pemuda pemberani sambil membawa payung janur
bersusun tiga. Aku berhasil menerobos ditengah kerumunan penonton untuk
mendekati pemuda pengiring dua gadis itu, ternyata dia melirik kearahku.
“Halo!” Teriakku menyapanya. Namun Pemuda itu hanya menebar senyuman manis,
sambil terus berjalan mengiringi dua gadis yang manis-manis.
Pandangan mataku beralih
kearak-arakkan kehadiran rombongan sebelas gadis yang membawa padi, dan
masing-masing dipayungi oleh seorang pemuda yang gagah, hingga suasana semakin
meriah. Aku tersenyum kagum untuk rombongan bapak bapak yang memikul padi
dengan rengkong yang terkesan tanpa beban karena mereka bersuka cita. Kameraku
terus mengabadikan setiap atraksi yang disuguhkan. Dan akhirnya giliran para
penari yang berjalan melenggang sambil menari membawa buyung atau bejana untuk
membawa air. Aku sangat beruntung karena aku bisa langsung menyaksikan ritual
syukuran hasil panen bumi yang selalu diadakan setiap tahun, pada tanggal dua
puluh dua Rayagung. Sebagai turis lokal, aku sangat bangga akan budaya yang lestari
itu.
Ketika
langit mulai mendung tepat dipenghujung puncak acara, aku mulai merasakan
kelelahan. Kemudian dengan kerja keras aku berusaha untuk keluar dari kerumunan
orang yang saling berdesakan. Dengan sabar aku berhasil juga menghindar dari
keramaian, dan berdiri sejenak ditempat yang agak lengang. Terbesit untuk
segera kembali pulang sebelum hujan deras tiba.
Setelah membersihkan badanku, aku
berbaring melepas lelah diranjangku. Aku menerawang jauh khayalkan Bram yang
aku rindukan. Rasa kangen yang memuncak akan kehadiran Bram semakin membawaku
kedalam nuansa sendu.
“Sedang
apa dia disana sekarang?” Aku bertanya-tanya, karena perasaan kangen yang mulai
menguat hebat dihatiku. Lalu aku mengambil Android tablet dari atas meja kecil
disamping ranjangku. Ketika aku membuka mailbox, aku melihat ada email masuk
darinya. Betapa indahnya kata kata yang dia curahkan buatku.
Bram,
kamu yang termanis dihidupku! Hati kecilku berbisik
mengaguminya. Hingga mataku berkaca-kaca terharu. Kata demi kata yang teruntai
dengan manis membuat aku semakin mengerti betapa pentingnya aku baginya.
Hannah sayang,
Walaupun malam dilangit benderang oleh sinar
bulan, namun pelita binaran cintamu lebih gemilau. Dan selalu terangi setiap
langkahku, hingga aku tidak tersesat kelembah jurang yang gelap.
Cinta jarak jauh tidak pernah memisahkan dua
hati yang saling memadu kasih. Kita boleh saja saat ini tidak saling berpelukan
untuk menghabiskan waktu malam kita. Tetapi kamu adalah cinta satu satunya
yang aku miliki didalam hatiku.
Terima kasih karena kamu selalu setia
manantiku. Bayanganmu selalu bersamaku disini hangatkan malam dinginku. Kamu
bagai sekuntum bunga mawar yang selalu tersimpan ditaman hatiku, tak akan
pernah aku biarkan menjadi layu dan kusam. Karena aku mencintaimu.
Cintaku, aku sangat merindukanmu malam ini,
disaksikan oleh percikan sinar bulan dan malam sepiku. Semua yang ada pada
dirimu adalah yang terindah. Seindah warna bunga, seharum wangi kembang.
Dan aku
sayang kamu,
Bram
Perasaanku berubah menjadi sangat hangat
setelah membaca email dari Bram. Gairah hidupku semakin memuncak tuk meraih
cita-cita bersatu selamanya bersama Bram. Aku teringat ketika pelukan hangatnya
dipinggangku, aku tak sanggup memandang binar bola matanya yang cemerlang
menembus kabut putih dihutan pinus. Lalu dia mengecup bibirku dengan lembut
sekali, hingga menghilangkan hawa dingin disekujur tubuhku.
Sekarang aku mengerti, walaupun benang cinta
melintasi samudera, tetapi tak lekang oleh ganasnya gelombang ombak lautan yang
mampu pecahkan karang.
Dan aku sangat yakin, suatu hari nanti Bram
akan kembali kedalam pelukanku. Karena cinta memahami waktu dan waktu mengerti
cinta.
Anganku
menggambar indah raut wajah Bram, seindah syair-syair cinta yang teruntai dengan
menawan didalam dinding hatiku, Aku sayang kamu, Bram!
♥♥♥♥♥♥♥♥
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.