Oleh Ahmad Syaiful Bahri
District Coordinator USAID PRIORITAS Kab. Kuningan
Berdasarkan data UNESCO, presentase minat baca Indonesia sebesar 0,01 persen!
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan mengatakan, budaya membaca di Indonesia sampai saat ini masih sulit diterapkan. Ia mengatakan budaya membaca buku sampai saat ini masih rendah. Kalau mengacu data dari UNESCO, ”berarti dari 10.000 orang hanya satu saja yang memiliki minat baca," kata Anies di Gedung Istora, Senayan, Jumat(27/2) pada acara pembukaan pameran Islamic Book Fair (IBF) seperti dikutip beritasatu.com.
Budaya membaca di Indonesia sampai saat ini masih belum menjadi kebiasaan atau kita kenal dengan istilah reading habit. Kita harus mengakui hal tersebut. Sebab di banyak tempat, mulai dari rumah sampai sekolah, anak dan siswa hanya disuruh membaca, sedangkan orang tua dan guru masih saja hanya sebatas menyuruh mereka untuk membaca. Tidak tergerak untuk menjadi pelaku membaca.
Ini menjadi persoalan serius, bagaimana masa depan generasi negara kita manakala budaya membaca masih belum membudaya. Semua komponen sekolah mulai dari kepala sekolah, komite sekolah, orang tua siswa dan guru hendaknya memikirkan solusi bagaimana meningkatkan minat baca di kalangan siswa dan guru.
Sekolah sudah seyogyanya memiliki program tahunan perpustakaan yang di dalamnya terdapat program budaya baca dan ruang perpustakaan. Lalu bagaimana dengan sekolah yang tidak memiliki ruang perpustakaan ?
Adanya perpustakaan saja, belum tentu menarik minat baca siswa untuk datang ke perpustakaan. Karena banyak dari siswa yang datang ke perpustakaan karena adanya tugas dari guru dan terkadang datang waktu kunjungan ke perpustakaan terbatas hanya pada saat jam istirahat pelajaran, itupun anak harus disibukkan dengan jajan di kantin. Lengkap sudah, imbasnya perpustakaan akan terus sepi setiap hari.
Itulah gambaran kondisi perpustakaan di sekolah – sekolah saat ini, apalagi ditambah jika tidak ada ruang perpustakaan. Sudah pasti akan tambah kesulitan untuk mengelola buku – buku yang ada di sekolah. Imbasnya, buku akan selalu tersimpan rapi di dalam kardus. Tanpa dibuka.
Bukankah buku yang bagus itu adalah buku yang lusuh, bahkan robek. Dengan begitu menandakan buku tersebut selalu dipakai setiap hari oleh siswa dan guru. Bukan buku yang masih rapih, bagus, bahkan masih ada yang plastikan karena tersimpan selamanya di dalam kardus.
Lalu bagaimana dengan sekolah yang tidak memiliki ruang perpustakaan ?
District Coordinator USAID PRIORITAS Kab. Kuningan
Berdasarkan data UNESCO, presentase minat baca Indonesia sebesar 0,01 persen!
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan mengatakan, budaya membaca di Indonesia sampai saat ini masih sulit diterapkan. Ia mengatakan budaya membaca buku sampai saat ini masih rendah. Kalau mengacu data dari UNESCO, ”berarti dari 10.000 orang hanya satu saja yang memiliki minat baca," kata Anies di Gedung Istora, Senayan, Jumat(27/2) pada acara pembukaan pameran Islamic Book Fair (IBF) seperti dikutip beritasatu.com.
Budaya membaca di Indonesia sampai saat ini masih belum menjadi kebiasaan atau kita kenal dengan istilah reading habit. Kita harus mengakui hal tersebut. Sebab di banyak tempat, mulai dari rumah sampai sekolah, anak dan siswa hanya disuruh membaca, sedangkan orang tua dan guru masih saja hanya sebatas menyuruh mereka untuk membaca. Tidak tergerak untuk menjadi pelaku membaca.
Ini menjadi persoalan serius, bagaimana masa depan generasi negara kita manakala budaya membaca masih belum membudaya. Semua komponen sekolah mulai dari kepala sekolah, komite sekolah, orang tua siswa dan guru hendaknya memikirkan solusi bagaimana meningkatkan minat baca di kalangan siswa dan guru.
Sekolah sudah seyogyanya memiliki program tahunan perpustakaan yang di dalamnya terdapat program budaya baca dan ruang perpustakaan. Lalu bagaimana dengan sekolah yang tidak memiliki ruang perpustakaan ?
Adanya perpustakaan saja, belum tentu menarik minat baca siswa untuk datang ke perpustakaan. Karena banyak dari siswa yang datang ke perpustakaan karena adanya tugas dari guru dan terkadang datang waktu kunjungan ke perpustakaan terbatas hanya pada saat jam istirahat pelajaran, itupun anak harus disibukkan dengan jajan di kantin. Lengkap sudah, imbasnya perpustakaan akan terus sepi setiap hari.
Itulah gambaran kondisi perpustakaan di sekolah – sekolah saat ini, apalagi ditambah jika tidak ada ruang perpustakaan. Sudah pasti akan tambah kesulitan untuk mengelola buku – buku yang ada di sekolah. Imbasnya, buku akan selalu tersimpan rapi di dalam kardus. Tanpa dibuka.
Bukankah buku yang bagus itu adalah buku yang lusuh, bahkan robek. Dengan begitu menandakan buku tersebut selalu dipakai setiap hari oleh siswa dan guru. Bukan buku yang masih rapih, bagus, bahkan masih ada yang plastikan karena tersimpan selamanya di dalam kardus.
Lalu bagaimana dengan sekolah yang tidak memiliki ruang perpustakaan ?
Salah satu pojok baca di kelas 9B SMPN 2 Garawangi Kab. Kuningan |
Pengalaman saya selama mendampingi beberapa sekolah di Kab. Kuningan Jawa Barat dalam program budaya baca, ada salah satu solusi jika sekolah tersebut tidak memiliki ruang perpustakaan yaitu dengan membuat pojok baca. Pojok baca bisa ditempatkan dimanapun, bisa di ruang kelas, bisa di depan kelas dan dengan media apapun. Yang terpenting adalah bisa diakses dengan mudah oleh para siswa dan guru, bahkan orang tua.
Seperti di SMPN 2 Garawangi Kab. Kuningan yang telah membuat pojok baca yang menarik di dalam kelas. Buku - buku pelajaran dan buku bacaan lainnya ditaruh rapih di belakang kelas.
Di setiap kelas yang dikunjungi, nampak berjejer rapi buku-buku yang telah menjadi sumbangan orang tua. Nampak para siswa tampak aktif mencari buku yang disukai dari sudut buku, kemudian mencari tempat untuk membaca, salah seorang siswa tampak senang ketika membaca di ruang kelas, bagi mereka ini adalah hal yang baru, ”saya senang, karena sudah banyak buku bacaan, saya betah karena bukunya beragam” ujar Elsa Yesuares, siswi kelas IXG.
Selain pojok baca, sekolah ini terus mengembangkan banyak program budaya baca, seperti resensi buku bacaan, infaq buku, kunjungan ke perpusda dan jurnal buletin bbm. ”kami terus berbenah untuk budaya baca, semua demi kemajuan sekolah. Anak-anak dan guru harus dibiasakan dalam membaca buku dan dekatkan buku sedekat mungkin dengan mereka melalui pojok baca” ujar Nanek, ketua tim budaya baca SMPN 2 Garawangi.
Seperti di SMPN 2 Garawangi Kab. Kuningan yang telah membuat pojok baca yang menarik di dalam kelas. Buku - buku pelajaran dan buku bacaan lainnya ditaruh rapih di belakang kelas.
Di setiap kelas yang dikunjungi, nampak berjejer rapi buku-buku yang telah menjadi sumbangan orang tua. Nampak para siswa tampak aktif mencari buku yang disukai dari sudut buku, kemudian mencari tempat untuk membaca, salah seorang siswa tampak senang ketika membaca di ruang kelas, bagi mereka ini adalah hal yang baru, ”saya senang, karena sudah banyak buku bacaan, saya betah karena bukunya beragam” ujar Elsa Yesuares, siswi kelas IXG.
Selain pojok baca, sekolah ini terus mengembangkan banyak program budaya baca, seperti resensi buku bacaan, infaq buku, kunjungan ke perpusda dan jurnal buletin bbm. ”kami terus berbenah untuk budaya baca, semua demi kemajuan sekolah. Anak-anak dan guru harus dibiasakan dalam membaca buku dan dekatkan buku sedekat mungkin dengan mereka melalui pojok baca” ujar Nanek, ketua tim budaya baca SMPN 2 Garawangi.
Pojok Baca dari Paralon
Display Buku-Pajangan yang terbuat dari paralon memudahkan siswa ambil buku di MI Cokroaminoto |
Selain di dalam kelas, alternatif lainnya adalah membuat pojok baca di depan kelas. Manfaatnya adalah bukan hanya siswa yang membaca, melainkan guru dan orang tua yang mengantarkan anaknya juga bisa membaca buku yang tersedia.
Ini adalah upaya yang bagus yang dilakukan oleh MI Cokroaminoto Kab. Kuningan dalam mendekatkan buku kepada siswanya dengan membuatkan display di depan kelas, display tersebut terbuat dari paralon yang tengahnya dilubangi ”agar buku – buku lebih dekat kepada anak –anak, kami membuatkan display pajangan buku yang terbuat dari paralon yang dibelah tengahnya untuk diisi buku. Mereka harus sedini mungkin didekatkan dengan buku agar budaya baca berhasil. Selain siswa, guru-guru disini juga wajib membaca” ujar Tatat Pujiati, kepala MI Cokroaminoto di ruang kerjanya, jum’at (11/12), seperti disampaikan kepada penulis.
Hias Kelas Dengan Nuansa Budaya Baca
Desain Kelas Menarik-foto budaya baca di SDN 1 Cilimus kab. kuningan |
Lain MI Cokroaminoto, lain pula dengan SDN 1 Cilimus, di Sekolah yang terletak di lingkungan balai desa Cilimus ini mendesain ruang kelasnya dengan nuansa budaya baca. ”Anak-anak itu kan suka dengan hiasan yang berupa gambar dan animasi binatang, oleh karenanya dengan dukungan komite dan guru, kami mengecat semua kelas dengan desain kartun yang disukai anak-anak untuk meningkatkan budaya baca”, ungkap Nana Supriatna, kepala SDN 1 Cilimus.
Di kelas tersebut, nampak para siswa tampak aktif mencari buku yang disukai dari rak lemari buku, kemudian mencari tempat untuk membaca, salah seorang siswa tampak senang ketika membaca di ruang kelas yang indah, bagi mereka ini adalah hal yang baru, ”saya senang, karena sudah dibuatkan kelas yang bagus, tempatnya asyik dan bisa menjadi tempat baca yang nyaman” ujar Astrella Vitri, siswi kelas VI di sela – sela wawancara di ruang kelas.
Jadi, jika tidak ada ruang perpustakaan bukan berarti budaya baca mati suri bukan ?***
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.