Oleh: Tomi Mustopa
Ketua Umum HMI Cabang Kuningan periode 2015/2016
Ketua Umum HMI Cabang Kuningan periode 2015/2016
Suarakuningan.com - Firqah atau aliran dalam Islam muncul pasca Rosulullah sudah wafat, namun perkembangan saat ini aliran seolah berkiblat bahkan cenderung mengkultuskan alirannya atau komunitasnya. Cendekiawan Muslim Indonesia Nurkholis Majid (Cak Nur) pernah berkata bahwa mengkultuskan atau menyakralkan sebuah entitas atau komunitas pemahaman, aliran, firqah atau haraqah keislaman maka sesungguhnya ia telah membonsai kebebasan nurani sehingga akan merampas kemerdekaan dan menurunkan kesadaran pentingnya nilai-nilai HAM.
Gagasan ini berefek terhadap sikap seorang muslim bahwa seorang muslim tidak seharusnya bersikap antipasti, apriori, alergi terhadap gagasan apapun. Justru akan lebih baik bersikap sebaliknya seperti inklusif (terbuka), lapang dada, toleran, tidak sempit hati, tidak fanatic dan tidak ekstrem. Bahkan Al-Quran mengjarkan agar bersikap tabayyun (klarifikasi).
Kebebasan Nurani
Nurkholis Majid membangun sebuah konsep kebebasan diatas prinsip kebebasan nurani yaitu kebebasan diri manusia dari segala hal yang membelenggu dan menindasnya. Setiap manusia menghendaki kebebasannya sehingga lepas dari segala ikatan-ikatan selain kepada Tuhan. Itulah hak dasar manusia setelah hak hidup. Baginya pangkal “Kemanusiaan Universal” bertumpu pada kebebasan nuraninya. Lima pokok hak dasar manusia. Pertama kebebasan dari setiap bentuk pemaksaan termasuk pemaksaan atas nama kebenaran, kedua kebebasan beragama dan berserikat, ketiga kebebasan berpendapat berserikat dan berkumpul, keempat kebebasan dari rasa takut dan ancaman penyiksaan, kelima jaminan keadilan dan tidak memihak dalam hukum.
Atas kebebasan itulah sebagai nurani manusia seharusnya bercermin atas kesewenangannya dalam bersikap terhadap orang atau kelompok lain, terlebih negara Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi Hak Asasi manusia sebagaimna negara menjaminnya melalui Undang-undang Nomer 39 tahun 1999 tentang HAM.
Dalam konteks keindonesiaan, selain pendidikan, kesehatan, kehidupan yang layak negara juga telah menjamin dalam konstitusi yakni kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dan jaminan rasa aman nyaman. Namun realitas berbicara lain, seolah pemerintah tutup mata bahkan cenderung membiarkan, padahal kejadian semacam ini tidak terjadi sekali duakali, tapi berpuluh bahkan beratus kali.
Produk hukum yang tidak ditegakan sama halnya memakai baju plastik bening, artinya hanya sebatas norma yang yang tidak bermanfaat, baju yang tidak bisa menutupi aurat. Jika dibiarkan akan justru membudaya, jika membudaya maka akan semakin banyak pelaku budaya. Itulah budaya hukum yang belum bisa ditinggalkan di negeri ini, terlebih hukum dan kekuasaan di Indonesia ini seperti pinang dibelah dua, anak kembar yang sulit dipisahkan.
Peristiwa pembubaran paksa “forum diskusi public” pada Hari Minggu (03 April 2016) yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiwa Islam (HMI) Cabang Pekanbaru, Jaringan Filsafat Islam(Jakfi), Batas Arus Pekanbaru oleh organisasi masyarakat Front Pembela Islam (FPI) Pekanbaru merupakan sebuah peristiwa memalukan sebagian masyarakat warga, terlebih organisasi yang beridentitaskan Islam.
Diskusi yang bertemakan “Perempuan Sebagai Rumah Cinta, Airmata , dan Kebangkitan : Sebuah Upaya Mendekatkan Identitas Perempuan Indonesia yang Progresif, Historis dan Spiritual” tidak lebih hanyalah sebagai ruang sharing gagasan dan pengetahuan, itulah konsepsi dasar diskusi. sikap yang cenderung premanisme ini seriing kali dilakukan oleh ormas tersebut. Sikap tersebut banyak kalangan menganggap itu tidak sejalan dengan Islam Indonesia yang moderat. Terlebih alasan pembubaran tersebut hanya karena dianggap beda kelompok atau firqah.
Sikap yang memaksa dan cenderung kekerasan itulah yang membuat masyarakat warga merasa terganggu, karena hakikatnya masyarakat mempunyai hak sendiri dalam menentukan jalan hidunnya, termasuk agama. Jika agama dipakai untuk menjustifikasi tindakan pemaksaan dan kekerasan atas nama Tuhan, maka Tuhan yang dimaksud pastilah bukanlah Tuhan, tetapi tuhan yang ada dalam pikirannya atau persepsinya sendiri. Dalam kondisi ituah manusia manusia sudah menghamba pada berhala ideology yang diciptakannya dan dipertuhankannya.
Mengingat bagaimana seorang rasullulah di Arab Saudi melakukan syiar islam, membawa ruh islam secara hakekat yakni kebebasan dari keterbelakangan masyarakat yang terbelenggu terhadap sesuatu yang bernilai annimisme dan dinamisme. Maka tidak aneh apabila nama allah sebenarnya adalah dewa air. Dengan sikap egaliter seorang rasullulah maka Islam dapat di terima dengan penuh kepercayaan dan nurani masyarakat tanpa adanya pretense ataupun paksaan seperti yang sering di pertontonkan oleh segelintir orang yang cenderung kaku.***
Gagasan ini berefek terhadap sikap seorang muslim bahwa seorang muslim tidak seharusnya bersikap antipasti, apriori, alergi terhadap gagasan apapun. Justru akan lebih baik bersikap sebaliknya seperti inklusif (terbuka), lapang dada, toleran, tidak sempit hati, tidak fanatic dan tidak ekstrem. Bahkan Al-Quran mengjarkan agar bersikap tabayyun (klarifikasi).
Kebebasan Nurani
Nurkholis Majid membangun sebuah konsep kebebasan diatas prinsip kebebasan nurani yaitu kebebasan diri manusia dari segala hal yang membelenggu dan menindasnya. Setiap manusia menghendaki kebebasannya sehingga lepas dari segala ikatan-ikatan selain kepada Tuhan. Itulah hak dasar manusia setelah hak hidup. Baginya pangkal “Kemanusiaan Universal” bertumpu pada kebebasan nuraninya. Lima pokok hak dasar manusia. Pertama kebebasan dari setiap bentuk pemaksaan termasuk pemaksaan atas nama kebenaran, kedua kebebasan beragama dan berserikat, ketiga kebebasan berpendapat berserikat dan berkumpul, keempat kebebasan dari rasa takut dan ancaman penyiksaan, kelima jaminan keadilan dan tidak memihak dalam hukum.
Atas kebebasan itulah sebagai nurani manusia seharusnya bercermin atas kesewenangannya dalam bersikap terhadap orang atau kelompok lain, terlebih negara Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi Hak Asasi manusia sebagaimna negara menjaminnya melalui Undang-undang Nomer 39 tahun 1999 tentang HAM.
Dalam konteks keindonesiaan, selain pendidikan, kesehatan, kehidupan yang layak negara juga telah menjamin dalam konstitusi yakni kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dan jaminan rasa aman nyaman. Namun realitas berbicara lain, seolah pemerintah tutup mata bahkan cenderung membiarkan, padahal kejadian semacam ini tidak terjadi sekali duakali, tapi berpuluh bahkan beratus kali.
Produk hukum yang tidak ditegakan sama halnya memakai baju plastik bening, artinya hanya sebatas norma yang yang tidak bermanfaat, baju yang tidak bisa menutupi aurat. Jika dibiarkan akan justru membudaya, jika membudaya maka akan semakin banyak pelaku budaya. Itulah budaya hukum yang belum bisa ditinggalkan di negeri ini, terlebih hukum dan kekuasaan di Indonesia ini seperti pinang dibelah dua, anak kembar yang sulit dipisahkan.
Peristiwa pembubaran paksa “forum diskusi public” pada Hari Minggu (03 April 2016) yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiwa Islam (HMI) Cabang Pekanbaru, Jaringan Filsafat Islam(Jakfi), Batas Arus Pekanbaru oleh organisasi masyarakat Front Pembela Islam (FPI) Pekanbaru merupakan sebuah peristiwa memalukan sebagian masyarakat warga, terlebih organisasi yang beridentitaskan Islam.
Diskusi yang bertemakan “Perempuan Sebagai Rumah Cinta, Airmata , dan Kebangkitan : Sebuah Upaya Mendekatkan Identitas Perempuan Indonesia yang Progresif, Historis dan Spiritual” tidak lebih hanyalah sebagai ruang sharing gagasan dan pengetahuan, itulah konsepsi dasar diskusi. sikap yang cenderung premanisme ini seriing kali dilakukan oleh ormas tersebut. Sikap tersebut banyak kalangan menganggap itu tidak sejalan dengan Islam Indonesia yang moderat. Terlebih alasan pembubaran tersebut hanya karena dianggap beda kelompok atau firqah.
Sikap yang memaksa dan cenderung kekerasan itulah yang membuat masyarakat warga merasa terganggu, karena hakikatnya masyarakat mempunyai hak sendiri dalam menentukan jalan hidunnya, termasuk agama. Jika agama dipakai untuk menjustifikasi tindakan pemaksaan dan kekerasan atas nama Tuhan, maka Tuhan yang dimaksud pastilah bukanlah Tuhan, tetapi tuhan yang ada dalam pikirannya atau persepsinya sendiri. Dalam kondisi ituah manusia manusia sudah menghamba pada berhala ideology yang diciptakannya dan dipertuhankannya.
Mengingat bagaimana seorang rasullulah di Arab Saudi melakukan syiar islam, membawa ruh islam secara hakekat yakni kebebasan dari keterbelakangan masyarakat yang terbelenggu terhadap sesuatu yang bernilai annimisme dan dinamisme. Maka tidak aneh apabila nama allah sebenarnya adalah dewa air. Dengan sikap egaliter seorang rasullulah maka Islam dapat di terima dengan penuh kepercayaan dan nurani masyarakat tanpa adanya pretense ataupun paksaan seperti yang sering di pertontonkan oleh segelintir orang yang cenderung kaku.***
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.