Memasuki masa pertengahan-akhir tahun politik 2014 lalu, ada dua seni fesyen yang mendadak laris dicari oleh segenap masyarakat Indonesia.
Yang pertama adalah safari putih, berpangkat diantara kedua pundak dengan empat buah saku di bagian depan, dan yang kedua adalah baju “kotak kupat” dengan dominasi merah, dengan list kecil berwarna putih dan hitam di setiap bagian dalam-luar kotak kupatnya.
Dua seni fesyen yang hadir di tengah suasana politik pilpres tersebut, dengan sendirinya merupakan representasi lain dari keberadaan dua pasangan kandidat yang sedang bertarung. Dalam suasana itu keterlibatan masyarakat sebagai pemilih dinilai cenderung lebih aktif. Masyarakat pemilih nampak terbuka untuk mendefinisikan diri masing-masing mereka, sebagai bagian dari massa pemilih yang mewakili gerbong “safari putih” atau gerbong “kotak kupat”.
Sejatinya fenomena seperti ini adalah bagian dari ciri komunikasi politik yang penting bagi para kandidat, selain bertujuan membangun citra politik di mata masyarakat pemilih, akan tetapi juga dapat memberikan satu gerakan kampanye “snow balls effect” (efek bola salju), yang dapat menarik perhatian pemilih secara lebih ekonomis dan juga efektif ditinjau dari sisi tingkat keterpilihan yang mungkin niscaya berlipat.
Jika memotret secara khusus bahwa apa yang disajikan oleh “Safari Putih” di atas, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Pada masa awal-awal kemerdekaan tahun 1945, simbolisasi para tokoh penggerak kemerdekaan telah menampilkan seni fesyen yang serupa. Sosok-sosok seperti, Agus Salim, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir dan Soekarno adalah figur konkrit atas model safari putih itu. Bersanding dengan safari putih, disebutkan pula identitas lain sepeti peci atau kopiah hitam. Bersama dengan topi atau penutup kepala, yang terbungkus apik dengan bahan kain beludru lembut berwarna hitam, dikenal pula sosok Bung Karno yang tampil populer sebagai pemimpin negara di daratan asia hingga benua eropa.
Pembahasan awal tentang kemunculan ragam bentuk fesyen, seperti “safari putih”, “baju kotak kupat” atau pun “peci hitam” adalah sebuah bentuk keniscayaan tentang arti penting dari sebuah identitas simbolik bagi para figur publik ketika hadir di ruang politik terbuka.
Bersamaan dengan tampilnya identitas politik yang dibalur dengan bingkai seni fesyen di ruang publik tersebut, terdapat satu bentuk identitas unik lain, yaitu Jambul dan Sanggul Merah yang lahir dari salah satu figur politik perempuan di level lokal Indonesia. Identitas ini ditemukan pada sosok ibu Bupati di sebuah Kabupaten di Jawa Barat.
Sebagai identitas politik kekinian, Jambul dan Sanggul merah Sang Ibu ini memang belum begitu populer apabila dibandingkan dengan identitas safari putih, baju kotak kupat dan peci hitam. Namun dengan demikian, pembahasan tentang identitas jambul dan sanggul merah sebagai simbol seni jika dihadapkan dengan tiga seni fesyen pertama (safari putih, kotak kupat dan peci hitam) menarik untuk dikaji lebih lanjut sisi historis, motif, serta peluang keberhasilannya dalam merepresentasikan identitas politiknya masing-masing.
Seni Fesyen dan Citra Politik Kesederhanaan
Dalam sejarah peradaban manusia, seni pada mulanya memainkan peranan dalam memberikan legitimasi kultural atas formasi sosial tradisional. Potret menyatunya antara karya seni di satu sisi dengan kegiatan berpolitik di sisi yang lain, dinilai oleh seorang Walter Benjamin, sebagai fase berubahnya fungsi seni dari objek kesenangan estetis menjadi instrumen dan wahana komunikasi politis. Secara materialistis Benjamin ingin memperlihatkan bahwa karya seni bukanlah produk-produk yang otonom dari praksis-praksis sosial, melainkan keberadaannya dikondisikan oleh hubungan-hubungan dan konfigurasi sosial.
Seni fesyen seperti halnya sebuah karya seni pada umumnya, seperti film, buku, teater musik dan tari, adalah ciptaan manusia yang tidak hanya bernilai adiluhung, akan tetapi mempunyai makna yang lebih dari itu. Seni fesyen adalah karya luas dari aktivitas-aktivitas sosial yang disandarkan pada nilai-nilai tertentu. Dalam seni fesyen ditemukan peristiwa-peristiwa spesifik dari komunikasi. Apa yang bisa dikomunikasikan oleh seni fesyen biasanya, bersifat lebih padat, lebih fokus, atau mungkin lebih lucu dan bersifat lebih reflektif.
Ambil contoh, di era pra-pasca kemerdekaan, identitas keindonesiaan dihadapkan pada pakaian kedaerahan yang musykil untuk diseragamkan, entah karena faktor bentuk maupun jumlah. Dengan diambilnya satu model safari putih seakan memberikan nilai fokus yang padat, tidak hanya bagi para pemimpin kemerdekaan saat itu, tapi juga memberikan peluang digunakannya safari putih oleh para pejuang kemerdekaan yang lain. Artinya tujuan dari komunikasi yang ingin disampaikan oleh “safari putih” berhasil dalam tataran ide dan praksis.
Semangat keberhasilan dari komunikasi politik yang sudah diraih oleh “safari putih” di masa silam, pada konteks politik kekinian ternyata berulang. Merujuk pada sebuah ungkapan klasik, “the same wine in the new bottle”/ (anggur boleh sama, tapi botolnya selalu baru), kembali mengingatkan bagaimana identitas baju kotak kupat yang dipakai oleh salah seorang capres tahun 2014 lalu, dinilai cukup efektif untuk menjadi simbol identitas politik yang baru. Ketika di pihak lain masih terlelap dengan penggunaan anggur dan botol yang sama, di sudut lain apa yang ingin dikomunikasikan oleh “baju kotak kupat” terbukti mengulang keberhasilan dengan nilai fokus yang dan sifat reflektifnya yang padat.
Di tengah sekian kehomogenan warna fesyen yang melekat pada masing-masing identitas politik partai,, baju “kotak kupat” hadir sebagai warna baru yang mencitrakan nilai kepluralitasan motif dan warna. Baju kotak kupat sadar untuk hadir, tidak hanya dengan pertimbangan nilai kultural kekinian, tapi juga nilai ekonomis yang melekat dalam benak masyarakat bahwa baju kotak kupat itu cenderung murah, sederhana serta merakyat.
Seni fesyen tanpa disadari selain berfungsi sebagai bentuk spesifik komunikasi visual, secara bertahap ia juga telah menempa kerangka mental, tekstur emosional, bahasa, dan pencerapan audio-visual pemahaman antar manusia mengenai masa lalu-sekarang, antara nilai lama dan nilai kebaruan. Dari sinilah kemudian seni fesyen mampu memproduksi sebuah ideologi baru, yang bersilang-fungsi pada nilai politis pencitraan.
Pada tradisi benua biru apa yang politis dan mencitra ini berawal. Dari sekian memori ingatan yang tersimpan, mudah terlihat bagaimana ragam bentuk pakaian dipopulerkan lewat film-film kerajaan yang terklasifikasikan dalam kelas-kelas sosial. Di masa tersebut fesyen menjadi ukuran bagi seseorang apakah disebut sebagai bangsawan atau rakyat jelata. Ranah publik pun secara alami menempatkan keharusan dan kebiasaan seseorang menggunakan jenis pakaian tertentu di tempat dan dalam momen tertentu.
Roland Barthes seorang filsuf sturkturalis, memotret keberlangsungan dan perkembangan seni fesyen tersebut dalam bukunya Fashion System, yang mengartikan Fesyen sebagai sistem tanda (signs). Cara tertentu seseorang dalam berpakaian sebenarnya ingin menunjukkan “keakuan diri” dan dari dalam budaya “keakuan” mana aku berasal. Contoh dari dua identitas fesyen yang sebelumnya dikemukakan, seperti; safari putih dan baju kotak kupat adalah simbol dari sistem tanda kesederhanaan yang bersandar pada argumen kesetaraan warna di sisi awal, dan nilai keekonomisan dalam kurun kedua yang berkembang.
Jika dimasukan jenis fesyen lain seperti Peci hitam, yang merupakan simbol dari identitas keindonesian, sejatinya berasas pada hakikat kesetaraan yang menyatukan. Hal terakhir ini dirujuk pada status peci hitam yang sedari awal populer di kalangan kelas sosial menengah ke bawah, yaitu kelas santri, yang secara konvensional diamini sebagai representasi terunik dari identitas fesyen pria Indonesia, yang tidak terbatasi oleh status suku bangsa maupun latar keagamaan.
Jambul: Sebuah Seni Politis Pertunjukan Kelas
Jambul dan sanggul merah sang ibu, adalah antitesa dari identitas politik pertama (safari putih, baju kotak kupat dan peci hitam). Pernyataan ini ditelisik dari dua sudut pandang, historis sekaligus juga ideologis. Dari sisi historis-ideologis, gaya rambut jambul atau populer dengan sebutan gaya rambut Pompadour, diperkenalkan pertama kali pada tahun 1900-an, oleh seorang bernama Jeanne Antoinette Poisson atau dikenal juga sebagai Madame de Pompadour, seorang aktris perempuan sekaligus selir dari Raja Louis XV. Mode rambut jambul ini dipopuilerkan kembali oleh beberapa artis ternama dengan masing-masing zaman, seperti bintang rockabilly Elvis Prasley dan Little Richard, serta aktor-aktor kawakan seperti James Dean, Marlon Brando dan John Travolta. Hingga kembali hangat oleh figur penyanyi semisal Pink, Miley Cyrus, Alicia Keys, Bruno Mars, dan Justin Bieber. (Romi; 2014).
Jambul sebagai bagian dari seni fesyen, dalam landasan filosofisnya mencerminkan bentuk kerapian, konsistensi dan kedewasaan. Hal ini merupakan sebuah proposal ideal untuk suatu landasan dari simbol komunikasi yang dihadirkan seni fesyen dalam bentuknya yang paling verbal.
Jambul pada titik ini menjadi antitesis historis-ideologis dari keberadaan identitas “Safari Putih”dan baju kotak kupat dengan idea kesempurnaan. Dalam kacamata komunikasi politik, idea kesempurnaan Jambul sangat bersifat ekslusif. Sebagai bagian dari mode rambut, jambul memang tampil lebih alami, karena ia tidak bermodalkan bahan rambut tambahan seperti halnya sanggul yang berada di posisi belakang kepala. Tetapi atas dasar historis Selir Raja Louis XV itu, cukup jelas menggambarkan bagaimana ikhtiarnya adalah untuk mencapai gaya rambut yang paling ideal.
Dan jika kembali merujuk kepada motif Sang Ibu Jambul yang senantiasa percaya diri dengan fesyennya tersebut, sekiranya sang Ibu ingat dan sadar, bahwa Jambul yang dikenakannya saat ini tidak berdiri mandiri melainkan berkaitan dengan latar belakang jabatan yang ditampuknya sekarang. Keberadaan gaya sempurna dari jambul seakan memberikan jurang pemisah yang teramat lebar, antara personal seorang ibu sebagai pemimpin rakyat dengan posisi rakyat yang dipimpin oleh beliau di sisi yang lain.
Paradoks lainnya dari fungsi politis seni rambut Jambul sang Ibu adalah dipertentangkannya dua motif keinginan antara bentuk kehormatan kelas yang ingin senantiasa dipertahankan di satu pihak dengan objek politik di masyarakat yang ingin selalu lepas dari sekat-sekat kekuasaan di pihak yang lain. Jika dirunut pula satu persatu, bahwa nyaris tidak ditemukan diantara nama-nama beken Jambulers (sebutan bagi pemakai gaya rambut jambul) yang memberikan inspirasi kesetaraan bagi masyarakat politis, di ruang dunia maupun lokal Indonesia. Alih-alih ingin meleburkan sisi “keakuan diri”, bersama khalayak luas, malah hadir belakangan sosok perempuan paling fenomenal yang bernama Syahrini, yang mengidentifikasikan diri sebagai figur manusia yang selalu ingin paling “mentereng” di negeri ini.
Dengan demikian, setelah mencukupkan diri atas pembongkaran makna dari keberadaan Jambul sang Ibu pada argumen di atas, kini kita beranjak pada ikhtiar pembongkaran kedua atas makna Sanggul Ibu, sang pemimpin.
Sanggul Kartini : Citra Perempuan Indonesia?
Dalam riwayat seni fesyen di Indonesia, sanggul adalah sebuah identitas (fesyen) perempuan yang lahir dari rahim sejarah ketidak-tunggalan. Ketidak-tunggalan sejarah sanggul secara nyata tidak hanya dirujuk dari ragam latar daerah tempat dari mana ia berasal dan digunakan, namun makna dan tujuan dari perempuan Indonesia bersanggul pun hingga tempo kiwari masih senantiasa diperdebatkan.
Dari sekian perdebatan argumen tentang alasan digunakannya sanggul sebagai identitas perempuan nusantara, menyebutkan bahwa sanggul merupakan warisan gaya berpenampilannya para perempuan di lingkungan Kerajaan, guna menyiasati juntaian rambut panjang, yaitu dengan cara digumpal-ikatkannya mahkota perempuan tersebut pada kepala bagian belakang.
Namun dalam kurun kekinian, jamak disebutkan bahwa kaum perempuan negeri ini menggunakan sanggul dengan melulu mengidentikkan diri mereka pada sosok Kartini, seorang perempuan ningrat Jawa yang lahir di zaman kolonial. Proses indentifikasi tersebut tak lain disandarkan pada memori kolektif atas beberapa foto-foto jadul sang pahlawan nasional, terutama di bawah rezim orde baru, yang sengaja dipajang dan dipopulerkan sejak bangku sekolah dasar hingga kuliahan. Tak cukup dengan itu, gaya berpenampilan Kartini selanjutnya dibaku-bekukan dengan segala macam ritual perlombaan, yang di dalamnya dipenuhi dengan motif konsumtif para pesolek, serta taburan mesra produk-produk kosmetik dalam-luar negeri yang senantiasa menggila.
Kartini dalam pertarungan seni fesyen ini pun dengan sendirinya menjadi objek dari proyek kuasa tertentu, dalam rangka membangun sebuah image baru tentang arti dari keseragaman dan kepatutan sebuah cara berpenampilan kaum perempuan di Indonesia. Bentuk keseragaman dan kepatutan dalam tata cara berpakaian (seni fesyen) seperti model Kartini di atas, tentu saja memposisikan perempuan dalam satu penilaian yang seragam. Dan pada akhirnya nilai keseragaman yang didasarkan pada identitas keperempuanan Kartini, berupa sanggul tersebut, justru jika dikaji dalam pandangan konteks-ideologis Kartini menjadi bermasalah, sedikitnya disebabkan atas dua hal, pertama adalah jatuhnya makna “Sanggul” Kartini dalam kubangan waham kebangsawanan dan yang kedua adalah pada mitos kecantikan dan keanggunan perempuan yang diperjualbelikan.
Sanggul Sang Ibu: Bukan Akhir
Dalam perjalanannya itu sanggul, sebagai mode rambut yang semula menyiratkan tanda kehormatan pada suatu titik dalam sejarah identitas keindonesiaan, kini jatuh pada nilainya yang paling memprihatinkan, hal ini terbukti ketika sanggul lebih menjadi warna wajib dalam setiap peristiwa atau ritual formal (pada masa kerajaan maupun masa pasca kemerdekaan), yang kembali lekat pada ide kebangsawanan. Sedangkan dibalik ide sanggul sebagai identitas kebangsawanan mewartakan bergesernya makna sanggul yang semula diartikan sebagai sebuah kebutuhan perempuan, menjadi “gaya hidup” perempuan, yang jatuh pada delusi kecantikan dan kemandulan citra personal.
Sanggul yang hanya diartikan sebagai simbol untuk menjaga penampilan yang senantiasa apik dan menawan an sich itu, dengan sendirinya ingin meneguhkan kembali prinsip bentuk kecantikan mutlak yang selalu bermula dari apa yang tampak di permukaan, dan bukan sebaliknya.
Prinsip yang senantiasa dimulai dari permukaan diri, tidak sepenuhnya salah, dan menjadi hal yang wajar. Dengan begitu Sang Ibu pun mungkin lupa bahwa apa yang dihadapi olehnya selain realitas politik, -yang mengandaikan sang pemimpin itu mustahil berada dalam relasinya : atas-bawah, depan-belakang, indah-buruk rupa, atau anggun-ndeso-, akan tetapi juga sedang berposisinya sang Ibu dalam satu candu kuasa yang bernama imperium citra. (Valentinus Saeng; 2012).
Citra dengan demikian adalah Sang Ibu. Maka apapun yang dikenakan sang Ibu adalah ukuran mutlak dari relasi, interaksi, komunikasi dan aksi yang senantiasa bersandar pada nilai dan motifnya yang paling mengemukakan citra. Segala apa yang tampak dalam permukaan kemudian menjadi mahal dan penting. Bungkus lebih penting daripada isi, kesan lebih penting daripada substansi, tampilan lebih berharga daripada intisari dan peran panggung lebih mulia daripada jatidiri. Hingga pada akhirnya, Jambul maupun Sanggul (dari seni fesyen) sang Ibu yang semula akan memunculkan bentuk komunikasi politik baru (semisal: safari putih dan baju kotak kupat) yang diharapkan dapat melahirkan pola maupun gaya kepemimpinan baru, justru niscaya berhenti pada garis sensasi yang minim prestasi.***
Penulis: Syafaat Mohamad
Yang pertama adalah safari putih, berpangkat diantara kedua pundak dengan empat buah saku di bagian depan, dan yang kedua adalah baju “kotak kupat” dengan dominasi merah, dengan list kecil berwarna putih dan hitam di setiap bagian dalam-luar kotak kupatnya.
Dua seni fesyen yang hadir di tengah suasana politik pilpres tersebut, dengan sendirinya merupakan representasi lain dari keberadaan dua pasangan kandidat yang sedang bertarung. Dalam suasana itu keterlibatan masyarakat sebagai pemilih dinilai cenderung lebih aktif. Masyarakat pemilih nampak terbuka untuk mendefinisikan diri masing-masing mereka, sebagai bagian dari massa pemilih yang mewakili gerbong “safari putih” atau gerbong “kotak kupat”.
Sejatinya fenomena seperti ini adalah bagian dari ciri komunikasi politik yang penting bagi para kandidat, selain bertujuan membangun citra politik di mata masyarakat pemilih, akan tetapi juga dapat memberikan satu gerakan kampanye “snow balls effect” (efek bola salju), yang dapat menarik perhatian pemilih secara lebih ekonomis dan juga efektif ditinjau dari sisi tingkat keterpilihan yang mungkin niscaya berlipat.
Jika memotret secara khusus bahwa apa yang disajikan oleh “Safari Putih” di atas, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Pada masa awal-awal kemerdekaan tahun 1945, simbolisasi para tokoh penggerak kemerdekaan telah menampilkan seni fesyen yang serupa. Sosok-sosok seperti, Agus Salim, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir dan Soekarno adalah figur konkrit atas model safari putih itu. Bersanding dengan safari putih, disebutkan pula identitas lain sepeti peci atau kopiah hitam. Bersama dengan topi atau penutup kepala, yang terbungkus apik dengan bahan kain beludru lembut berwarna hitam, dikenal pula sosok Bung Karno yang tampil populer sebagai pemimpin negara di daratan asia hingga benua eropa.
Pembahasan awal tentang kemunculan ragam bentuk fesyen, seperti “safari putih”, “baju kotak kupat” atau pun “peci hitam” adalah sebuah bentuk keniscayaan tentang arti penting dari sebuah identitas simbolik bagi para figur publik ketika hadir di ruang politik terbuka.
Bersamaan dengan tampilnya identitas politik yang dibalur dengan bingkai seni fesyen di ruang publik tersebut, terdapat satu bentuk identitas unik lain, yaitu Jambul dan Sanggul Merah yang lahir dari salah satu figur politik perempuan di level lokal Indonesia. Identitas ini ditemukan pada sosok ibu Bupati di sebuah Kabupaten di Jawa Barat.
Sebagai identitas politik kekinian, Jambul dan Sanggul merah Sang Ibu ini memang belum begitu populer apabila dibandingkan dengan identitas safari putih, baju kotak kupat dan peci hitam. Namun dengan demikian, pembahasan tentang identitas jambul dan sanggul merah sebagai simbol seni jika dihadapkan dengan tiga seni fesyen pertama (safari putih, kotak kupat dan peci hitam) menarik untuk dikaji lebih lanjut sisi historis, motif, serta peluang keberhasilannya dalam merepresentasikan identitas politiknya masing-masing.
Seni Fesyen dan Citra Politik Kesederhanaan
Dalam sejarah peradaban manusia, seni pada mulanya memainkan peranan dalam memberikan legitimasi kultural atas formasi sosial tradisional. Potret menyatunya antara karya seni di satu sisi dengan kegiatan berpolitik di sisi yang lain, dinilai oleh seorang Walter Benjamin, sebagai fase berubahnya fungsi seni dari objek kesenangan estetis menjadi instrumen dan wahana komunikasi politis. Secara materialistis Benjamin ingin memperlihatkan bahwa karya seni bukanlah produk-produk yang otonom dari praksis-praksis sosial, melainkan keberadaannya dikondisikan oleh hubungan-hubungan dan konfigurasi sosial.
Seni fesyen seperti halnya sebuah karya seni pada umumnya, seperti film, buku, teater musik dan tari, adalah ciptaan manusia yang tidak hanya bernilai adiluhung, akan tetapi mempunyai makna yang lebih dari itu. Seni fesyen adalah karya luas dari aktivitas-aktivitas sosial yang disandarkan pada nilai-nilai tertentu. Dalam seni fesyen ditemukan peristiwa-peristiwa spesifik dari komunikasi. Apa yang bisa dikomunikasikan oleh seni fesyen biasanya, bersifat lebih padat, lebih fokus, atau mungkin lebih lucu dan bersifat lebih reflektif.
Ambil contoh, di era pra-pasca kemerdekaan, identitas keindonesiaan dihadapkan pada pakaian kedaerahan yang musykil untuk diseragamkan, entah karena faktor bentuk maupun jumlah. Dengan diambilnya satu model safari putih seakan memberikan nilai fokus yang padat, tidak hanya bagi para pemimpin kemerdekaan saat itu, tapi juga memberikan peluang digunakannya safari putih oleh para pejuang kemerdekaan yang lain. Artinya tujuan dari komunikasi yang ingin disampaikan oleh “safari putih” berhasil dalam tataran ide dan praksis.
Semangat keberhasilan dari komunikasi politik yang sudah diraih oleh “safari putih” di masa silam, pada konteks politik kekinian ternyata berulang. Merujuk pada sebuah ungkapan klasik, “the same wine in the new bottle”/ (anggur boleh sama, tapi botolnya selalu baru), kembali mengingatkan bagaimana identitas baju kotak kupat yang dipakai oleh salah seorang capres tahun 2014 lalu, dinilai cukup efektif untuk menjadi simbol identitas politik yang baru. Ketika di pihak lain masih terlelap dengan penggunaan anggur dan botol yang sama, di sudut lain apa yang ingin dikomunikasikan oleh “baju kotak kupat” terbukti mengulang keberhasilan dengan nilai fokus yang dan sifat reflektifnya yang padat.
Di tengah sekian kehomogenan warna fesyen yang melekat pada masing-masing identitas politik partai,, baju “kotak kupat” hadir sebagai warna baru yang mencitrakan nilai kepluralitasan motif dan warna. Baju kotak kupat sadar untuk hadir, tidak hanya dengan pertimbangan nilai kultural kekinian, tapi juga nilai ekonomis yang melekat dalam benak masyarakat bahwa baju kotak kupat itu cenderung murah, sederhana serta merakyat.
Seni fesyen tanpa disadari selain berfungsi sebagai bentuk spesifik komunikasi visual, secara bertahap ia juga telah menempa kerangka mental, tekstur emosional, bahasa, dan pencerapan audio-visual pemahaman antar manusia mengenai masa lalu-sekarang, antara nilai lama dan nilai kebaruan. Dari sinilah kemudian seni fesyen mampu memproduksi sebuah ideologi baru, yang bersilang-fungsi pada nilai politis pencitraan.
Pada tradisi benua biru apa yang politis dan mencitra ini berawal. Dari sekian memori ingatan yang tersimpan, mudah terlihat bagaimana ragam bentuk pakaian dipopulerkan lewat film-film kerajaan yang terklasifikasikan dalam kelas-kelas sosial. Di masa tersebut fesyen menjadi ukuran bagi seseorang apakah disebut sebagai bangsawan atau rakyat jelata. Ranah publik pun secara alami menempatkan keharusan dan kebiasaan seseorang menggunakan jenis pakaian tertentu di tempat dan dalam momen tertentu.
Roland Barthes seorang filsuf sturkturalis, memotret keberlangsungan dan perkembangan seni fesyen tersebut dalam bukunya Fashion System, yang mengartikan Fesyen sebagai sistem tanda (signs). Cara tertentu seseorang dalam berpakaian sebenarnya ingin menunjukkan “keakuan diri” dan dari dalam budaya “keakuan” mana aku berasal. Contoh dari dua identitas fesyen yang sebelumnya dikemukakan, seperti; safari putih dan baju kotak kupat adalah simbol dari sistem tanda kesederhanaan yang bersandar pada argumen kesetaraan warna di sisi awal, dan nilai keekonomisan dalam kurun kedua yang berkembang.
Jika dimasukan jenis fesyen lain seperti Peci hitam, yang merupakan simbol dari identitas keindonesian, sejatinya berasas pada hakikat kesetaraan yang menyatukan. Hal terakhir ini dirujuk pada status peci hitam yang sedari awal populer di kalangan kelas sosial menengah ke bawah, yaitu kelas santri, yang secara konvensional diamini sebagai representasi terunik dari identitas fesyen pria Indonesia, yang tidak terbatasi oleh status suku bangsa maupun latar keagamaan.
Jambul: Sebuah Seni Politis Pertunjukan Kelas
Jambul dan sanggul merah sang ibu, adalah antitesa dari identitas politik pertama (safari putih, baju kotak kupat dan peci hitam). Pernyataan ini ditelisik dari dua sudut pandang, historis sekaligus juga ideologis. Dari sisi historis-ideologis, gaya rambut jambul atau populer dengan sebutan gaya rambut Pompadour, diperkenalkan pertama kali pada tahun 1900-an, oleh seorang bernama Jeanne Antoinette Poisson atau dikenal juga sebagai Madame de Pompadour, seorang aktris perempuan sekaligus selir dari Raja Louis XV. Mode rambut jambul ini dipopuilerkan kembali oleh beberapa artis ternama dengan masing-masing zaman, seperti bintang rockabilly Elvis Prasley dan Little Richard, serta aktor-aktor kawakan seperti James Dean, Marlon Brando dan John Travolta. Hingga kembali hangat oleh figur penyanyi semisal Pink, Miley Cyrus, Alicia Keys, Bruno Mars, dan Justin Bieber. (Romi; 2014).
Jambul sebagai bagian dari seni fesyen, dalam landasan filosofisnya mencerminkan bentuk kerapian, konsistensi dan kedewasaan. Hal ini merupakan sebuah proposal ideal untuk suatu landasan dari simbol komunikasi yang dihadirkan seni fesyen dalam bentuknya yang paling verbal.
Jambul pada titik ini menjadi antitesis historis-ideologis dari keberadaan identitas “Safari Putih”dan baju kotak kupat dengan idea kesempurnaan. Dalam kacamata komunikasi politik, idea kesempurnaan Jambul sangat bersifat ekslusif. Sebagai bagian dari mode rambut, jambul memang tampil lebih alami, karena ia tidak bermodalkan bahan rambut tambahan seperti halnya sanggul yang berada di posisi belakang kepala. Tetapi atas dasar historis Selir Raja Louis XV itu, cukup jelas menggambarkan bagaimana ikhtiarnya adalah untuk mencapai gaya rambut yang paling ideal.
Dan jika kembali merujuk kepada motif Sang Ibu Jambul yang senantiasa percaya diri dengan fesyennya tersebut, sekiranya sang Ibu ingat dan sadar, bahwa Jambul yang dikenakannya saat ini tidak berdiri mandiri melainkan berkaitan dengan latar belakang jabatan yang ditampuknya sekarang. Keberadaan gaya sempurna dari jambul seakan memberikan jurang pemisah yang teramat lebar, antara personal seorang ibu sebagai pemimpin rakyat dengan posisi rakyat yang dipimpin oleh beliau di sisi yang lain.
Paradoks lainnya dari fungsi politis seni rambut Jambul sang Ibu adalah dipertentangkannya dua motif keinginan antara bentuk kehormatan kelas yang ingin senantiasa dipertahankan di satu pihak dengan objek politik di masyarakat yang ingin selalu lepas dari sekat-sekat kekuasaan di pihak yang lain. Jika dirunut pula satu persatu, bahwa nyaris tidak ditemukan diantara nama-nama beken Jambulers (sebutan bagi pemakai gaya rambut jambul) yang memberikan inspirasi kesetaraan bagi masyarakat politis, di ruang dunia maupun lokal Indonesia. Alih-alih ingin meleburkan sisi “keakuan diri”, bersama khalayak luas, malah hadir belakangan sosok perempuan paling fenomenal yang bernama Syahrini, yang mengidentifikasikan diri sebagai figur manusia yang selalu ingin paling “mentereng” di negeri ini.
Dengan demikian, setelah mencukupkan diri atas pembongkaran makna dari keberadaan Jambul sang Ibu pada argumen di atas, kini kita beranjak pada ikhtiar pembongkaran kedua atas makna Sanggul Ibu, sang pemimpin.
Sanggul Kartini : Citra Perempuan Indonesia?
Dalam riwayat seni fesyen di Indonesia, sanggul adalah sebuah identitas (fesyen) perempuan yang lahir dari rahim sejarah ketidak-tunggalan. Ketidak-tunggalan sejarah sanggul secara nyata tidak hanya dirujuk dari ragam latar daerah tempat dari mana ia berasal dan digunakan, namun makna dan tujuan dari perempuan Indonesia bersanggul pun hingga tempo kiwari masih senantiasa diperdebatkan.
Dari sekian perdebatan argumen tentang alasan digunakannya sanggul sebagai identitas perempuan nusantara, menyebutkan bahwa sanggul merupakan warisan gaya berpenampilannya para perempuan di lingkungan Kerajaan, guna menyiasati juntaian rambut panjang, yaitu dengan cara digumpal-ikatkannya mahkota perempuan tersebut pada kepala bagian belakang.
Namun dalam kurun kekinian, jamak disebutkan bahwa kaum perempuan negeri ini menggunakan sanggul dengan melulu mengidentikkan diri mereka pada sosok Kartini, seorang perempuan ningrat Jawa yang lahir di zaman kolonial. Proses indentifikasi tersebut tak lain disandarkan pada memori kolektif atas beberapa foto-foto jadul sang pahlawan nasional, terutama di bawah rezim orde baru, yang sengaja dipajang dan dipopulerkan sejak bangku sekolah dasar hingga kuliahan. Tak cukup dengan itu, gaya berpenampilan Kartini selanjutnya dibaku-bekukan dengan segala macam ritual perlombaan, yang di dalamnya dipenuhi dengan motif konsumtif para pesolek, serta taburan mesra produk-produk kosmetik dalam-luar negeri yang senantiasa menggila.
Kartini dalam pertarungan seni fesyen ini pun dengan sendirinya menjadi objek dari proyek kuasa tertentu, dalam rangka membangun sebuah image baru tentang arti dari keseragaman dan kepatutan sebuah cara berpenampilan kaum perempuan di Indonesia. Bentuk keseragaman dan kepatutan dalam tata cara berpakaian (seni fesyen) seperti model Kartini di atas, tentu saja memposisikan perempuan dalam satu penilaian yang seragam. Dan pada akhirnya nilai keseragaman yang didasarkan pada identitas keperempuanan Kartini, berupa sanggul tersebut, justru jika dikaji dalam pandangan konteks-ideologis Kartini menjadi bermasalah, sedikitnya disebabkan atas dua hal, pertama adalah jatuhnya makna “Sanggul” Kartini dalam kubangan waham kebangsawanan dan yang kedua adalah pada mitos kecantikan dan keanggunan perempuan yang diperjualbelikan.
Sanggul Sang Ibu: Bukan Akhir
Dalam perjalanannya itu sanggul, sebagai mode rambut yang semula menyiratkan tanda kehormatan pada suatu titik dalam sejarah identitas keindonesiaan, kini jatuh pada nilainya yang paling memprihatinkan, hal ini terbukti ketika sanggul lebih menjadi warna wajib dalam setiap peristiwa atau ritual formal (pada masa kerajaan maupun masa pasca kemerdekaan), yang kembali lekat pada ide kebangsawanan. Sedangkan dibalik ide sanggul sebagai identitas kebangsawanan mewartakan bergesernya makna sanggul yang semula diartikan sebagai sebuah kebutuhan perempuan, menjadi “gaya hidup” perempuan, yang jatuh pada delusi kecantikan dan kemandulan citra personal.
Sanggul yang hanya diartikan sebagai simbol untuk menjaga penampilan yang senantiasa apik dan menawan an sich itu, dengan sendirinya ingin meneguhkan kembali prinsip bentuk kecantikan mutlak yang selalu bermula dari apa yang tampak di permukaan, dan bukan sebaliknya.
Prinsip yang senantiasa dimulai dari permukaan diri, tidak sepenuhnya salah, dan menjadi hal yang wajar. Dengan begitu Sang Ibu pun mungkin lupa bahwa apa yang dihadapi olehnya selain realitas politik, -yang mengandaikan sang pemimpin itu mustahil berada dalam relasinya : atas-bawah, depan-belakang, indah-buruk rupa, atau anggun-ndeso-, akan tetapi juga sedang berposisinya sang Ibu dalam satu candu kuasa yang bernama imperium citra. (Valentinus Saeng; 2012).
Citra dengan demikian adalah Sang Ibu. Maka apapun yang dikenakan sang Ibu adalah ukuran mutlak dari relasi, interaksi, komunikasi dan aksi yang senantiasa bersandar pada nilai dan motifnya yang paling mengemukakan citra. Segala apa yang tampak dalam permukaan kemudian menjadi mahal dan penting. Bungkus lebih penting daripada isi, kesan lebih penting daripada substansi, tampilan lebih berharga daripada intisari dan peran panggung lebih mulia daripada jatidiri. Hingga pada akhirnya, Jambul maupun Sanggul (dari seni fesyen) sang Ibu yang semula akan memunculkan bentuk komunikasi politik baru (semisal: safari putih dan baju kotak kupat) yang diharapkan dapat melahirkan pola maupun gaya kepemimpinan baru, justru niscaya berhenti pada garis sensasi yang minim prestasi.***
Penulis: Syafaat Mohamad
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.