Penulis adalah Orang Kuningan, Alumnus Intercultural Leadership Camp Programme, Victoria University of Wellington, New Zealand. Saat ini tengah menempuh Program Doktoral.
SuaraKuningan.com - Dalam perjalanan menyusuri wilayah Ciawigebang, Lebakwangi dan Luragung, tidak jarang kita dapat menyaksikan keindahan hamparan tebu yang sangat luas. Sejauh mata memandang, dedaunan panjang pohon yang menghasilkan rasa manis itu terus melambai seakan mengajak kita untuk bergoyang bersama dalam riuhnya terpaan angin.
Areal yang hanya ditanami pohon-pohon berdaun hijau yang terkadang cukup tajam apabila terkena kulit itu, ternyata memiliki riwayat yang cukup panjang dalam perjalanan sejarah kita, sejarah yang mencakup politik, ekonomi, dan kekuasaan.
Sejak dahulu kala, Kuningan memang telah menjadi wilayah yang amat subur dan bisa ditumbuhi pepohonan tebu seperti itu. Terletak di sebelah timur kaki Gunung Ciremai, daerah ini memang seakan mendapat anugerah karena tanahnya sangat mudah sekali ditanami pelbagai macam tumbuhan dan menghasilkan panen yang begitu melimpah.
Secara morfologis, Kuningan terdiri dari dataran yang sangat variatif, mulai yang tinggi hingga yang rendah sekalipun. “Bagian barat dan selatan mempunyai ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut, sedangkan di bagian timur ketinggiannya sekitar 120 - 222 meter di atas permukaan laut,” tulis M. Ahmad Sya dalam Geografi Pariwisata Kabupaten Kuningan terbitan tahun 2005.
Kesuburan Kuningan itu berasal dari lapisan tanah yang banyak mengandung endapan vulkanis asal gunung berapi yang berada di sisi baratnya. Dari dataran tinggi tersebut, mengalir banyak sumber air yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
“Itulah sebabnya, di dataran Kuningan hidup subur aneka macam tanaman, baik tanaman liar berupa hutan maupun tanaman peliharaan melalui usaha pertanian dan perkebunan, sebagaimana wilayah Jawa Barat lainnya,” ungkap Edi S. Ekadjati dalam salah satu buku terpentingnya dalam kajian khazanah Suna, Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah.
Kondisi alam yang sangat aduhai tersebut menarik banyak pihak untuk menguasai wilayah Kuningan dan memanfaatkan lahannya untuk kepentingan materil mereka. Salah satu pihak yang dimaksud itu adalah pemerintah kolonial Belanda. Setelah sukses dengan budidaya kopi yang sangat memeras tenaga rakyat namun sangat menguntungkan kas keuangan mereka, para penjajah asing itu mulai melirik bisnis gula sebagai pemasukan baru bidang ekonomi mereka.
Sejak abad ke-19, industri gula yang salah satu pusatnya berada di daerah Sindang Laut dan Karang Sembung Cirebon, menyebar ke wilayah timur Kuningan, seperti Ciawigebang, Lebakwangi, dan Luragung, yang memang pernah berada dalam kekuasaan Gebang pada abad-abad sebelumnya. Relasi semacam itu, menurut Singgih Tri Sulistiyono dalam Pengantar Sejarah Maritim Indonesia, “menunjukkan adanya hubungan yang sangat kuat antara kota pelabuhan dengan daerah hinterland.”
Dalam konteks ini, daerah Kuningan merupakan salah satu daerah hinterland yang menjadi produsen sumber daya alam yang sangat penting untuk menarik gairah perdagangan di kota pelabuhan Cirebon.
Perkebunan tebu yang tersebar di banyak desa di setengah bagian Kuningan itu tidak serta merta mengangkat derajat ekonomi masyarakat, apalagi meningkatkan harkat dan martabatnya. Kehidupan penduduk yang bekerja sebagai pengelola perkebunan milik orang-orang asing itu tidak menjadi lebih baik, bahkan menjadi semakin buruk karena pekerjaan semacam itu lebih menyerupai perbudakan mengingat dalam pelaksanaannya disertai dengan ancaman. Hubungan kerja antara orang asing dengan pribumi saat itu memang didominasi oleh ketidakrelaan dan keterpaksaan.
Selain adanya perbudakan dalam topeng pegawai atau kuli perkebunan, ada pula sistem kerja paksa lain dalam bentuk cultuurstelsel yang tidak hanya menuntut tanah tetapi juga tenaga penduduk untuk membudidayakan hasil perkebunan kolonial seperti gula, kopi dan nila. Dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, Reggie Baay menuliskan bahwa, “beban hidup yang harus ditanggung masyarakat pada saat itu begitu besar, mungkin berkat harga beras yang kebetulan turun pada saat itu, maka bencana kelaparan tidak sampai melanda tanah Hindia Belanda.”
Banyak orang yang berkutat dalam perkebunan tebu dan industri gula itu bekerja dengan tidak didasari oleh keinginan mereka sendiri. Sebagian besarnya adalah penduduk yang diincar oleh para penguasa tanah dan kemudian dijadikan sebagai pengolah lahan yang mereka miliki secara paksa. Apabila terdapat pembangkangan, maka dapat dipastikan keselamatan jiwanya akan terancam. Tidak mengherankan apabila bersamaan dengan adanya sistem industri gula itu, migrasi penduduk dari wilayah perkebunan tebu ke daerah-daerah tertentu pun turut terjadi.
Selain bersembunyi ke daerah pedalaman yang dianggap lebih aman dari cengkeraman para pencari tenaga kerja industri gula itu, sebagian lainnya pergi ke kota-kota tertentu untuk mengabdi kepada seorang tokoh yang berpengaruh. Dengan sistem perlindungan patron-klien kawula dan abdi tersebut, para perantau yang kabur dari kerja paksa di daerahnya tersebut akan mendapat perlindungan yang tidak bisa ia temukan di tempat-tempat lainnya disamping mendapat penghasilan yang tentunya amat ia butuhkan untuk kehidupan diri dan keluarganya.
Melihat alur sejarah panjang tebu yang menyangkut wilayah Kuningan tersebut, rasa manis tebu seakan berubah menjadi sangat pahit. Sepahit kehidupan masyarakat, yang mungkin salah satunya adalah leluhur kita di masa lampau.(Tendy Chaskey)
Areal yang hanya ditanami pohon-pohon berdaun hijau yang terkadang cukup tajam apabila terkena kulit itu, ternyata memiliki riwayat yang cukup panjang dalam perjalanan sejarah kita, sejarah yang mencakup politik, ekonomi, dan kekuasaan.
Sejak dahulu kala, Kuningan memang telah menjadi wilayah yang amat subur dan bisa ditumbuhi pepohonan tebu seperti itu. Terletak di sebelah timur kaki Gunung Ciremai, daerah ini memang seakan mendapat anugerah karena tanahnya sangat mudah sekali ditanami pelbagai macam tumbuhan dan menghasilkan panen yang begitu melimpah.
Secara morfologis, Kuningan terdiri dari dataran yang sangat variatif, mulai yang tinggi hingga yang rendah sekalipun. “Bagian barat dan selatan mempunyai ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut, sedangkan di bagian timur ketinggiannya sekitar 120 - 222 meter di atas permukaan laut,” tulis M. Ahmad Sya dalam Geografi Pariwisata Kabupaten Kuningan terbitan tahun 2005.
Kesuburan Kuningan itu berasal dari lapisan tanah yang banyak mengandung endapan vulkanis asal gunung berapi yang berada di sisi baratnya. Dari dataran tinggi tersebut, mengalir banyak sumber air yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
“Itulah sebabnya, di dataran Kuningan hidup subur aneka macam tanaman, baik tanaman liar berupa hutan maupun tanaman peliharaan melalui usaha pertanian dan perkebunan, sebagaimana wilayah Jawa Barat lainnya,” ungkap Edi S. Ekadjati dalam salah satu buku terpentingnya dalam kajian khazanah Suna, Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah.
Kondisi alam yang sangat aduhai tersebut menarik banyak pihak untuk menguasai wilayah Kuningan dan memanfaatkan lahannya untuk kepentingan materil mereka. Salah satu pihak yang dimaksud itu adalah pemerintah kolonial Belanda. Setelah sukses dengan budidaya kopi yang sangat memeras tenaga rakyat namun sangat menguntungkan kas keuangan mereka, para penjajah asing itu mulai melirik bisnis gula sebagai pemasukan baru bidang ekonomi mereka.
Sejak abad ke-19, industri gula yang salah satu pusatnya berada di daerah Sindang Laut dan Karang Sembung Cirebon, menyebar ke wilayah timur Kuningan, seperti Ciawigebang, Lebakwangi, dan Luragung, yang memang pernah berada dalam kekuasaan Gebang pada abad-abad sebelumnya. Relasi semacam itu, menurut Singgih Tri Sulistiyono dalam Pengantar Sejarah Maritim Indonesia, “menunjukkan adanya hubungan yang sangat kuat antara kota pelabuhan dengan daerah hinterland.”
Dalam konteks ini, daerah Kuningan merupakan salah satu daerah hinterland yang menjadi produsen sumber daya alam yang sangat penting untuk menarik gairah perdagangan di kota pelabuhan Cirebon.
Perkebunan tebu yang tersebar di banyak desa di setengah bagian Kuningan itu tidak serta merta mengangkat derajat ekonomi masyarakat, apalagi meningkatkan harkat dan martabatnya. Kehidupan penduduk yang bekerja sebagai pengelola perkebunan milik orang-orang asing itu tidak menjadi lebih baik, bahkan menjadi semakin buruk karena pekerjaan semacam itu lebih menyerupai perbudakan mengingat dalam pelaksanaannya disertai dengan ancaman. Hubungan kerja antara orang asing dengan pribumi saat itu memang didominasi oleh ketidakrelaan dan keterpaksaan.
Selain adanya perbudakan dalam topeng pegawai atau kuli perkebunan, ada pula sistem kerja paksa lain dalam bentuk cultuurstelsel yang tidak hanya menuntut tanah tetapi juga tenaga penduduk untuk membudidayakan hasil perkebunan kolonial seperti gula, kopi dan nila. Dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, Reggie Baay menuliskan bahwa, “beban hidup yang harus ditanggung masyarakat pada saat itu begitu besar, mungkin berkat harga beras yang kebetulan turun pada saat itu, maka bencana kelaparan tidak sampai melanda tanah Hindia Belanda.”
Banyak orang yang berkutat dalam perkebunan tebu dan industri gula itu bekerja dengan tidak didasari oleh keinginan mereka sendiri. Sebagian besarnya adalah penduduk yang diincar oleh para penguasa tanah dan kemudian dijadikan sebagai pengolah lahan yang mereka miliki secara paksa. Apabila terdapat pembangkangan, maka dapat dipastikan keselamatan jiwanya akan terancam. Tidak mengherankan apabila bersamaan dengan adanya sistem industri gula itu, migrasi penduduk dari wilayah perkebunan tebu ke daerah-daerah tertentu pun turut terjadi.
Selain bersembunyi ke daerah pedalaman yang dianggap lebih aman dari cengkeraman para pencari tenaga kerja industri gula itu, sebagian lainnya pergi ke kota-kota tertentu untuk mengabdi kepada seorang tokoh yang berpengaruh. Dengan sistem perlindungan patron-klien kawula dan abdi tersebut, para perantau yang kabur dari kerja paksa di daerahnya tersebut akan mendapat perlindungan yang tidak bisa ia temukan di tempat-tempat lainnya disamping mendapat penghasilan yang tentunya amat ia butuhkan untuk kehidupan diri dan keluarganya.
Melihat alur sejarah panjang tebu yang menyangkut wilayah Kuningan tersebut, rasa manis tebu seakan berubah menjadi sangat pahit. Sepahit kehidupan masyarakat, yang mungkin salah satunya adalah leluhur kita di masa lampau.(Tendy Chaskey)
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.