SuaraKuningan.com - Masyarakat Indonesia pada umumnya menganggap bahwa Belanda telah menjajah Kepulauan Nusantara selama 3,5 abad atau 350 tahun di masa lalu. Anggapan tersebut memang kontroversial dan pastinya ditentang, tidak hanya oleh ahli sejarah Indonesia namun juga oleh sejarawan asal Belanda sendiri. Meski kontroversi mengenai lamanya waktu Indonesia dijajah Belanda itu terus bergulir, mereka yang bersilang pendapat tetap sepakat bahwa pada masa itu kekuatan Belanda telah berkembang dengan sangat kuat dan amat sulit untuk ditandingi oleh kekuatan kerajaan lokal.
Kekuatan militer Hindia Belanda yang sangat besar didorong oleh perkembangan industri yang sangat pesat di Eropa dan hal itu semakin memperkuat posisi mereka di kawasan Nusantara. Kemajuan militer pemerintah kolonial Belanda mulai terasa sejak bergulirnya abad ke-19 dan daerah-daerah yang masih merdeka pada saat itu tidak dapat berbuat banyak dengan apa yang dicapai kekuatan yang berpusat di Batavia tersebut.
“Ketika kekuatan penjajah yang berkembang itu mulai menggunakan senapan yang pelurunya diisi dari bagian belakang, mauser, kapal perang bertenaga uap, dan hasil-hasil militer lain dari suatu perekonomian industri, sebagian besar negara-negara pra-industri Indonesia hanya dapat melawan dengan tekad dan senjata-senjata api yang kuno,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern Indonesia, 1200-2008.
Meskipun posisi Hindia Belanda berada di atas angin dan tidak ada yang sanggup menggoyahkannya, mereka tetap mengkhawatirkan potensi-potensi kuat resistensi lokal yang tersebar di banyak daerah. Terlebih setelah terjadinya Perang Diponegoro yang telah merugikan pemerintah kolonial hingga puluhan juta gulden, mereka semakin memperkuat tekanan dan pengawasan terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki banyak pengikut.
Penguasa asing itu mempunyai ketakutan yang sangat luar biasa terhadap orang-orang yang memiliki pengaruh besar di tengah masyarakat luas, apalagi jika orang tersebut dapat memainkan peranan strategis mereka dengan baik. Salah satu sosok yang ditakuti oleh pemerintah kolonial Belanda adalah Hasan Maolani, seorang ulama kharismatik penyebar ajaran tauhid Islam yang berasal dari Lengkong Kuningan.
Tokoh yang seringkali disebut sebagai Eyang Hasan Maolani oleh keturunan dan para muridnya ini, merupakan salah seorang ulama yang memiliki peran amat penting dalam perkembangan Islam di wilayah Kuningan dan sekitarnya pada abad ke-19. Hasan Maolani merupakan tokoh Islam yang memiliki cakrawala pengetahuan dan pergaulan yang sangat luas. Hal itu membuatnya menjadi sosok yang sangat disegani dan dihormati di pelbagai lapisan masyarakat.
Pengaruh besar Hasan Maolani dapat terlihat dari besarnya jumlah santri yang ada di pesantren yang dirintis olehnya. Peranannya begitu kental dalam kehidupan para santri karena memang para muridnya itu menyandarkan diri mereka pada wibawa dan pengetahuan Sang Kiai. Pesantren yang digagas Hasan Maolani selalu ramai didatangi oleh santri-santri yang ingin menimba ilmu kepadanya.
Para santri tidak hanya datang dan berasal dari wilayah Kuningan, namun juga dari sejumlah daerah lain di Pulau Jawa. “The significance of the pesantren as the most important center for Islamic learing peaked in the 19th century through the roles of Kiyai Hasan Maolani or Kiyai Mas Daka (born in 1781) and his disciples,” tulis Didin Nurul Rosidin dalam Pesantren and Modernity in Indonesia: Ma’had Aly Of Kuningan, seraya menggambarkan pesantren Hasan Maolani sebagai lembaga pendidikan Islam yang terbesar di zamannya.
Dalam buku yang berjudul Drie Javaans Goeroes: Hun Leven, Onderricht en Messiasprediking, Gerardus Willebrordus Joannes Drewes juga menguraikan bahwa Hasan Maolani merupakan sosok yang sangat berpengaruh di tanah Jawa pada abad ke-19 Masehi, bukan hanya sebagai tokoh keagamaan saja namun juga sebagai ratu adil penyelamat masyarakat. “Bersama Mas Malangyuda dan Nurhakim, Hasan Maolani merupakan tiga guru Jawa dan mereka dianggap sebagai ratu adil oleh masyarakat sekitarnya. Dalam konteks ini, Hasan Maolani merupakan guru Jawa pertama dan terpenting serta menjadi pembimbing bagi dua guru lainnya,” papar Drewes dalam karya akademis terpentingnya tersebut.
Penyematan gelar ratu adil oleh masyarakat, tentu tidak dilakukan secara sembarangan. Orang yang terpilih tersebut pasti memiliki pengaruh yang amat besar dan juga sejumlah kelebihan yang menjadikannya lebih tersohor ketimbang tokoh-tokoh lain yang ada.
“Kelebihan-kelebihan mendasar yang dimaksud, di antaranya adalah kemampuan yang mumpuni dalam penyampaian doktrin sufistik, kehebatan diri dalam hal-hal yang sifatnya ajaib dan mistis, serta kemampuan dalam mengkoordinir individu dalam suatu kesatuan yang bersifat tunggal,” tulis Merle Calvin Ricklefs dalam Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions (c.1830-1930).
Secara luas orang-orang mempercayai bahwa Hasan Maolani adalah sosok ratu adil yang diramalkan akan menyelamatkan mereka dari tangan-tangan besi penjajah dan membawa keadilan serta kesejahteraan bagi semua masyarakat. Hal itu terjadi di tengah mereka secara alamiah menyusul penderitaan masyarakat Jawa yang disebabkan oleh pemberlakuan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) sejak tahun 1830 Masehi.
Sistem Tanam Paksa yang diberlakukan di daerah-daerah, memang memperlihatkan hasil dan dampak yang berbeda-beda, namun tetap menunjukkan gejala yang kurang baik, terutama terhadap penduduk pribumi. Mereka tidak hanya tersiksa secara kasar oleh intruksi-intruksi pemerintah kolonial dalam menjalankan kegiatan kerja rodi tersebut, namun juga menderita oleh gencarnya pengaruh ekonomi Barat yang telah merambah hingga ke tingkat desa.
“Dilihat dari aspek pelaksanaan Sistem Tanam Paksa, abad ke-19 merupakan periode masuknya sistem ekonomi uang di desa-desa, dan hal itu sangat terasa di Pulau Jawa. Sistem ekonomi uang asal Barat itu membuat para petani menjadi semakin tergantung pada dunia luar. Kehidupan ekonomi subsistens masyarakat tradisional pun menjadi terus melemah akibat agresivitas sistem ekonomi global tersebut,” ungkap Suyatno Kartodirdjo dalam Relevansi Studi Tanam Paksa Bagi Sejarah Ekonomi Indonesia, yang menjadi tulisan pendahuluan sebuah buku.
Sistem yang dituliskan oleh Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo dalam Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi sebagai sistem yang bertujuan untuk mendatangkan keuntungan besar untuk pemerintah dan para pengusaha di negeri Belanda tersebut menimbulkan banyak penderitaan bagi masyarakat. Hal itu dapat terjadi, terutama karena banyaknya penyimpangan yang ada.
“Sasaran untuk memperoleh produksi setinggi-tingginya justru menimbulkan banyak terjadi penyimpangan di lapangan yang menimbulkan tekanan berat terhadap rakyat pedesaan. Penyimpangan ini didasari pada “kejar setoran” yang dilakukan oleh para birokrat lokal. Sistem tanam paksa berjalan dengan berbagai kesukaran dan perlakuan yang menyakitkan terhadap kaum petani Jawa,” urai Robert van Niel dalam sebuah artikel berjudul ‘Warisan Sistem Tanam Paksa bagi Perkembangan Ekonomi Berikutnya’ yang terhimpun dalam buku Anne Booth, dkk., terbitan LP3ES, Sejarah Ekonomi Indonesia.
Menyadari penderitaan yang diderita oleh saudara-saudara sedaerahnya tersebut, Hasan Maolani tidak hanya berdiam diri saja, ia mulai berjuang dengan melakukan upaya-upaya edukatif melalui pesantrennya. Di lembaga pendidikan Islam yang dimilikinya itu ia menanamkan semangat anti-penjajahan terhadap murid-muridnya. Mereka diberitahukan bahwa pelbagai tindakan menindas yang banyak terjadi pada masa paceklik tersebut tidak dapat dibiarkan begitu saja dan bahkan harus dilawan. Dalam catatan singkat “Eyang Menado” dari Kuningan, Nina H. Lubis menyebut apa yang diajarkan Hasan Maolani sebagai ajaran “jihad” yang bersumber pada kitab Fathul Qorib.
Dalam aktivitas dakwah dan perjuangannya ini, Hasan Maolani juga memainkan peranan strategisnya di dalam tarekat Syattariyah dan Akmaliyyah yang digelutinya. Kegiatan di dalam sebuah komunitas keagamaan semacam ini merupakan kegiatan yang amat dikhawatirkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan sejak saat itu Sang Kiai Lengkong menjadi orang yang paling ditakuti oleh mereka.
Ketakutan itu bukan tanpa dasar. Pemerintahan kolonial asal negeri kincir angin pernah punya segudang pengalaman buruk berperang dengan pihak-pihak yang menggunakan ‘emosi keagamaan’ sebagai amunisi utama persenjataan mereka. Indoktrinasi kaum ulama terhadap rakyat, seperti yang terjadi dalam Perang Paderi dan Perang Diponegoro, dianggap sebagai dorongan terpenting upaya jihad yang sangat sulit untuk ditaklukkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Semangat seperti inilah yang kemudian menginspirasi lahirnya puisi perang yang bernama Hikayat Perang Sabil saat bergulirnya Perang Aceh. Dalam Hikayat Perang Sabil: Center of Gravity Jihad Aceh Melawan Kafir Belanda yang termuat dalam laporan khusus Lembaga Kajian Syamina, K. Subroto mengungkapkan bahwa, “karya sastra Perang Aceh tersebut telah berhasil mencapai sasarannya dan benar-benar telah membuat pimpinan dan serdadu-serdadu tentara penjajah Belanda ketakutan.” Dengan berkaca pada pengalaman-pengalamannya ini, pemerintah kolonial Belanda mulai menyusun rencana untuk melumpuhkan pengaruh Hasan Maolani di tengah masyarakat.
Awalnya, mereka menuduh Hasan Maolani telah menyebarkan ajaran dan paham Islam yang sesat dengan tujuan menjauhkan dia dari para pengikutnya. Namun ternyata hal itu tidak membuahkan hasil. Akhirnya, Hasan Maolani pun ditangkap dan didakwa dengan tuduhan yang lebih berat agar ia dapat diasingkan ke tempat yang sangat jauh guna memutus tali rantai kharismanya. Tempat pembuangannya itu adalah Kampung Jawa Tondano di sebelah selatan Manado, yang terletak di bagian utara Pulau Sulawesi.
Dalam The Making of Indonesian Islam: Orientalism and the Narration of a Sufi Past, Michael Laffan mengungkapkan bahwa alasan utama dari penangkapan Hasan Maolani itu bukanlah dakwaan atas penyebaran paham dan ajaran yang sesat, melainkan kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda terhadap citra Eyang Hasan di mata masyarakat yang telah tertanam dengan amat kuat. Citra itu dapat membahayakan eksistensi mereka, karena bisa saja digunakan oleh Sang Kiai untuk membangun kekuatan anti-kolonialisme dan berupaya untuk menggulingkan pemerintahan Hindia-Belanda.
Di Tondano, tempat pembuangannya yang ternyata banyak dihuni oleh orang non-muslim, Hasan Maolani tetap aktif dalam kegiatan dakwah Islam dan usaha pertanian. Dalam aktivitas dakwah, ia konsisten menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada khalayak luas. Sedangkan dalam bidang pertanian, ia turut mengembangkan cara bercocok tanam padi masyarakat yang saat itu belum maju seperti yang ada di Kuningan. Usia yang semakin menua, ternyata tidak dapat menyurutkan semangatnya untuk tetap bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Rumah Hasan Maolani pun seringkali ramai oleh banyaknya orang yang hendak mendengarkan wejangan-wejangan sosial keagamaan yang ia tuturkan.
Pada 1874, Eyang Hasan tutup usia di masanya yang sangat senja. Meski meninggal jauh dari tanah kelahiran, nama besarnya tetap dihormati oleh masyarakat setempat. Bahkan, makamnya pun ditempatkan secara khusus bersama dengan lasykar pejuang yang konsisten melawan para penjajah asing yang menghisap habis kekayaan alam Indonesia di masa lalu. Hingga kini, makam orang Kuningan yang paling ditakuti oleh pemerintah kolonial Belanda itu tetap ramai dikunjungi, tidak hanya oleh keturunannya namun juga oleh orang-orang yang mengagumi semangat dakwah dan anti-penjajahannya.***
Mantap....
BalasHapusNuhun infona
Terus gali sejarah Kuningan hingga tuntas..
Luar biasa kang Tendy..
Top bngt pokokna mah..
Alhamdulillah dengan artikel ini terbukalah perjuangan kyai Mas Daka di lengkong kuningan selain dia seorang mursyid torekat syatariyah beliaupun sebagai pejuang bangsa ,berharap perjuangan beliau diikuti oleh para kyai2 masa kini aamiin yra.
BalasHapus