Sebuah Cerpen Islami (Religi)
Setahun yang lalu seragam putih-abu masih dia kenakan, sebagai saksi hijrahnya seorang insan. Petang itu, hujan turun begitu derasnya, saat dia berlari menuju halte setelah bel kepulangan Ekskul berdering. Sebut saja namanya Bara, pemuda gagah namun sederhana, tak banyak gaya menunjukkan apa adanya. Sikapnya tenang namun berwibawa, suasana begitu istimewa jika orang-orang dekat dengannya.
Namun siapa sangka, dia hanyalah anak dari ibu penjual nasi uduk di kantin sekolahnya. Ayahnya telah lama tiada, saat dia masih duduk di bangku SLTP. Prestasi yang ditorehnya layak menjadi ikon Pemuda harapan Bangsa, dari mulai tingkat sekolah, Nasional sampai Internasional berhasil ia dapatkan. Bisa dihitung banyak Universitas di Indonesia yang telah siap merekrut dirinya dengan jaminan beasiswa Full, namun Bara selalu memutuskan bersama sang ibu tercinta.
Sidaraja adalah desa kelahiran pemuda yang genap berusia 18 tahun ini. Desa yang terletak di selatan Kecamatan Ciawigebang ini menjadi saksi bisu kisah hidupnya. Hujan masih setia dengan derasnya saat Bara tiba di halte depan sekolah, saat itu dia masih duduk di kelas 12 SMA Negeri Ciawigebang. Sepulang sekolah dia selalu menyempatkan waktu untuk organisasi yang diminatinya, mulai dari PASKIBRA, PRAMUKA dan Ekskul-ekskul lain. Hingga tiada waktu baginya untuk berbagi kesibukan di sore hari dengan sang Ibu.
Ibunya telah pulang sesaat setelah bel kepulangan sekolah berbunyi, mengayuh sepeda dari Ciawigebang menuju Sidaraja dengan beban yang lumayan berat bagi seorang wanita yang sudah lanjut usia. Itu semua tidak mematahkan semangat hidupnya untuk sang anak dan impian terakhir yang selalu mengisi lamunan di tengah malam. Sedari dulu, Ibu Mulyati memang sudah berkeinginan untuk naik haji, namun selalu saja ada halangan yang membatasi impiannya. Ia bertekad tahun ini bisa mendaftar ke Kementerian Agama Kabupaten Kuningan.
Beduk maghrib baru saja ditabuh, seiring datangnya Bara ke rumah yang disambut hangat oleh Ibunya. “Assalamu’alaikum” salam Bara saat melangkah di depan pintu. “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, sini nak makan dulu” balas sang Ibu dengan senyum lebarnya. Bara mencium punggung tangan Ibunya, sebelum sang Ibu membelai rambut anaknya. Setelah berganti pakaian Bara langsung berangkat ke Musholla dekat rumahnya, tapi sang Ibu khawatir karena Bara belum makan.
Tanpa pamit Bara langsung menuju ke Musholla, padahal Ibu Mulyati sudah menghangatkan makananan untuk makan malam bersama anaknya. Karena Bara selalu pulang malam, setelah Isya biasanya Bara langsung menuju Basecamp Karang Taruna di Desanya.
Jam 9 malam Bara pulang ke rumahnya, ada perasaan aneh yang tak biasa ia rasakan di malam ini. Dia baru ingat mungkin Ibu masih menunggu untuk makan malam bersamanya. Dengan bergegas Bara mempercepat langkahnya, tiba depan pintu Bara ucapkan salam sambil membuka pintu.
Tapi tak ada jawaban, hanya keheningan yang membalas salamnya.
“Bu? Ibu sudah tidur ya?” masih tak ada jawaban.
Sambil menarik nafas dalam Bara membuka pintu kamar ibunya yang sedikit terbuka, terlihat ibunya sedang sujud. Bara menunggu di luar tapi Ibunya masih belum bangkit dari sujud. 1 jam, 2 jam, 3 jam tepat jam 12 malam Bara terbangun karena tertidur di ruang tengah, dia baru ingat kalau dia sedang menunggu ibunya yang sejak tadi masih sholat. Bara terheran karena ibunya masih juga belum bangkit dari sujudnya.
Tiba-tiba Bara mengeluarkan air mata, kemudian tanpa berpikir panjang Bara menuju kamar Ibunya. Dibangunkan tubuh Ibunya, bukannya bangun malah terjatuh ke lantai, saat itu Bara sadar bahwa Ibunya telah meninggal.
Bara berteriak keras, menyesal sekesal-kesalnya gara-gara makan ia telah membuat kekesalan di hati ibunya. Tetangga berduyun-duyun menghampiri rumah Bara, kemudian mengurusi jenazah ibunya. Bara tak sadarkan diri, dia pingsan sampai waktu sholat shubuh. Sampai tiba waktu dhuha pemakaman ibunya baru selesai, tetapi tetesan air mata Bara masih mengalir.
Setelah kematian ibunya Bara menjadi pendiam, bahkan saat pelulusan SMA pun dia tidak hadir. Hidupnya kacau balau, berantakan tak karuan. Sudah sebulan ini Bara jarang sekali makan, badannya kurus kering hanya tulang yang terbungkus kulit. Bara menolak bertemu dengan siapapun, begitupun teman-temannya di sekolah yang ingin menghiburnya. Dia hanya duduk di pintu kamar ibunya sambil memandang foto ibunya yang sudah usang. Tak pernah berhenti mengatakan “Maafkan aku ibu” begitu terus setiap harinya.
Puluhan piala yang terpajang di bupet rumahnya, mungkin ratusan piagam penghargaan yang dimilikinya, saat ini hanyalah hiasan rumah yang tak berarti apa-apa. “saat ini jema’ah haji Indonesia sedang wukuf di padang ‘arafah di bawah terik matahari yang menyengat tetapi tidak melunturkan semangat mereka dalam beribadah ……..” terdengar jelas suara dari penyiar itu, mungkin dari rumah tetangganya.
Suara itu terdengar berbeda di telinga Bara, mengingatkan sesuatu dari seseorang yang menyayanginya. Dia terperanjat berdiri mengingat bahwa ibunya ingin sekali menunaikan ibadah haji. Dia bertanya-tanya apakah bisa seseorang yang sudah meninggal diwakilkan ibadah hajinya? Mungkin hanya dengan cara itu Bara bisa membalas kekecewaan yang telah dibuat kepada ibunya sebelum meninggal.
Bara bangkit dan memperbaiki hidupnya, memulai lagi dari awal untuk memenuhi mimpi sang ibu. Dengan gigih Bara mencari kerja tanpa memikirkan masa depannya, berbekal ijazah SMA yang baru diambilnya dari sekolah, Bara berkeliling memasukkan lamaran ke setiap toko yang ada di Ciawigebang. Namun tak satupun yang merespon baik, karena fisik Bara yang terlihat lemah. Kekuatan Bara sudah mencapai batasnya, ia tidak kuat lagi meneruskan perjalanan mencari kerja, akhirnya sore itu Bara harus kembali ke rumah.
Sambil menangis tersedu Bara berbaring di kasur ibunya, meratapi kelemahan fisik yang dirasakannya. Tiba-tiba dari atas bupet kasur yang Bara tiduri jatuh sebuah buku kecil tepat di atas kepalanya.
Buku itu berwarna hijau kekuningan, ketika dibuka, Bara semakin menangis, kesedihannya semakin larut di kedalaman yang tak berujung. Buku itu adalah Tabungan Haji sang Ibu yang dikumpulkannya dari hasil penjualan Nasi Uduk di sekolah, dengan jumlah yang lebih dari cukup untuk satu orang.
Bara menyadari bahwa segala sesuatunya harus benar-benar dipasrahkan kepada sang Khaliq, secerdas apapun kita sebagai manusia, tidak boleh terlalu menyibukkan diri dengan aktifitas-aktifitas duniawi. Antara dunia dan akhirat harus diseimbangkan, karena tak selamanya kita hidup di dunia tetapi sebelum akhirat terlebih dahulu kita harus diuji di dunia. Sebagai anak berbakti adalah kewajiban yang harus ditunaikan kepada orang tua, terutama bagi mereka yang masih hidup, karena penyesalan selalu datang belakangan. ***
Setahun yang lalu seragam putih-abu masih dia kenakan, sebagai saksi hijrahnya seorang insan. Petang itu, hujan turun begitu derasnya, saat dia berlari menuju halte setelah bel kepulangan Ekskul berdering. Sebut saja namanya Bara, pemuda gagah namun sederhana, tak banyak gaya menunjukkan apa adanya. Sikapnya tenang namun berwibawa, suasana begitu istimewa jika orang-orang dekat dengannya.
Namun siapa sangka, dia hanyalah anak dari ibu penjual nasi uduk di kantin sekolahnya. Ayahnya telah lama tiada, saat dia masih duduk di bangku SLTP. Prestasi yang ditorehnya layak menjadi ikon Pemuda harapan Bangsa, dari mulai tingkat sekolah, Nasional sampai Internasional berhasil ia dapatkan. Bisa dihitung banyak Universitas di Indonesia yang telah siap merekrut dirinya dengan jaminan beasiswa Full, namun Bara selalu memutuskan bersama sang ibu tercinta.
Sidaraja adalah desa kelahiran pemuda yang genap berusia 18 tahun ini. Desa yang terletak di selatan Kecamatan Ciawigebang ini menjadi saksi bisu kisah hidupnya. Hujan masih setia dengan derasnya saat Bara tiba di halte depan sekolah, saat itu dia masih duduk di kelas 12 SMA Negeri Ciawigebang. Sepulang sekolah dia selalu menyempatkan waktu untuk organisasi yang diminatinya, mulai dari PASKIBRA, PRAMUKA dan Ekskul-ekskul lain. Hingga tiada waktu baginya untuk berbagi kesibukan di sore hari dengan sang Ibu.
Ibunya telah pulang sesaat setelah bel kepulangan sekolah berbunyi, mengayuh sepeda dari Ciawigebang menuju Sidaraja dengan beban yang lumayan berat bagi seorang wanita yang sudah lanjut usia. Itu semua tidak mematahkan semangat hidupnya untuk sang anak dan impian terakhir yang selalu mengisi lamunan di tengah malam. Sedari dulu, Ibu Mulyati memang sudah berkeinginan untuk naik haji, namun selalu saja ada halangan yang membatasi impiannya. Ia bertekad tahun ini bisa mendaftar ke Kementerian Agama Kabupaten Kuningan.
Beduk maghrib baru saja ditabuh, seiring datangnya Bara ke rumah yang disambut hangat oleh Ibunya. “Assalamu’alaikum” salam Bara saat melangkah di depan pintu. “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, sini nak makan dulu” balas sang Ibu dengan senyum lebarnya. Bara mencium punggung tangan Ibunya, sebelum sang Ibu membelai rambut anaknya. Setelah berganti pakaian Bara langsung berangkat ke Musholla dekat rumahnya, tapi sang Ibu khawatir karena Bara belum makan.
Tanpa pamit Bara langsung menuju ke Musholla, padahal Ibu Mulyati sudah menghangatkan makananan untuk makan malam bersama anaknya. Karena Bara selalu pulang malam, setelah Isya biasanya Bara langsung menuju Basecamp Karang Taruna di Desanya.
Jam 9 malam Bara pulang ke rumahnya, ada perasaan aneh yang tak biasa ia rasakan di malam ini. Dia baru ingat mungkin Ibu masih menunggu untuk makan malam bersamanya. Dengan bergegas Bara mempercepat langkahnya, tiba depan pintu Bara ucapkan salam sambil membuka pintu.
Tapi tak ada jawaban, hanya keheningan yang membalas salamnya.
“Bu? Ibu sudah tidur ya?” masih tak ada jawaban.
Sambil menarik nafas dalam Bara membuka pintu kamar ibunya yang sedikit terbuka, terlihat ibunya sedang sujud. Bara menunggu di luar tapi Ibunya masih belum bangkit dari sujud. 1 jam, 2 jam, 3 jam tepat jam 12 malam Bara terbangun karena tertidur di ruang tengah, dia baru ingat kalau dia sedang menunggu ibunya yang sejak tadi masih sholat. Bara terheran karena ibunya masih juga belum bangkit dari sujudnya.
Tiba-tiba Bara mengeluarkan air mata, kemudian tanpa berpikir panjang Bara menuju kamar Ibunya. Dibangunkan tubuh Ibunya, bukannya bangun malah terjatuh ke lantai, saat itu Bara sadar bahwa Ibunya telah meninggal.
Bara berteriak keras, menyesal sekesal-kesalnya gara-gara makan ia telah membuat kekesalan di hati ibunya. Tetangga berduyun-duyun menghampiri rumah Bara, kemudian mengurusi jenazah ibunya. Bara tak sadarkan diri, dia pingsan sampai waktu sholat shubuh. Sampai tiba waktu dhuha pemakaman ibunya baru selesai, tetapi tetesan air mata Bara masih mengalir.
Setelah kematian ibunya Bara menjadi pendiam, bahkan saat pelulusan SMA pun dia tidak hadir. Hidupnya kacau balau, berantakan tak karuan. Sudah sebulan ini Bara jarang sekali makan, badannya kurus kering hanya tulang yang terbungkus kulit. Bara menolak bertemu dengan siapapun, begitupun teman-temannya di sekolah yang ingin menghiburnya. Dia hanya duduk di pintu kamar ibunya sambil memandang foto ibunya yang sudah usang. Tak pernah berhenti mengatakan “Maafkan aku ibu” begitu terus setiap harinya.
Puluhan piala yang terpajang di bupet rumahnya, mungkin ratusan piagam penghargaan yang dimilikinya, saat ini hanyalah hiasan rumah yang tak berarti apa-apa. “saat ini jema’ah haji Indonesia sedang wukuf di padang ‘arafah di bawah terik matahari yang menyengat tetapi tidak melunturkan semangat mereka dalam beribadah ……..” terdengar jelas suara dari penyiar itu, mungkin dari rumah tetangganya.
Suara itu terdengar berbeda di telinga Bara, mengingatkan sesuatu dari seseorang yang menyayanginya. Dia terperanjat berdiri mengingat bahwa ibunya ingin sekali menunaikan ibadah haji. Dia bertanya-tanya apakah bisa seseorang yang sudah meninggal diwakilkan ibadah hajinya? Mungkin hanya dengan cara itu Bara bisa membalas kekecewaan yang telah dibuat kepada ibunya sebelum meninggal.
Bara bangkit dan memperbaiki hidupnya, memulai lagi dari awal untuk memenuhi mimpi sang ibu. Dengan gigih Bara mencari kerja tanpa memikirkan masa depannya, berbekal ijazah SMA yang baru diambilnya dari sekolah, Bara berkeliling memasukkan lamaran ke setiap toko yang ada di Ciawigebang. Namun tak satupun yang merespon baik, karena fisik Bara yang terlihat lemah. Kekuatan Bara sudah mencapai batasnya, ia tidak kuat lagi meneruskan perjalanan mencari kerja, akhirnya sore itu Bara harus kembali ke rumah.
Sambil menangis tersedu Bara berbaring di kasur ibunya, meratapi kelemahan fisik yang dirasakannya. Tiba-tiba dari atas bupet kasur yang Bara tiduri jatuh sebuah buku kecil tepat di atas kepalanya.
Buku itu berwarna hijau kekuningan, ketika dibuka, Bara semakin menangis, kesedihannya semakin larut di kedalaman yang tak berujung. Buku itu adalah Tabungan Haji sang Ibu yang dikumpulkannya dari hasil penjualan Nasi Uduk di sekolah, dengan jumlah yang lebih dari cukup untuk satu orang.
Bara menyadari bahwa segala sesuatunya harus benar-benar dipasrahkan kepada sang Khaliq, secerdas apapun kita sebagai manusia, tidak boleh terlalu menyibukkan diri dengan aktifitas-aktifitas duniawi. Antara dunia dan akhirat harus diseimbangkan, karena tak selamanya kita hidup di dunia tetapi sebelum akhirat terlebih dahulu kita harus diuji di dunia. Sebagai anak berbakti adalah kewajiban yang harus ditunaikan kepada orang tua, terutama bagi mereka yang masih hidup, karena penyesalan selalu datang belakangan. ***
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.