SuaraKuningan.com – USAID PRIORITAS bersama-sama dengan para pengelola Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) mitra USAID memandang perlu peningkatan peran efektif Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) dan Guru Pamong (GP) dalam melakukan pembimbingan mahasiswa praktikan.
Selama ini, komunikasi antara DPL, GP, dan mahasiswa praktikan masih cenderung searah dan kurang intensif, sehingga pemantauan progress kemampuan mengajar praktikan kurang komprehensif.
Maka, dibutuhkan terobosan alternatif untuk mekanisme pembimbingan dalam kerangka PPL, suatu model baru yang lebih sitematis dan berpusat pada keperluan mahasiswa praktikan sebagai calon guru.
Demikian ungkap Lynne Hill, Teaching and Learning Adviser program USAID PRIORITAS, pada pelatihan dosen, guru pamong, dan mahasiswa calon guru di Bandung, Selasa (20/9). Pelatihan yang melibatkan dosen, guru, dan mahasiswa ini menyasar peningkatan kualitas PPL mahasiswa LPTK di Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Peserta terdiri atas perwakilan dosen dan mahasiswa UPI dan UIN Bandung, serta guru pamong sekolah/madrasah lab dan mitra UPI dan UIN Bandung.
Erna Irnawati, Koordinator USAID PRIORITAS Jawa Barat, menilai PPL merupakan kegiatan yang sangat krusial bagi rencana keprofesian calon guru. Para DPL dan GP memainkan peranan penting dalam mendampingi para peserta PPL secara teratur dan by design.
“Mahasiswa praktikan membutuhkan perhatian penuh DPL dan GP, sehingga tidak bisa dilepas begitu saja,” tutur Erna.
DPL dan GP, lanjut Erna, seharusnya mendampingi praktikan melakukan persiapan PPL dalam bentuk observasi sekolah/kelas dan konferensi, menyelenggarakan praktik pembelajaran secara terbimbing dan mandiri, dan evaluasi dalam bentuk refleksi di akhir setiap proses pembelajaran.
Namun, Erna mengingatkan, intervensi DPL dan GP ini seyogianya tidak menghambat kemandirian dan inisiatif mahasiswa praktikan.
“Pada prinsipnya, mesti terbangun sinergi padu antara dosen, guru, dan mahasiswa praktikan, sehingga mahasiswa merasa tetap terbimbing dan sekaligus tergali potensi kreativitas dan kemandiriannya,” Erna memungkas.
Aan Hasanah, Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Bandung, menaruh apresiasi para dukungan USAID untuk meningkatkan model PPL di kampusnya. “Ini merupakan model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan,” ujar Aan.
Proses pendampingan PPL ini, kata Aan lagi, didasarkan pada prinsip-prinsip kolegalitas yang saling membantu dalam belajar untuk membangun komunitas belajar.
Sejauh menyangkut PPL, Aan mendengar mahasiswa praktikan kerap mengeluhkan dua problem utama. Pertama, mahasiswa merasa kewalahan karena mata kuliah yang mereka peroleh kurang bersifat praktis dan tidak menyiapkan mereka untuk “siap-pakai” di tingkat sekolah. Kedua, guru pamong memberikan bantuan dan kualitas bimbingan yang beragam, kerap disebut ‘sink or swim,’ sehingga kurang memenuhi kebutuhan praktis mahasiswa praktikan dalam mengatasi kendala pembelajaran yang dihadapi.
Untuk menjawab masalah-masalah semacam itu, Aan mengaku pihaknya telah melakukan serangkaian langkah meliputi micro-teaching, penambahan durasi periode praktik mengajar, jadwal PPL lebih awal, dan workshop bagi guru pamong. “Lokakarya yang mempertemukan DPL, GP, dan mahasiswa praktikan ini tentu sangat membantu kami dalam mengatasi persoalan-persoalan PPL semacam itu,” kata Aan.
Tatat Hartati, Ph.D, dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), meyakini, pelatihan ini dapat menjadi refleksi dan acuan pelaksanaan kegiatan PPL bagi dosen dan guru pamong. “Sekolah dan LPTK perlu mengawal apakah mahasiswa calon guru itu benar-benar melaksanakan praktik sesuai kebutuhan sekolah dan juga sesuai landasan ilmiah yang sudah diterima dalam perkuliahan,” tuturnya.
Tatat berharap, PPL bukan hanya berguna bagi mahasiswa calon guru, tapi juga bagi sekolah karena mahasiswa mempraktikkan pembelajaran aktif terbaru dan belajar bersama guru pamong untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah.
Hariman Siregar, koordinator PPL UIN Bandung, mengatakan, pelatihan ini memungkinkan dosen dan guru pamong bertemu dan menciptakan sebuah forum konferensi guna menyediakan solusi aplikatif terhadap masalah PPL.
Menurut Hariman, salah satu masalah yang sering terjadi di lapangan adalah miskomunikasi dan mispersepsi antara pihak kampus dan sekolah.
“Saat konferensi, DPL dan GP berbagi informasi sesuai dengan ruang lingkup kerja masing-masing dan saling melengkapi dalam mendampingi mahasiswa,” katanya.
Lilis Widiawati, guru pamong SDN Sukarasa 34 Gegerkalong Bandung, menyebut pelatihan ini meyadarkannya mengenai cara membantu mahasiswa melakukan PPL di sekolahnya. Bagi Lilis, pelatihan ini menawarkan langkah-langkah praktis yang bisa dilakukan guru pamong untuk membantu mahasiswa mengoptimalkan proses PPL. “Bersinergi dengan dosen, guru pamong tidak lagi gamang dalam melakukan pendampingan mahasiswa PPL,” ujar Lilis. [DS/Rilis/USAID/Red]
Erna Irnawati, Koordinator USAID PRIORITAS Jawa Barat, menilai PPL merupakan kegiatan yang sangat krusial bagi rencana keprofesian calon guru. Para DPL dan GP memainkan peranan penting dalam mendampingi para peserta PPL secara teratur dan by design.
“Mahasiswa praktikan membutuhkan perhatian penuh DPL dan GP, sehingga tidak bisa dilepas begitu saja,” tutur Erna.
DPL dan GP, lanjut Erna, seharusnya mendampingi praktikan melakukan persiapan PPL dalam bentuk observasi sekolah/kelas dan konferensi, menyelenggarakan praktik pembelajaran secara terbimbing dan mandiri, dan evaluasi dalam bentuk refleksi di akhir setiap proses pembelajaran.
Namun, Erna mengingatkan, intervensi DPL dan GP ini seyogianya tidak menghambat kemandirian dan inisiatif mahasiswa praktikan.
“Pada prinsipnya, mesti terbangun sinergi padu antara dosen, guru, dan mahasiswa praktikan, sehingga mahasiswa merasa tetap terbimbing dan sekaligus tergali potensi kreativitas dan kemandiriannya,” Erna memungkas.
Aan Hasanah, Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Bandung, menaruh apresiasi para dukungan USAID untuk meningkatkan model PPL di kampusnya. “Ini merupakan model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan,” ujar Aan.
Proses pendampingan PPL ini, kata Aan lagi, didasarkan pada prinsip-prinsip kolegalitas yang saling membantu dalam belajar untuk membangun komunitas belajar.
Sejauh menyangkut PPL, Aan mendengar mahasiswa praktikan kerap mengeluhkan dua problem utama. Pertama, mahasiswa merasa kewalahan karena mata kuliah yang mereka peroleh kurang bersifat praktis dan tidak menyiapkan mereka untuk “siap-pakai” di tingkat sekolah. Kedua, guru pamong memberikan bantuan dan kualitas bimbingan yang beragam, kerap disebut ‘sink or swim,’ sehingga kurang memenuhi kebutuhan praktis mahasiswa praktikan dalam mengatasi kendala pembelajaran yang dihadapi.
Untuk menjawab masalah-masalah semacam itu, Aan mengaku pihaknya telah melakukan serangkaian langkah meliputi micro-teaching, penambahan durasi periode praktik mengajar, jadwal PPL lebih awal, dan workshop bagi guru pamong. “Lokakarya yang mempertemukan DPL, GP, dan mahasiswa praktikan ini tentu sangat membantu kami dalam mengatasi persoalan-persoalan PPL semacam itu,” kata Aan.
Tatat Hartati, Ph.D, dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), meyakini, pelatihan ini dapat menjadi refleksi dan acuan pelaksanaan kegiatan PPL bagi dosen dan guru pamong. “Sekolah dan LPTK perlu mengawal apakah mahasiswa calon guru itu benar-benar melaksanakan praktik sesuai kebutuhan sekolah dan juga sesuai landasan ilmiah yang sudah diterima dalam perkuliahan,” tuturnya.
Tatat berharap, PPL bukan hanya berguna bagi mahasiswa calon guru, tapi juga bagi sekolah karena mahasiswa mempraktikkan pembelajaran aktif terbaru dan belajar bersama guru pamong untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah.
Hariman Siregar, koordinator PPL UIN Bandung, mengatakan, pelatihan ini memungkinkan dosen dan guru pamong bertemu dan menciptakan sebuah forum konferensi guna menyediakan solusi aplikatif terhadap masalah PPL.
Menurut Hariman, salah satu masalah yang sering terjadi di lapangan adalah miskomunikasi dan mispersepsi antara pihak kampus dan sekolah.
“Saat konferensi, DPL dan GP berbagi informasi sesuai dengan ruang lingkup kerja masing-masing dan saling melengkapi dalam mendampingi mahasiswa,” katanya.
Lilis Widiawati, guru pamong SDN Sukarasa 34 Gegerkalong Bandung, menyebut pelatihan ini meyadarkannya mengenai cara membantu mahasiswa melakukan PPL di sekolahnya. Bagi Lilis, pelatihan ini menawarkan langkah-langkah praktis yang bisa dilakukan guru pamong untuk membantu mahasiswa mengoptimalkan proses PPL. “Bersinergi dengan dosen, guru pamong tidak lagi gamang dalam melakukan pendampingan mahasiswa PPL,” ujar Lilis. [DS/Rilis/USAID/Red]
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.