Oleh: Benning Rizahra (Guru Konsultan Sekolah Literasi Indonesia)
Sudah hampir delapan bulan saya berada di penempatan dalam rangka menjalankan tugas sebagai Guru Konsultan Sekolah Literasi Indonesia (SLI). Daerah yang sangat dingin karena berada di kaki sebuah gunung yaitu Gunung Gede Pangrango.
Tepatnya, saya ditugaskan sebagai Guru Konsultan dari Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa yang bertempat di MI AL-IKHLAS, tepatnya di kampung Gunung Putri desa Sukatani Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur.
Menjalani tugas sebagai Guru Konsultan, saya hanya masuk beberapa kali dalam satu minggu, salah satunya di kelas 3 A. Ya, ditahun ajaran baru ini anak-anak kelas tiga sekarang lagi masa transisi dari kelas dua ke kelas 3. Kelas yang sangat berisik dan mereka masih menjalani aktifitas yang lebih banyak main-main.
“karena sekarang sudah kelas 3, kalian harus lebih baik lagi belajarnya, ketika guru menjelaskan harus diperhatikan,” jelas saya agar mereka tidak gaduh.
Apa yang terjadi?apakah mereka diam?Tidak!!! mereka kembali asik berebut pensil, menceritakan acara TV, bermain, dan lain-lain. Karena saat itu sebentar lagi istirahat, saya meminta mereka untuk menjawab pertanyaan dan yang bisa boleh istirahat.
“siapa yang mau istirahat?” tanya saya.
“saya bu!” semua riuh menginginkan untuk istirahat sembari mengacungkan tangan.
“yang boleh istirahat yang duduknya siap, tidak berisik, dan mampu menjawab pertanyaan ibu.”
Saat itu saya memberikan soal matematika mengenai perkalian.
“tujuh kali delapan berapa?”
Saya perhatikan mereka sibuk menghitung dengan jarinya. Lalu pandangan saya terarah ke anak yang duduk manis dengan rambut yang tertata rapi. Sambil menunduk dia menemukan jawabannya.
“lima puluh enam.” Suaranya pelan dan sambil menunduk.
Saya tidak langsung menanggapinya, saya hanya berbicara yang sudah bisa jawab harus berbicara lantang. Tujuannya untuk memancing anak tersebut mengungkapkan jawabannya.
Namun, dia hanya duduk diam dan tidak memberikan jawabannya. Beberapa saat kemudian ada teman lainnya yang menjawab, dan saya perbolehkan mereka istirahat.
Saya berikan pertanyaan lagi tentang perkalian, dan anak tersebut tidak menjawab. Sampai ke pertanyaan yang ke 6, dia diarahkan temannya untuk menjawab.
“bu, sirdap tau jawabannya.” Kata salah satu teman ssebangkunya.
“enam puluh tiga bu” suaranya pelan
Jawabannya benar “pinter, jadi sembilan kali tujuh itu enam puluh tiga.”
Setelah bel masuk berbunyi, saya kembali ke kelas tersebut, saya bercerita tentang seorang anak yang sangat pemalu. Suatu saat anak tersebut membutuhkan biaya untuk berobat ibunya, lalu ada pelombaan di desanya yang mampu menjawab akan mendapatkan uang senilai Rp. 50.000. dalam lomba tersebut anak itu tahu jawaban dari pertanyaan yang diajukan oleh panitia, tapi dia malu untuk mengungkapkannya, akhirnya ada anak yang lain yang menjawabnya.
“jadi Nak, tidak perlu malu apapun itu kalau kita benar, dan jangan takut salah, karena masih ada kesempatan untuk memperbaikinya.” Sambil saya tatap semua anak-anak dan lebih lama dengan anak yang ternyata namanya Sirdap.
Lalu saya ajak anak-anak untuk berfantasi tentang mereka ketika sudah besar nanti, tujuannya agar lebih dekat dengan mereka dan mengenal mereka lebih jauh.
Akhirnya saya sering masuk ke kelas 3 A ini dikarenakan wali kelasnya sedang banyak tugas keluar. Melihat mereka yang semakin hari semakin saya mengenal karakter mereka.
Ketika pelajaran matematika, setelah saya menjelaskan lalu saya meminta anak-anak untuk mengerjakan beberapa soal, dan jawaban Sirdap yang sudah betul semua. Tulisannya yang rapi, bukunya yang bersih, membuat saya semakin kagum dengannya.
Ketika hafalan perkalian, saya memberikan waktu beberapa menit untuk mereka menghafal, dan teman Sirdap ini kembali berbicara ketika beberapa saat kemudian.
“bu, Sirdap mah entos apaleun” jelas teman sebangkunya Sirdap.
Dia menejlaskan bahawa Sirdap sudah bisa dan siap maju kedepan. Lalu saya ajak Sirdap untuk maju setoran hafalan perkaliannya, namun Sirdap tidak mau maju dan bilang belum hafal, namun saya ajak terus agar mau untuk maju, dan akhirnya dia pun maju untuk setor hafalan perkaliannya.
Luar biasa! Dia lancar dalam menyelesaikan hafalannya, lalu dengan malu-malu dia kembali ketempat duduknya. Saya ajak anak-anak yang lain untuk memberikan tepuk keren untuk Sirdap.
“satu jempol, dua jempol, untuk sirdap, keren keren keren “ suara riuh tepuk keren dari teman-teman Sirdap.
Dikesempatan-kesempatan yang ada untuk kembali mengajar mereka, menunjukan bahwa Sirdap ini luar biasa pintar dalam Matematika. Dan sekarang-sekarang ini, Sirdap sudah tidak malu untuk mengutarakan jawabannya atau ketika saya minta dia untuk kedepan.***
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.