Karya: Dendy Fitriyandi
Cerpen (3 Bagian)
Bagian 3 (Tamat)
Dua jam kemudian, pihak keluarga Jono datang ke rumahku. Termasuk Istri dan anak-anaknya. Mengingat kondisinya tidak stabil seperti itu, akhirnya Jono di angkut ke mobil keluarganya dan langsung di bawa ke rumah sakit umum daerah untuk diobati lebih lanjut.
Waktu menunjukan pukul sembilan pagi sesudah kepergian Jono. Sedangkan diriku saat ini masih beres-beres di ruangan tengah membersihkan hasil kegaduhan tadi. Pak RT dan kedua orang lainnya sudah pulang sejak empat puluh lima menit yang lalu. Kadang rasa nyeri di wajahku ini masih terasa menyakitkan akibat ulah Jono tadi.
Satu hari telah berlalu setelah kejadian itu. Hari Rabu ini, pihak keluarganya yang diwakilkan istrinya Jono datang mengunjungi rumah sederhanaku. Menyampaikan kabar perihal dia sambil berderai air mata.
“Sebelumnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya sama mas Endi dan warga lingkungan disini atas perbuatan suami saya.”
“Tidak apa-apa Bu Sinta.. Ibu tidak perlu meminta maaf. Kejadian seperti Ini memang di luar kuasa siapapun. Tidak perlu di sesali bu.” Ujarku menyemangati.
Tiba-tiba istri Jono ini merogoh saku jaketnya yang berwarna hijau lalu menyodorkan sebuah amplop berwarna putih di atas meja ruang tamu.
“harap di terima mas, saya rasa ini bisa mengganti kerugian yang dilakukan oleh suami saya kemarin.” Ujarnya memohon.
Ketika aku melihat ekspresi wajah istrinya Jono yang pucat, mata yang memancarkan kesedihan yang begitu mendalam dan bentuk rasa penyesalnnya, dengan berat hati aku terima amplop itu.
“Bagaimana Jono kabarnya sekarang?” tanyaku.
“Menurut dokter Muhur, suamiku harus di rawat inapkan selama dua atau tiga bulanan di rumah sakit. Ketabahanku benar-benar di uji mas Endi.. Selain itu, lingkungan tempat tinggal saya juga kurang mendukung. Seolah-olah penyakit suami saya itu seperti aib dan kutukan yang mengotori lingkungan saya.. Apa yang harus saya lakukan mas? Kenapa ini harus terjadi pada keluarga saya.. padahal ketika awal pernikahan kami, suami saya baik-baik saja.. Tapi semenjak penyakit itu muncul dua tahun belakangan ini, semuanya berubah mas..”
Terhentak perih aku mendengar penuturan Ibu Sinta, Coba bayangkan, hati lirih mana yang bisa menolak ungkapan seorang istri ketika prahara silih berganti menerjang kehidupan suaminya.
“Ibu Sinta jangan berputus asa dan tetap bersabar.. pasrahkan kepada yang di atas. Di balik cobaan semua ini, pasti ada hikmah luar biasa dari Tuhan yang senantiasa selalu mengiri ibu..” Ujarku sambil menaruh sebuah foto di atas meja ruang tamu.
Terheran-heran lalu diambillah foto yang ada di hadapannya itu, “Inikan foto pas suami saya masih sekolah dulu. Lho, sebentar, ini yang di samping foto suami saya itu mas Endi-kah? Jadi mas Endi dengan suami saya itu..”
“Ya, betul Bu. Aku dan mas Jono itu dulunya satu sekolahan.. Sejujurnya, Ketika zaman sekolah dulu, aku sering di bantu biaya sekolahnya oleh suami ibu. Selain itu, mas Jono juga orangnya rendah hati dan mau bergaul dengan siapa aja tanpa melihat status sosialnya, termasuk mau berteman denganku.. Mangkanya, sampai saat ini mas Jono suka main ke rumahku yang sederhana ini.. Baik sebelum dan saat sakit seperti itupun, Jono tetaplah Jono yang ku kenal dulu”
“Silahkan jika ibu Sinta mau berkenan foto itu di simpan dan di bawa pulang.” Lanjutku.
“Terima kasih banyak mas Endi, dengan senang hati saya simpan foto ini. Nanti kalau saya menjenguk suami ke rumah sakit, akan saya perlihatkan foto ini. Pasti dia akan senang sekali. Kalau begitu saya Izin pamit pulang dulu mas.” Pungkasnya.
Pada akhirnya, rumah kecilku ini sunyi kembali. Aku kembali beraktivitas seperti sedia kala lagi. Dan Jono adalah sahabatku sejak aku masih berseragam putih abu. Ketika jenjang pendidikanku cuma mentok sampai SMA, Jono melanjutkan studinya ke luar negeri. Dia sosok cerdas, sederhana yang membumi. Meskipun dia lulusan luar negeri, di tidak sungkan mau bersilaturahmi dengan orang kecil seperti aku ini. Satu hal yang dikeluhkannya, yaitu keberadaannya di tempat tinggalnya sekarang ini kurang mendukung dan menerima perihal sakitnya. Stigma yang begitu kuat membuat dia tidak betah dan mudah tertekan dengan lingkungannya.
Skizofrenia (penyakitnya Jono) bukanlah pembatas silaturahmi antara aku dan Jono. Biarlah orang lain mau berkata apa terkait sakitnya. Mereka hanya bisa mencibir tanpa memberikan solusi dan rasa empati sedikitpun kepada kawanku ini. Maaf, Itu bentuk sinisme dariku untuk kalian wahai para penghujat.
Stigma mungkin akan selalu mengiri kehidupan Jono, tapi aku akan terus membantu melawan pandangan negatif itu.
Sahabatmu Endi untuk Jono yang sedang di rawat di rumah sakit.
Semoga lekas pulih kembali.*** (Tamat)
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.