oleh: Tendi Chaskey
Kehadiran keluarga Schallig di wilayah Kuningan dimulai ketika pada abad ke-19, pasangan suami isteri Hendrik Schallig dengan Wilhelmina Adriana Kroon yang bekerja di Cirebon mencari tempat yang sejuk untuk mereka tinggali. Ketika mencoba mengunjungi wilayah Linggajati dan Cilimus, ternyata disana mereka melihat telah banyak tinggal para penghuni keluarga Eropa. Kondisi itu patut dimaklumi karena Linggajati adalah salah satu wilayah favorit yang banyak dituju oleh orang-orang berkulit putih di masa kolonial.
Pada saat Jepang datang pada tahun 1942 dan mengumumkan pendudukannya, kehidupan keluarga Schallig berubah secara drastis. Saat itu, keluarga-keluarga Eropa diperintahkan untuk tinggal dalam satu tempat yang telah ditentukan Jepang, yaitu di sekitar Kuningan dan Linggajati. Orang-orang kulit putih itu sengaja dikonsentrasikan untuk mengantisipasi pelbagai kemungkinan yang bisa merugikan perang Asia Raya Jepang. Kuningan dan Linggajati memang terkenal sebagai tempat yang banyak dihuni oleh orang-orang Eropa di masa kolonial.
Kisah manis keluarga Schallig di tanah Bungkirit benar-benar berakhir ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Pada saat gaung kemerdekaan terdengar dimana-mana, nasib warga Eropa beserta keturunannya di wilayah Kuningan pun benar-benar dalam keadaan yang genting. Sekitar 2 bulan setelah proklamasi dibacakan saja, terdapat 23 orang Eropa di penjara Cijoho yang menjadi korban keganasan beberapa pihak revolusioner tertentu. Harian Leidsch Dagblad pada tanggal 26 augustus 1947 memberitakan bahwa, “Te Koeningan, werden in de periode der actie 23 Europeanen gearresteerd en door gepeupel vermoord.”
Peristiwa berdarah itu membuat warga kulit putih amat ketakutan sehingga kemudian banyak dari mereka memilih untuk melakukan migrasi ke luar daerah. Kemungkinan besar keluarga Schallig atau para penghuni Bungkirit juga turut serta hijrah dari kawasan Kuningan pada periode yang sama.
Sepeninggal mereka, lahan bukit yang luasnya berhektar-hektar itu menjadi tanah bengkok desa yang kemudian diambil alih kepemilikannya oleh pemerintah kabupaten untuk selanjutnya difungsikan sebagai taman kota yang terus eksis hingga saat ini.***
Penulis adalah Orang Kuningan, Alumnus Intercultural Leadership Camp Programme, Victoria University of Wellington, New Zealand. Saat ini tengah menempuh Program Doktoral.
Keluarga Schallig tengah berpose di kediamannya yang terletak di kaki Gunung Ciremai, antara tahun 1920-1935 |
Ada yang pernah menikmati suasana sejuk Hutan Kota Bungkirit? Suasana asri di tengah hutan kota yang dibangun untuk mendukung Kuningan sebagai kabupaten konservasi itu, ternyata tidak saat ini saja dirasakan oleh banyak orang, namun telah terjadi sejak lama. Bahkan, pernah ada keluarga Eropa yang benar-benar jatuh hati dan membeli seluruh lahan bukit Bungkirit untuk mereka tempati. Keluarga yang tinggal lama di bukit Bungkirit itu adalah keluarga Sekalit.
Sebenarnya, nama Sekalit bukanlah nama asli keluarga yang hidup di masa berkuasanya pemerintah Hindia Belanda tersebut, karena nama asli keluarga itu adalah Schallig. Adapun penyebutan nama Sekalit berasal dari pelafalan yang tidak sempurna kalangan rakyat pribumi sekitar Bungkirit ketika menyebutkan kata ‘Schallig’.
Di tengah masyarakat asli Cigugur yang juga daerahnya banyak dihuni oleh orang-orang Belanda dan Eropa, nama keluarga Schallig dikenal pula dengan nama yang berbeda, disana nama mereka lebih masyhur sebagai keluarga Sekelep. Nama keluarga Schallig yang pernah tinggal di Kuningan ini tercatat dengan baik di dalam catatan kolonial Hindia Belanda yang merupakan koleksi arsip di Nationaal Museum van Wereldculture, Belanda.
Kehadiran keluarga Schallig di wilayah Kuningan dimulai ketika pada abad ke-19, pasangan suami isteri Hendrik Schallig dengan Wilhelmina Adriana Kroon yang bekerja di Cirebon mencari tempat yang sejuk untuk mereka tinggali. Ketika mencoba mengunjungi wilayah Linggajati dan Cilimus, ternyata disana mereka melihat telah banyak tinggal para penghuni keluarga Eropa. Kondisi itu patut dimaklumi karena Linggajati adalah salah satu wilayah favorit yang banyak dituju oleh orang-orang berkulit putih di masa kolonial.
“Linggajati sudah seperti surga El Dorado bagi kami (orang Belanda). Disini kami bisa bersenang-senang, bisa berenang dengan sesuka hati, dan berburu di wilayah pegunungan yang sangat indah,” ungkap Joty van Ter Kulve, anak dari pemilik Gedung Naskah Perjuangan Linggarjati yang kini telah berusia sangat lanjut, di dalam sebuah wawancara film dokumenter berjudul Teruug Naar Linggajati.
Menyadari bahwa daerah Linggajati sudah terlalu padat, akhirnya pasangan meneer Schallig dan mevrouw Kroon mencoba mencari ke wilayah ke arah yang selatan dan sampailah mereka di wilayah Kuningan. Di daerah yang telah berperan sebagai pusat afdeeling itu, mereka mendengar kabar bahwa di sebelah barat Kuningan terdapat pula kolam yang bisa direnangi sebagaimana kolam yang ada di Linggajati. Mata keduanya langsung berbinar dan mereka pun segera mengunjungi kolam Cigugur.
Dalam perjalanan pulang pergi menuju Cigugur itu lah untuk pertama kalinya Schallig dan istrinya melihat bukit Bungkirit dan entah kenapa langsung menyukainya. Beberapa waktu kemudian, lahan perbukitan itu telah diurus oleh instansi kolonial terkait sehingga kepemilikannya telah beralih tangan kepada keluarga Schallig.
Rasa itu pasti jatuh karena keluarga Schallig melihat keindahan alami Bungkirit. Pada masa itu, orang-orang Barat memang acapkali memuja kekayaan alam Nusantara yang hijau, seperti apa yang dituliskan oleh Harriet W. Ponder, dalam Java Pageant, yang diterbitkan di London pada tahun 1935. Menurutnya, “ribuan petak sawah, tetapi tidak ada yang sama persis, terhampar di atas dataran luas dan pada lahan berundak yang digenangi air di sisi perbukitan; perkebunan pohon karet yang rindang, deretan hijau tanaman pangan tumbuh di antara kaki-kaki pepohononan tersebut; ladang-ladang ubi kayu (tapioka) yang cukup kecil; dan lain sebagainya.”
Di lahan yang sangat indah itu, Hendrik tidak hanya membangun rumah, namun juga membuat penangkaran kuda. Sekalipun kuda yang dihasilkan tidak begitu banyak, nyatanya kuda dari Bungkirit itu sangat terkenal, bahkan hingga tertulis dalam catatan kolonial dalam bingkai aura mistis.
Dalam buku baboon mengenai Hindia Belanda, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, P.A. van Der Lith mengungkapkan bahwa, “Volgens de overlevering stammen zij af van gewone merrie's en gevleugelde wonderpaarden (Koeda sembrani), waarom de merrie's op den heuvel Bongkeriet te grazen worden gebracht, waar de sembrani's met haar samenkomen.” Dalam tulisan tersebut, kuda Kuningan yang kuat itu disebutkan sebagai kuda sembrani legendaris yang diyakini masyarakat dan dikembangbiakkan di Bungkirit.
Hendrik Schallig dan istrinya tidak hanya berhasil menikmati alam indah Bungkirit saja, mereka juga berhasil membangun sebuah keluarga yang bisa dikatakan sangat berbahagia. Dari kebersamaan keduanya, Wilhelmina Kroon berhasil melahirkan 6 orang putra dan putri, yaitu Jan Hendrik Schallig, Jacob Willem Schallig, Wilhelmina Adriana Schallig, Sophia Jeaqueline Schallig, Hendrik Schallig (Jr), dan Jan Willem Schallig.
Hendrik Schallig sendiri akhirnya meninggal pada tahun 1875, setahun setelah anak bungsunya yang bernama Jan Willem lahir di Kuningan. Pada masa itu, Wilhelmina Kroon harus membesarkan anak-anaknya yang masih kecil sendirian. Jan Hendrik Schallig, anaknya yang paling besar pun masih berusia 8 tahun. Meski demikian, keluarga Belanda itu tetap dianggap hidup berkecukupan apabila dibandingkan dengan kehidupan warga pribumi. Yang jelas, di masa kolonial, keluarga Schallig tetap bisa menjalani hidup dengan tenang tanpa ada rasa kekurangan sedikitpun.
Bahkan, beberapa anak laki-laki Hendrik berhasil mengikuti jejak ayahnya itu untuk bekerja di Cirebon, yang di antaranya bekerja sebagai pegawai di pabrik gula Karang Suwung. “Di era kolonial, saat Tebu tengah menjadi primadona komoditas ekspor pemerintah Hindia Belanda, Cirebon memang menjadi salah satu daerah yang banyak dihuni oleh para keluarga Belanda dan Eropa,” ungkap Jan Breman dalam Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja: Jawa di Masa Kolonial.
Pada saat Jepang datang pada tahun 1942 dan mengumumkan pendudukannya, kehidupan keluarga Schallig berubah secara drastis. Saat itu, keluarga-keluarga Eropa diperintahkan untuk tinggal dalam satu tempat yang telah ditentukan Jepang, yaitu di sekitar Kuningan dan Linggajati. Orang-orang kulit putih itu sengaja dikonsentrasikan untuk mengantisipasi pelbagai kemungkinan yang bisa merugikan perang Asia Raya Jepang. Kuningan dan Linggajati memang terkenal sebagai tempat yang banyak dihuni oleh orang-orang Eropa di masa kolonial.
Dalam catatan Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel, yang kemudian dilaporkan sebagai buku besar yang berjudul Volkstelling 1930, Deel I: Inheemsche Bevolking van West-Java, tertulis bahwa, “pada tahun 1930, Kuningan ditinggali oleh 125 orang Eropa dan Cilimus yang di dalamnya adalah Linggajati dihuni oleh 164 orang Eropa.”
Kisah manis keluarga Schallig di tanah Bungkirit benar-benar berakhir ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Pada saat gaung kemerdekaan terdengar dimana-mana, nasib warga Eropa beserta keturunannya di wilayah Kuningan pun benar-benar dalam keadaan yang genting. Sekitar 2 bulan setelah proklamasi dibacakan saja, terdapat 23 orang Eropa di penjara Cijoho yang menjadi korban keganasan beberapa pihak revolusioner tertentu. Harian Leidsch Dagblad pada tanggal 26 augustus 1947 memberitakan bahwa, “Te Koeningan, werden in de periode der actie 23 Europeanen gearresteerd en door gepeupel vermoord.”
Peristiwa berdarah itu membuat warga kulit putih amat ketakutan sehingga kemudian banyak dari mereka memilih untuk melakukan migrasi ke luar daerah. Kemungkinan besar keluarga Schallig atau para penghuni Bungkirit juga turut serta hijrah dari kawasan Kuningan pada periode yang sama.
Sepeninggal mereka, lahan bukit yang luasnya berhektar-hektar itu menjadi tanah bengkok desa yang kemudian diambil alih kepemilikannya oleh pemerintah kabupaten untuk selanjutnya difungsikan sebagai taman kota yang terus eksis hingga saat ini.***
Masa bersiap *Masa pembantaian org2 kulit putih*
BalasHapus