oleh: Tendi Chaskey
Penulis adalah Orang Kuningan, Alumnus Intercultural Leadership Camp Programme, Victoria University of Wellington, New Zealand. Saat ini tengah menempuh Program Doktoral.
suarakuningan.com - Kopi bukanlah produk asli Nusantara, komoditas ini dikembangbiakan oleh para penguasa Batavia dari tanah aslinya di India Selatan.
“Budidaya kopi di Jawa untuk keperluan pemasaran di pasaran dunia sudah dimulai sejak awal abad ke-18. Tanaman kopi yang didatangkan dari luar negeri ternyata dapat tumbuh baik di daerah pedalaman markas besar kolonial yang berbukit-bukit. Para pedagang Perusahaan Dagang Belanda di Hindia Timur (Verenigde Oost-Indische Compagnie, VOC) itu pun segera mendorong budidaya tanaman asing ini,” tulis Jan Breman dalam bukunya Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dati Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870.
Setelah berhasil dengan penanaman percobaan di sekitar Batavia, para pimpinan teras perusahaan dagang VOC mencoba membudidayakannya di tanah luas yang mereka peroleh dari kemelut dan carut marut suksesi Kerajaan Mataram, yaitu tanah Priangan.
Pemberlakuan tanam kopi di tanah Priangan ini dikenal dengan sebutan Preanger Stelsel (Sistem Priangan) dan sejak pelaksanaan sistem tersebut, penanaman kopi pun semakin menyebar ke seantero tatar Pasundan termasuk di antaranya ke Kuningan yang pada waktu itu masih berada dalam otoritas kekuasaan Cirebon.
Kondisi itu berubah ketika Daendels berkuasa dan mengambil kekuasaan Cirebon atas tanah-tanah yang dimilikinya. “Berdasarkan Reglement op het Beheer van de Cheribonsce Landen, para Sultan di Cirebon tidak memiliki kekuasaan politik lagi dan statusnya sama dengan para regent (bupati) pemerintah kolonial,” sebagaimana tercantum dalam Nederlandsch-Indisch Plakaatboek, 1602-1811, yang disusun J.A. van der Chijs.
Ketika Kuningan berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial inilah, pelbagai kebijakan pun terkait upaya eksploitasi tanah masyarakat pun terjadi. Lahan lembah timur Ciremai yang subur ini kemudian menjadi lahan yang diproyeksikan untuk sejumlah perkebunan kolonial, yang di antaranya adalah perkebunan kopi.
Dalam sebuah surat kabar berbahasa Belanda “Java Bode”, yang bertanggal 13 Juli 1853, diungkapkan bahwa, “Pada tahun 1853, target panen kebun-kebun kopi di Kuningan untuk tiga tahun ke depannya adalah sebesar 10.000 pikul pertahun. Dengan beberapa koffij pakhuizen (gudang kopi) pemerintah yang berada di lima tempat, yaitu Kuningan, Kadugede, Bayuning, Cigugur, dan Luragung.”
Target itu terbilang cukup besar karena jika dibandingkan dengan target yang dibebankan pada Majalengka yang hanya sebanyak 9000 pikul pertahun dan Cirebon yang hanya 5000 pikul pertahun, angka untuk Kuningan jelas lebih tinggi. Adapun sejumlah wilayah yang dijadikan sebagai gudang kopi pemerintah berperan sebagai titik pengumpulan kopi yang dipanen dan diangkut dari perkebunan pedalaman yang ada di daerah Kuningan.
Perkebunan kopi di daerah yang sekarang dikenal sebagai kota kuda ini tidak bisa dipandang sebelah mata, sebab aktivitasnya melibatkan orang yang sangat tidak sedikit.
“Pada 1896, jumlah penduduk Kuningan yang dilibatkan dalam penanaman kopi mencapai 140.510 orang dari 170 desa dan jumlah itu makin meningkat karena pada 1900 jumlah orang Kuningan yang disertakan pemerintah kolonial hingga angka 147.167 orang dari 169 desa,”sebagaimana tersurat dalam Koloniaal Verslag van Nederlandsch Indie tahun 1897 dan 1901.
Usaha pemerintah kolonial untuk mengolah lahan kebun kopi di Kuningan dengan mempekerjakan penduduknya itu ternyata membuahkan hasil, karena kopi yang berasal dari Kuningan ternyata merupakan salah satu kopi yang berkualitas sangat baik di tanah Jawa, di samping kopi Sumedang. “Er is wel beweerd, dat de vrouwen van Koeningan en Soemedang de schoonste van Java zouden zijn,” tulis P.A. van der Lith dalam Encyclopedie Van Nederlandsch-IndiĆ« jilid kedua.
Pemberlakuan tanam kopi di tanah Priangan ini dikenal dengan sebutan Preanger Stelsel (Sistem Priangan) dan sejak pelaksanaan sistem tersebut, penanaman kopi pun semakin menyebar ke seantero tatar Pasundan termasuk di antaranya ke Kuningan yang pada waktu itu masih berada dalam otoritas kekuasaan Cirebon.
Kondisi itu berubah ketika Daendels berkuasa dan mengambil kekuasaan Cirebon atas tanah-tanah yang dimilikinya. “Berdasarkan Reglement op het Beheer van de Cheribonsce Landen, para Sultan di Cirebon tidak memiliki kekuasaan politik lagi dan statusnya sama dengan para regent (bupati) pemerintah kolonial,” sebagaimana tercantum dalam Nederlandsch-Indisch Plakaatboek, 1602-1811, yang disusun J.A. van der Chijs.
Ketika Kuningan berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial inilah, pelbagai kebijakan pun terkait upaya eksploitasi tanah masyarakat pun terjadi. Lahan lembah timur Ciremai yang subur ini kemudian menjadi lahan yang diproyeksikan untuk sejumlah perkebunan kolonial, yang di antaranya adalah perkebunan kopi.
Dalam sebuah surat kabar berbahasa Belanda “Java Bode”, yang bertanggal 13 Juli 1853, diungkapkan bahwa, “Pada tahun 1853, target panen kebun-kebun kopi di Kuningan untuk tiga tahun ke depannya adalah sebesar 10.000 pikul pertahun. Dengan beberapa koffij pakhuizen (gudang kopi) pemerintah yang berada di lima tempat, yaitu Kuningan, Kadugede, Bayuning, Cigugur, dan Luragung.”
Target itu terbilang cukup besar karena jika dibandingkan dengan target yang dibebankan pada Majalengka yang hanya sebanyak 9000 pikul pertahun dan Cirebon yang hanya 5000 pikul pertahun, angka untuk Kuningan jelas lebih tinggi. Adapun sejumlah wilayah yang dijadikan sebagai gudang kopi pemerintah berperan sebagai titik pengumpulan kopi yang dipanen dan diangkut dari perkebunan pedalaman yang ada di daerah Kuningan.
Perkebunan kopi di daerah yang sekarang dikenal sebagai kota kuda ini tidak bisa dipandang sebelah mata, sebab aktivitasnya melibatkan orang yang sangat tidak sedikit.
“Pada 1896, jumlah penduduk Kuningan yang dilibatkan dalam penanaman kopi mencapai 140.510 orang dari 170 desa dan jumlah itu makin meningkat karena pada 1900 jumlah orang Kuningan yang disertakan pemerintah kolonial hingga angka 147.167 orang dari 169 desa,”sebagaimana tersurat dalam Koloniaal Verslag van Nederlandsch Indie tahun 1897 dan 1901.
Usaha pemerintah kolonial untuk mengolah lahan kebun kopi di Kuningan dengan mempekerjakan penduduknya itu ternyata membuahkan hasil, karena kopi yang berasal dari Kuningan ternyata merupakan salah satu kopi yang berkualitas sangat baik di tanah Jawa, di samping kopi Sumedang. “Er is wel beweerd, dat de vrouwen van Koeningan en Soemedang de schoonste van Java zouden zijn,” tulis P.A. van der Lith dalam Encyclopedie Van Nederlandsch-IndiĆ« jilid kedua.
Setelah zaman terus berjalan, adukan kopi Kuningan itu tidak lagi terdengar merdu. Minat untuk mengembangkan produk asli tanah sendiri ini semakin menurun dari waktu ke waktu.Bahkan, beberapa kawasan yang dulunya dimanfaatkan sebagai kebun kopi pun kini banyak yang telah beralih fungsi.
Padahal apabila kopi Kuningan ini dikembangkan dengan cara yang modern, bukan tidak mungkin si hitam nan lezat ini bisa kembali menjadi andalan kabupaten berlambang kuda dan bokor ini untuk meraup banyak keuntungan. Ketika hal itu terjadi, maka adukan sejarah kopi Kuningan akan semakin manis dan bisa dikenang serta dilestarikan hingga ke generasi-generasi selanjutnya.***
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.