suarakuningan.com - Sejak awal tahun 1940-an, politik di negeri Belanda bergerak dengan labil. Kecamuk perang yang menghadapkan banyak negara, mulai menarik Negeri Kincir Angin ke tengah medan pertarungan memerebutkan kekuasaan atas dunia.
Hal itu benar-benar membuat kondisi negeri jajahan, yang salah satunya adalah Hindia Belanda (nama Nusantara dahulu), turut terseret arus dan hawa panas dari perang besar tersebut. Keadaan di daerah-daerah pun tidak jauh berbeda, karena apa yang dirasakan pusat terus menyebar juga ke seluruh wilayah yang dikuasainya.
Hal itu benar-benar membuat kondisi negeri jajahan, yang salah satunya adalah Hindia Belanda (nama Nusantara dahulu), turut terseret arus dan hawa panas dari perang besar tersebut. Keadaan di daerah-daerah pun tidak jauh berbeda, karena apa yang dirasakan pusat terus menyebar juga ke seluruh wilayah yang dikuasainya.
Situasi yang sudah kompleks itu semakin diperumit dengan bergabungnya Jepang dengan kubu Jerman dan Italia dalam perang. Ketika Negeri Matahari Terbit menyatakan bergabung dengan blok negara yang menjunjung rasa fasisme tersebut, secara tidak langsung keputusan itu turut menjadikan Belanda sebagai musuh perangnya. Wilayah jajahan Belanda di sekitar Jepang pun berada dalam kondisi yang sangat kritis, karena bisa saja sewaktu-waktu tanah-tanah itu diagresi oleh para tentara Jepang.
Apa yang dikhawatirkan Belanda ternyata menjadi kenyataan. Pada awal 1942, kekuatan militer Jepang berturut-turut merebut wilayah Hindia Belanda. Tentara Kerajaan Belanda (KNIL) beserta pasukan Sekutu yang bertugas disana, ternyata tidak dapat berbuat apa-apa ketika pasukan Jepang datang dan memerangi mereka. Satu persatu tanah jajahan Belanda jatuh ke pelukan Jepang. Kuningan pun mengalami hal itu setelah Jepang berhasil menundukkan tentara Hindia Belanda di Cirebon pada Maret 1942. Mereka memasuki Kuningan lewat wilayah Cilimus dan Linggarjati.
“Pasukan (Jepang) yang berkulit kuning itu datang ke Linggajati dari arah utara dengan sepeda motor dan sepeda lipat. Mereka menggerung-gerungkan kendaraannya dan membuat kegaduhan. Di tengah masyarakat yang tengah penasaran dan sekaligus ketakutan itulah tentara Jepang menyatakan bahwa mereka telah mengambil alih kekuasaan,” ungkap Joty van Ter Kulve, salah satu saksi hidup dari kedatangan Jepang itu, dalam sebuah film dokumenter yang berjudul Teruug Naar Linggadjati.
Di tahun 1942 itu, Jepang memang sangat superior. Yang dikuasainya, tidak hanya wilayah Hindia Belanda, tapi hampir seluruh Asia Tenggara. Daerah-daerah taklukkanya meliputi Birma, Malaysia, Filipina, dan tentu Hindia Belanda. Pemerintah Belanda yang tengah mengungsi di Inggris pun tidak dapat berbuat banyak hal, sehingga kemudian Letnan Jenderal Ter Poorten yang tengah memegang pucuk pimpinan Hindia Belanda itu dengan mudahnya menyerahkan kekuasaannya kepada Jepang, yang diwakili oleh Letnan Jenderal Hitosyi Imamura, di Pangkalan Udara Militer Belanda di Kalijati Subang pada tanggal 8 Maret 1942.
Dalam Ichtisar Sedjarah Perang Dunia II, yang diterbitkan Pusat Sedjarah ABRI, Makmun Salim mengungkapkan bahwa, “Di Jawa Barat, kekuatan militer Jepang yang diturunkan adalah Staf Tentara Keenam Belas dan Divisi II. Bojonegara di Teluk Banten dan eretan Wetan di Indramayu, merupakan dua tempat yang dijadikan lokasi pendaratan para pasukan Jepang.”
“Detasemen Syoji merupakan pasukan yang didaratkan di Eretan Wetan. Dari sana, pasukan menyebar secara terkoordinasi. Di Subang, Kalijati ditaklukkan oleh Batalyon Wakamatsu yang merebutnya tanpa perlawanan berarti dari Angkatan Udara Inggris yang bertahan di wilayah itu,” ungkap Nugroho Notosusanto, dalam Djepang kontra Belanda di Djawa Barat dalam Perang Dunia II, yang dimuat Intisari pada 7 Djanuari 1970.
Ketika Jepang membangun pemerintahan militernya, wilayah Kuningan disatukan dengan beberapa wilayah lain ke dalam karesidenan Cirebon. Pertama-tama, Pangeran Aria Suriadi diangkat menjadi residen Cirebon pada tanggal 29 April 1942. Kondisi itu tidak bertahan lama karena terhitung sejak Agustus 1942, Undang-Undang No. 27 dan No. 28 yang berkaitan dengan struktur kekuasaan atas Jawa diterbitkan pemerintahan militer Jepang. Dalam peraturan tersebut, istilah-istilah Jepang, seperti syucokan (residen), kotico (kepala daerah istimewa), kenco (bupati), syico (walikota), gunco (wedana), sonco (camat), dan kunco (kepala desa). Pucuk tertinggi pemerintahan militernya adalah Gunsyireikan.
Setelah Pangeran Aria Suriadi, yang menjabat sebagai syucokan (residen) Cirebon adalah Ichibangase dan Raden Suriatanubrata. Wilayah karesidenan tersebut meliputi Kabupaten Cirebon, Kuningan, Indramayu, dan Majalengka. Pada masa Jepang, yang ditunjuk sebagai kenco Kabupaten Kuningan, berturut-turut adalah Raden Umar Said (1940 – 1942) dan Rifai (1942 – 1945).***
Manteeeeppp...
BalasHapus