Sejarah Para Pelarian Mataram di Kuningan
oleh: Tendi Chaskey
Penulis adalah Orang Kuningan, Alumnus Intercultural Leadership Camp Programme, Victoria University of Wellington, New Zealand. Saat ini tengah menempuh Program Doktoral.
Suarakuningan.com - Nama Mataram memang telah masyhur sejak lama sebagai sebuah kerajaan agung yang bisa menguasai sebagian besar Pulau Jawa. Kerajaan ini awalnya berkembang sebagai sebuah vassal dari Kerajaan Pajang yang lebih dulu berkuasa selepas kemunduran Kerajaan Demak. Namun tampaknya, jalan takdir keduanya berbeda karena Mataram jauh lebih berkembang dan meninggalkan Pajang yang menemui kehancuran.
Setelah dirintis dengan susah payah, akhirnya kerajaan ini mulai menjelma menjadi salah satu kekuatan terpenting di Jawa. Kemajuan tersebut utamanya terjadi ketika Sultan Agung memimpin Mataram, karena saat itu kekuasaan Mataram semakin meluas dan pengaruhnya semakin menyebar ke sebagian besar Pulau Jawa dan pulau-pulau di sekitarnya, termasuk ke Tatar Pasundan.
Terkait hal itu, dalam A History of Southeast Asia, Hall mengungkapkan bahwa, “kekuasaan Mataram di era Sultan Agung membentang dari Priangan dan Karawang sebelah barat, dan hampir seluruh Jawa bagian timur dan Madura kecuali Blambangan.”
Pada masa itu, Sultan Agung memiliki kecerdasan kepemimpinan yang mungkin tidak dimiliki oleh raja-raja Mataram lainnya kemudian, “Ia sangat piawai dalam menjaga wilayah kekuasaannya dengan memelihara keseimbangan antara legitimasi yang terpusat dan administrasi yang didesentralisasi melalui tumpuan kekuatan militer,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern.
Dalam rangka menyatukan seluruh Jawa dalam genggaman Mataram, Sultan Agung mencoba untuk mengusir VOC dari Batavia (Jayakarta). Dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, H.J. de Graaf menulis bahwa, “tahun 1628 Batavia dikepung oleh Mataram untuk yang pertama kalinya. Lalu, tahun 1629, Batavia kembali dikepung dengan oleh para Prajurit Jawa yang disiplin dan berani.”
Raja terbesar Mataram itu mengerahkan banyak pasukan yang berasal dari daerah-daerah taklukannya. Agar pasukannya memiliki mental dan semangat baja dalam peperangan itu, Sultan Agung bersikap tegas terhadap mereka. Ia akan memberi banyak hadiah jika para serdadunya meraih kemenangan gemilang, namun ia juga memperingatkan hukuman yang sangat keras apabila yang mereka dapatkan adalah kegagalan. Dan ternyata, hal yang sangat ditakuti itulah yang malah terjadi.
Dengan data dokumen yang ditemukan dari arsip VOC, dalam buku yang sama, Ricklefs mengungkapkan banyaknya korban dari pihak Mataram dalam perang itu. Ia menguraikan bahwa, “ketika para pasukan VOC keluar dari benteng dan memeriksa bagian luar Batavia, mereka menemukan 744 mayat prajurit Jawa dengan beberapa di antaranya tanpa kepala.” Mayat-mayat tanpa kepala itu diyakini sebagai panglima-panglima pasukan yang dihukum oleh Sultan Agung karena dianggap telah gagal dalam menjalankan tugas.
Karena kerasnya hukuman itu, tidak semua pasukan yang dikirim oleh Sultan Agung untuk menyerang VOC berani kembali ke Mataram untuk melaporkan kekalahannya. Sebagian dari mereka, mengungsi ke tanah Pasundan, karena wilayah yang banyak dipenuhi oleh perbukitan dan dataran tinggi itu dianggap jauh dari jangkauan Mataram.
Pada masa itu, Sultan Agung memiliki kecerdasan kepemimpinan yang mungkin tidak dimiliki oleh raja-raja Mataram lainnya kemudian, “Ia sangat piawai dalam menjaga wilayah kekuasaannya dengan memelihara keseimbangan antara legitimasi yang terpusat dan administrasi yang didesentralisasi melalui tumpuan kekuatan militer,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern.
Dalam rangka menyatukan seluruh Jawa dalam genggaman Mataram, Sultan Agung mencoba untuk mengusir VOC dari Batavia (Jayakarta). Dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, H.J. de Graaf menulis bahwa, “tahun 1628 Batavia dikepung oleh Mataram untuk yang pertama kalinya. Lalu, tahun 1629, Batavia kembali dikepung dengan oleh para Prajurit Jawa yang disiplin dan berani.”
Raja terbesar Mataram itu mengerahkan banyak pasukan yang berasal dari daerah-daerah taklukannya. Agar pasukannya memiliki mental dan semangat baja dalam peperangan itu, Sultan Agung bersikap tegas terhadap mereka. Ia akan memberi banyak hadiah jika para serdadunya meraih kemenangan gemilang, namun ia juga memperingatkan hukuman yang sangat keras apabila yang mereka dapatkan adalah kegagalan. Dan ternyata, hal yang sangat ditakuti itulah yang malah terjadi.
Dengan data dokumen yang ditemukan dari arsip VOC, dalam buku yang sama, Ricklefs mengungkapkan banyaknya korban dari pihak Mataram dalam perang itu. Ia menguraikan bahwa, “ketika para pasukan VOC keluar dari benteng dan memeriksa bagian luar Batavia, mereka menemukan 744 mayat prajurit Jawa dengan beberapa di antaranya tanpa kepala.” Mayat-mayat tanpa kepala itu diyakini sebagai panglima-panglima pasukan yang dihukum oleh Sultan Agung karena dianggap telah gagal dalam menjalankan tugas.
Karena kerasnya hukuman itu, tidak semua pasukan yang dikirim oleh Sultan Agung untuk menyerang VOC berani kembali ke Mataram untuk melaporkan kekalahannya. Sebagian dari mereka, mengungsi ke tanah Pasundan, karena wilayah yang banyak dipenuhi oleh perbukitan dan dataran tinggi itu dianggap jauh dari jangkauan Mataram.
Selain karena alasan pragmatis terkait keselamatan jiwanya, pelarian itu dilakukan karena mereka juga memikirkan nasib keluarga yang tentu akan sangat menderita ketika tumpuan keluarganya sudah lagi tidak ada. Nasib orang yang paling terkasih memang menjadi prioritas atau hal utama bagi siapa saja.
Di Kuningan, Jawa Barat, terdapat pula beberapa desa yang diyakini sebagai tempat pelariannya orang-orang Mataram. Keyakinan itu didukung oleh tradisi lisan yang telah diturunkan dari generasi ke generasi di tengah masyarakat keturunannya. Beberapa daerah yang dipercaya sebagai tempat persembunyian orang-orang Jawa itu adalah daerah Subang dan Gunung Jawa, Karangkancana.
Meskipun background historisnya berbeda, namun terdapat persamaan di antara para pelarian perang besar melawan VOC dengan para pelarian yang ada di dua tempat tersebut: yaitu ketakutan akan kemarahan Sultan Mataram. Jika pelarian yang terkait dengan peristiwa peperangan VOC, mereka jelas sangat takut dengan kemarahan Sultan Agung yang diakibatkan oleh kegagalan mereka dalam perang. Maka kemarahan Sultan Mataram menurut tradisi lisan di dua daerah itu sedikit berbeda:
Di Subang, status bangsawan dan perebutan kekuasaan dengan pelarian Jawa itu dianggap sebagai pangkal kemarahan Sultan Mataram, sedangkan di Gunung Jawa, kemarahan Sultan lebih disebabkan oleh pembangkangan salah seorang petinggi militer yang ditugaskan kesana.
Memori kolektif masyarakat Subang mencatat bahwa salah seorang leluhur mereka adalah orang Mataram, dan sosok itu bernama R.M. Muryah Martapura (Adipati Anom) yang kelak kemudian berganti nama menjadi Wirananggapati. Salah seorang bangsawan Jawa itu diyakini sebagai pemegang sah tahta Mataram selepas Krapyak mangkat.
Namun karena ia kalah bargaining dengan Sultan Agung yang merupakan saudaranya, akhirnya yang menjadi penerus Krapyak justeru saudaranya itu. Karenanya, Adipati Anom pun memilih pergi dari istana. Selain karena alasan ketenangan, kepergian itu juga didasari oleh alasan keamanan diri dari ancaman.
Sementara itu, dalam catatan memori bersama masyarakat Karangkancana, beberapa leluhur mereka yang berasal dari Mataram adalah Patih Niti Baga (Buyut Kapidin) dan Dipati Pasir. Keduanya dianggap oleh masyarakat setempat sebagai orang-orang yang awalnya mengabdi kepada Susuhunan Mataram, namun karena ada beberapa hal tertentu akhirnya mereka malah memilih tidak kembali ke tanah Jawa dan bermukim disana.
Walaupun secara akademis, tradisi lisan itu masih perlu mendapat banyak kajian dan pembuktian ilmiah. Setidaknya hal itu menunjukkan bahwa keragaman masyarakat Kuningan tidak hanya ada pada masa kini saja, namun ternyata telah hadir sejak masa lalu dan terus terpelihara dengan baik dalam panjangnya proses perjalanan waktu, hingga saat ini. Semoga, kebersamaan itu senantiasa lestari.***
Di Kuningan, Jawa Barat, terdapat pula beberapa desa yang diyakini sebagai tempat pelariannya orang-orang Mataram. Keyakinan itu didukung oleh tradisi lisan yang telah diturunkan dari generasi ke generasi di tengah masyarakat keturunannya. Beberapa daerah yang dipercaya sebagai tempat persembunyian orang-orang Jawa itu adalah daerah Subang dan Gunung Jawa, Karangkancana.
Meskipun background historisnya berbeda, namun terdapat persamaan di antara para pelarian perang besar melawan VOC dengan para pelarian yang ada di dua tempat tersebut: yaitu ketakutan akan kemarahan Sultan Mataram. Jika pelarian yang terkait dengan peristiwa peperangan VOC, mereka jelas sangat takut dengan kemarahan Sultan Agung yang diakibatkan oleh kegagalan mereka dalam perang. Maka kemarahan Sultan Mataram menurut tradisi lisan di dua daerah itu sedikit berbeda:
Di Subang, status bangsawan dan perebutan kekuasaan dengan pelarian Jawa itu dianggap sebagai pangkal kemarahan Sultan Mataram, sedangkan di Gunung Jawa, kemarahan Sultan lebih disebabkan oleh pembangkangan salah seorang petinggi militer yang ditugaskan kesana.
Memori kolektif masyarakat Subang mencatat bahwa salah seorang leluhur mereka adalah orang Mataram, dan sosok itu bernama R.M. Muryah Martapura (Adipati Anom) yang kelak kemudian berganti nama menjadi Wirananggapati. Salah seorang bangsawan Jawa itu diyakini sebagai pemegang sah tahta Mataram selepas Krapyak mangkat.
Namun karena ia kalah bargaining dengan Sultan Agung yang merupakan saudaranya, akhirnya yang menjadi penerus Krapyak justeru saudaranya itu. Karenanya, Adipati Anom pun memilih pergi dari istana. Selain karena alasan ketenangan, kepergian itu juga didasari oleh alasan keamanan diri dari ancaman.
Sementara itu, dalam catatan memori bersama masyarakat Karangkancana, beberapa leluhur mereka yang berasal dari Mataram adalah Patih Niti Baga (Buyut Kapidin) dan Dipati Pasir. Keduanya dianggap oleh masyarakat setempat sebagai orang-orang yang awalnya mengabdi kepada Susuhunan Mataram, namun karena ada beberapa hal tertentu akhirnya mereka malah memilih tidak kembali ke tanah Jawa dan bermukim disana.
Walaupun secara akademis, tradisi lisan itu masih perlu mendapat banyak kajian dan pembuktian ilmiah. Setidaknya hal itu menunjukkan bahwa keragaman masyarakat Kuningan tidak hanya ada pada masa kini saja, namun ternyata telah hadir sejak masa lalu dan terus terpelihara dengan baik dalam panjangnya proses perjalanan waktu, hingga saat ini. Semoga, kebersamaan itu senantiasa lestari.***
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.