Oleh: A Ronaz**
Trend isu local genius atau kearifan lokal sesunggunhya sudah lama dibicarakan, diantaranya oleh Prof.Dr. Hasan Muarif Ambary (akademisi asal Kuningan) dalam bukunya Menemukan Peradaban: Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia tahun 1998.
Kini, isu tersebut bak jamur di musim hujan ketika para kepala daerah dipilih secara langsung oleh masyarakat sesuai dengan UU Otonomi Daerah nomor 22 tahun 1999 sebagai turunan dari pasal 18 UUD 1945.
Selain sebagai komoditas politik, ternyata kearifan lokal dinilai cukup ampuh dalam menggerakan roda pemerintahan dan perekonomian di suatu daerah. Sebut saja Provinsi Bali, dengan budaya yang bernuansa agama bahkan mungkin kental dengan mistisismenya hampir dapat mensetarakan dengan negara Singapura dari berbagai bidang termasuk propinsi yang rendah indeks korupsinya. Kitapun dapat menyaksikan majunya peradaban masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta, Lombok, Kabupaten Purwakarta dan sebagainya.
Lalu, apa kabar kabupaten Kuningan? Sebuah kabupaten yang legendaris nan eksotis karena memiliki berbagai cerita yang tak kalah menarik dari kabupaten/ kota lainnya di Indonesia. Diantara legenda-legendanya diabadikan dalam logo kabupaten Kuningan. Nama Kuningan sendiri ada yang menghubungkan dengan gambar bokor yang terbuat dari logam kuningan.
Konon pada tahun 1914, masyarakat menemukan perkakas rumah tangga termasuk bokor yang terbuat dari logam kuningan di Sangkanherang daerah dekat Jalaksana. Kabupaten Kuningan juga dikenal eksotis karena pemandangan alam yang mempesona dari gunung Ciremai hingga ke perbatasan Cirebon, Majalengka, Ciamis dan Brebes Provinsi Jawa Tengah.
Namun tampaknya sebagian besar masyarakat Kuningan berkarakter nomadik dan suka dengan tantangan di luar daerah sehingga lebih banyak yang memilih menjadi masyarkat urban terutama di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dengan berbagai profesi di luar daerah, mereka mengundi nasib mulai dari berdagang hingga menjadi pejabat seperti Anies Rasyid Baswedan yang pernah menjadi menteri pendidikan dan kini dicalonkan menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Selain itu, tampaknya masyarakat Kuningan cenderung melankolis, suka mengenang dan rindu masa lalu hingga membiarkan susasana masa lalu nya dapat selalu hadir di masa kini untuk ditengok ketika liburan atau musim mudik.
Apapun realitas yang hadir pada masyarakat Kuningan, pemerintah daerah dan seluruh stakeholder termasuk kaum pelajar dan mahasiswa perlu untuk untuk melakukan rethinking dan review terhadap arah pembangunan kabupaten Kuningan.
Paling tidak, ada tiga fakta yang dapat mengubah segalanya sebelum masyarakat Kuningan siap mengubahnya; pertama, pembangunan Bandara Internasional Kertajati di Majalengka dipastikan akan mengubah tatanan sosial masyarakat di kawasan keresidenan Cirebon termasuk kabupaten Kuningan. Bandara menjadi akses masuk masyarakat dunia dengan membawa budaya, karakter, sifat, kepentingan dan sebagainya ke kawasan yang ada disekitarnya. Para turis dan pelancong dari berbagai negara luar akan mencari tempat-tempat penginapan, hotel, hiburan dan sebagainya mulai dari kawasan sekitar bandara.
Kedua, pembangunan infrastruktur nasional jalan tol Cileunyi, Sumedang, Dawuan (Cisumdawu) yang terhubung dengan Cikopo-Palimanan (Cipali), dan Ciperna akan memudahkan akses masuk ke Kabupetan Kuningan.
Ketiga, Kabupaten Kuningan memiliki destinasi wisata yang cukup kaya sehingga dipastikan dapat menjadi magnet bagi masyarakat dunia untuk sekedar singgah di Kabupaten Kuningan.
Dengan demikian, apa yang sedang dan sudah dipersiapkan oleh pemerintah dan masyarakat Kuningan menghadapi suasana baru itu? Apakah diam dan tergilas atau bergerak mulai dari sekarang mengawal perubahan?
Tentu tidak ada pilihan lain, kecuali mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh mengawal perubahan agar nasib masyarakat Kuningan lebih baik seiring dengan tantangan dari eksternal yang kian menekan. Persiapan pembangunan secara fisik dan non-fisik seyogyanya berjalan paralel. Jika potret Kuningan hari ini belum menunjukan tanda-tanda berarti, maka segeralah move on! Mulai dari siapapun yang tersadarkan dan tergerak dengan tulisan ini.
Potensi Budaya Kuningan
Relatif sulit mengidentifikasi wujud konkrit budaya masyarakat Kuningan karena memang budaya itu sendiri sebagai suatu cara hidup yang berkembang dalam suatu masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut Nurcolish Madjid, Budaya terbentuk oleh tradisi, dan tradisi terbentuk oleh sistem nilai, dan sistem nilai terbentuk oleh keyakinan (iman). Sementara budaya itu sendiri akan melahirkan peradaban.
Dengan demikian asal mula budaya dan peradaban adalah keyakinan yang secara formal dihadirkan oleh agama. Dalam konteks ini, masyarakat Kuningan yang mulanya penganut animisme dan dinamisme kemudian terjadi konversi sebagian besar ke Islam sejak dilakukan dakwah Islam oleh Sunan Gunung Djati di tatar Kuningan dan sebagian ada yang konversi ke Kristen dan ada juga minoritas ke madraisme (Islam rasa sunda wiwtitan) di Cigugur dan Ahmadiyah di Manis Lor.
Realitas keragaman agama di kabupaten Kuningan tak terbantahkan lahir dari sejarah masyarakat Kuningan itu sendiri. Seyogyanya realitas ragam keberagamaan masyarakat Kuningan ini menjadi potensi sebagai modal sosial untuk pembangunan non-fisik yaitu melahirkan produk-produk budaya yang dapat berhasil guna.
Keramahtamahan, peduli, gotong royong dan sikap toleran masyarakat Kuningan yang diajarkan di tempat-tempat suci dan lembaga pendidikan seyogyanya di ekspose ke publik dalam wajah santun supir angkot, bus, dan kusir delman, pelayan toko jajanan (pramuniaga) Kuningan, pelayan hotel, pelayan tempat wisata dan seluruh elemen masyarakat Kuningan dilengkapi pakaian Sunda khas Kuningan yang bernuansa religius.
Pada moment tertentu, pemerintah daerah dapat memfasilitasi berbagai ekspose budaya lokal seperti upacara kawin cai di Cibulan, Upacara adat seren taun Kaharingan di Cigugur, Muludan Akbar Forum Santri dan sebagainya. Berbagai potensi ini dapat dikembangkan dalam proses pemberdayaan.
Paradigma Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan yaitu yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable” (Hafsah: 2006).
People centered merupakan tatanan kepemerintahan yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan masyarakat dan dalam prosesnya pun dominan dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat diposisikan sebagai pemeran utama dalam melakukan pengambilan keputusan, pelaksanaan program dan kegiatan sekaligus pengawasan dan pertanggungjawaban secara terbuka dilakukan oleh dari dan untuk masyarakat.
Konsepsi people centered ini relevan dengan ruh demokrasi yang juga mensyaratkan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan setiap harapan dan cita-cita masyarakat itu sendiri. Tentunya, proses tersebut akan sulit dilakukan tanpa cara-cara tertentu bahkan metodologi tertentu. Oleh karena itu empowering menjadi mutlak dilakukan sebagai perangkat metode-metode yang dapat memudahkan masyarakat dalam mewujudkan harapan dan cita-citanya.
Syarat lain yang tidak kalah penting adalah bagaimana konsep people centered, participatory dan empowering itu diketahui, dipahami dan tersosialisasikan secara merata kepada masyarakat, maka dalam paradigma baru pembangunan juga mensyaratkan sustainability atau keberlanjutan proses dalam setiap ruang dan waktu. Pada proses ini, masyarakat akan melakukan pembangunan melalui siklus program yang pada proses pelakasanaannya melalui tahapan-tahapan tertentu yang dirancang secara sustainable.
Pada kenyataan proses pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya, terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat dan bahkan pada negara yang menganut theisme akan mengembalikan pada nilai-nilai ketuhanan atau dalam konsep Islam disebut sebagai nilai-nilai ilahiyah.
Goals atau tujuan pemberdayaan seringkali ditujukan untuk mengangkat orang miskin supaya keluar dari kemiskinannya. Padahal lebih daripada itu, pemberdayaan bertujuan mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan dengan kata lain pemberdayaan adalah proses pendidikan secara terbuka dalam kehidupan bermasyarakat yang berujung pada upaya memanusiakan manusia. Adapun secara khusus, yang menjadi tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidakberdayaan.
Adapun pengelompokan yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah atau tidak berdaya meliputi; pertama, kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender maupun etnis. Kedua, kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing. Ketiga, kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah pribadi atau keluarga.
Namun pemberdayaan kelompok lemah tersebut tetap bukan tujuan utama, karena dalam konteks pemberdayaan mutlak untuk melibatkan seluruh komponen untuk turut berpartisipasi menanggulangi masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat. Sehingga, kemiskinan, kebodohan, masyarakat marginal dan sebagainya hanya menjadi pemicu untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
Kecil-kecil Kuda Kuningan
Tidak diketahui siapa dan kapan adagium ini muncul ditengah masyarakat Kuningan. Namun yang pasti bahwa faktanya Kuningan adalah kota kuda karena tiga alasan pertama memang populasi kuda tetap banyak dalam keramaian alat transportasi modern seperti mobil dan motor.
Kedua, memang ada gambar kuda dalam logo kabupaten Kuningan yang menandakan ada alasan dibalik munculnya gambar kuda jengke dalam logo tersebut.
Ketiga, secara historis, dalam telusur sejarah Kuningan, ada tokoh bernama Adipati Kuningan yang memiliki kuda bernama Si Windu yang konon memiliki postur tubuh yang kecil tapi berpenampilan tegap dan sangat kuat bahkan katanya bisa lompat sangat jauh seperti terbang.
Dalam konteks kekinian, fenomena kuda Kuningan dapat direaktualisasi dalam bentuk produk budaya dengan proses pemberdayaan para peternak dan pemilik kuda termasuk para pemanfaat dan pengguna tenaga kuda pada alat transportasi delman, kereta kuda, atau keretek.
Delman yang berkeliaran di kota Kuningan sebaiknya difasilitasi baik kusir dan delman yang ramah lingkungan dan jalur lintasannya seperti busway di Jakarta. Suasana seperti ini diyakini akan sangat diminati oleh para wisatawan baik lokal maupun internasional, apalagi jika para kusir delman diberi pakaian adat Kuningan serta diberi keterampilan khusus dalam penyampaian pesan mengenai sejarah Kuningan dengan penguasaan bahasa Sunda dan Bahasa Inggris.
Jalur delman dirancang bukan hanya di pusat kota, tapi di beberapa titik wisata yang memungkinkan untuk dilalui moda transportasi tradisional ini. Tidak berhenti sebatas alat transportasi, kotoran kuda (peces) yang terkumpul di bagasi delman, ditampung pada tempat-tempat khusus yang siap diangkut oleh petugas ke tempat-tempat pengolahan biogas rumah tangga, dan ampas biogasnya dapat dimanfaatkan menjadi pupuk organik oleh para petani.
Betapa sederhana gagasaan ini, namun betapa berat perjuangan dan pengorbanan yang harus dihadapi. Jika pemerintah daerah, masyarakat dan pihak swasta dapat mewujudkan satu program ini saja, saya meyakini dapat menjadi daya tawar bagi pemerintah Kabupaten Kuningan di kancah nasional dan internasional.
Wallahu a’lam....
*Disampaikan pada Simak Kamuning, 1 Maret 2017
**Ketua Umum KMK Bandung tahun 2000-2001, Dosen Prodi PMI Fidkom UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Trend isu local genius atau kearifan lokal sesunggunhya sudah lama dibicarakan, diantaranya oleh Prof.Dr. Hasan Muarif Ambary (akademisi asal Kuningan) dalam bukunya Menemukan Peradaban: Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia tahun 1998.
Kini, isu tersebut bak jamur di musim hujan ketika para kepala daerah dipilih secara langsung oleh masyarakat sesuai dengan UU Otonomi Daerah nomor 22 tahun 1999 sebagai turunan dari pasal 18 UUD 1945.
Selain sebagai komoditas politik, ternyata kearifan lokal dinilai cukup ampuh dalam menggerakan roda pemerintahan dan perekonomian di suatu daerah. Sebut saja Provinsi Bali, dengan budaya yang bernuansa agama bahkan mungkin kental dengan mistisismenya hampir dapat mensetarakan dengan negara Singapura dari berbagai bidang termasuk propinsi yang rendah indeks korupsinya. Kitapun dapat menyaksikan majunya peradaban masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta, Lombok, Kabupaten Purwakarta dan sebagainya.
Lalu, apa kabar kabupaten Kuningan? Sebuah kabupaten yang legendaris nan eksotis karena memiliki berbagai cerita yang tak kalah menarik dari kabupaten/ kota lainnya di Indonesia. Diantara legenda-legendanya diabadikan dalam logo kabupaten Kuningan. Nama Kuningan sendiri ada yang menghubungkan dengan gambar bokor yang terbuat dari logam kuningan.
Konon pada tahun 1914, masyarakat menemukan perkakas rumah tangga termasuk bokor yang terbuat dari logam kuningan di Sangkanherang daerah dekat Jalaksana. Kabupaten Kuningan juga dikenal eksotis karena pemandangan alam yang mempesona dari gunung Ciremai hingga ke perbatasan Cirebon, Majalengka, Ciamis dan Brebes Provinsi Jawa Tengah.
Namun tampaknya sebagian besar masyarakat Kuningan berkarakter nomadik dan suka dengan tantangan di luar daerah sehingga lebih banyak yang memilih menjadi masyarkat urban terutama di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dengan berbagai profesi di luar daerah, mereka mengundi nasib mulai dari berdagang hingga menjadi pejabat seperti Anies Rasyid Baswedan yang pernah menjadi menteri pendidikan dan kini dicalonkan menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Selain itu, tampaknya masyarakat Kuningan cenderung melankolis, suka mengenang dan rindu masa lalu hingga membiarkan susasana masa lalu nya dapat selalu hadir di masa kini untuk ditengok ketika liburan atau musim mudik.
Apapun realitas yang hadir pada masyarakat Kuningan, pemerintah daerah dan seluruh stakeholder termasuk kaum pelajar dan mahasiswa perlu untuk untuk melakukan rethinking dan review terhadap arah pembangunan kabupaten Kuningan.
Paling tidak, ada tiga fakta yang dapat mengubah segalanya sebelum masyarakat Kuningan siap mengubahnya; pertama, pembangunan Bandara Internasional Kertajati di Majalengka dipastikan akan mengubah tatanan sosial masyarakat di kawasan keresidenan Cirebon termasuk kabupaten Kuningan. Bandara menjadi akses masuk masyarakat dunia dengan membawa budaya, karakter, sifat, kepentingan dan sebagainya ke kawasan yang ada disekitarnya. Para turis dan pelancong dari berbagai negara luar akan mencari tempat-tempat penginapan, hotel, hiburan dan sebagainya mulai dari kawasan sekitar bandara.
Kedua, pembangunan infrastruktur nasional jalan tol Cileunyi, Sumedang, Dawuan (Cisumdawu) yang terhubung dengan Cikopo-Palimanan (Cipali), dan Ciperna akan memudahkan akses masuk ke Kabupetan Kuningan.
Ketiga, Kabupaten Kuningan memiliki destinasi wisata yang cukup kaya sehingga dipastikan dapat menjadi magnet bagi masyarakat dunia untuk sekedar singgah di Kabupaten Kuningan.
Dengan demikian, apa yang sedang dan sudah dipersiapkan oleh pemerintah dan masyarakat Kuningan menghadapi suasana baru itu? Apakah diam dan tergilas atau bergerak mulai dari sekarang mengawal perubahan?
Tentu tidak ada pilihan lain, kecuali mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh mengawal perubahan agar nasib masyarakat Kuningan lebih baik seiring dengan tantangan dari eksternal yang kian menekan. Persiapan pembangunan secara fisik dan non-fisik seyogyanya berjalan paralel. Jika potret Kuningan hari ini belum menunjukan tanda-tanda berarti, maka segeralah move on! Mulai dari siapapun yang tersadarkan dan tergerak dengan tulisan ini.
Potensi Budaya Kuningan
Relatif sulit mengidentifikasi wujud konkrit budaya masyarakat Kuningan karena memang budaya itu sendiri sebagai suatu cara hidup yang berkembang dalam suatu masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut Nurcolish Madjid, Budaya terbentuk oleh tradisi, dan tradisi terbentuk oleh sistem nilai, dan sistem nilai terbentuk oleh keyakinan (iman). Sementara budaya itu sendiri akan melahirkan peradaban.
Dengan demikian asal mula budaya dan peradaban adalah keyakinan yang secara formal dihadirkan oleh agama. Dalam konteks ini, masyarakat Kuningan yang mulanya penganut animisme dan dinamisme kemudian terjadi konversi sebagian besar ke Islam sejak dilakukan dakwah Islam oleh Sunan Gunung Djati di tatar Kuningan dan sebagian ada yang konversi ke Kristen dan ada juga minoritas ke madraisme (Islam rasa sunda wiwtitan) di Cigugur dan Ahmadiyah di Manis Lor.
Realitas keragaman agama di kabupaten Kuningan tak terbantahkan lahir dari sejarah masyarakat Kuningan itu sendiri. Seyogyanya realitas ragam keberagamaan masyarakat Kuningan ini menjadi potensi sebagai modal sosial untuk pembangunan non-fisik yaitu melahirkan produk-produk budaya yang dapat berhasil guna.
Keramahtamahan, peduli, gotong royong dan sikap toleran masyarakat Kuningan yang diajarkan di tempat-tempat suci dan lembaga pendidikan seyogyanya di ekspose ke publik dalam wajah santun supir angkot, bus, dan kusir delman, pelayan toko jajanan (pramuniaga) Kuningan, pelayan hotel, pelayan tempat wisata dan seluruh elemen masyarakat Kuningan dilengkapi pakaian Sunda khas Kuningan yang bernuansa religius.
Pada moment tertentu, pemerintah daerah dapat memfasilitasi berbagai ekspose budaya lokal seperti upacara kawin cai di Cibulan, Upacara adat seren taun Kaharingan di Cigugur, Muludan Akbar Forum Santri dan sebagainya. Berbagai potensi ini dapat dikembangkan dalam proses pemberdayaan.
Paradigma Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan yaitu yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable” (Hafsah: 2006).
People centered merupakan tatanan kepemerintahan yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan masyarakat dan dalam prosesnya pun dominan dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat diposisikan sebagai pemeran utama dalam melakukan pengambilan keputusan, pelaksanaan program dan kegiatan sekaligus pengawasan dan pertanggungjawaban secara terbuka dilakukan oleh dari dan untuk masyarakat.
Konsepsi people centered ini relevan dengan ruh demokrasi yang juga mensyaratkan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan setiap harapan dan cita-cita masyarakat itu sendiri. Tentunya, proses tersebut akan sulit dilakukan tanpa cara-cara tertentu bahkan metodologi tertentu. Oleh karena itu empowering menjadi mutlak dilakukan sebagai perangkat metode-metode yang dapat memudahkan masyarakat dalam mewujudkan harapan dan cita-citanya.
Syarat lain yang tidak kalah penting adalah bagaimana konsep people centered, participatory dan empowering itu diketahui, dipahami dan tersosialisasikan secara merata kepada masyarakat, maka dalam paradigma baru pembangunan juga mensyaratkan sustainability atau keberlanjutan proses dalam setiap ruang dan waktu. Pada proses ini, masyarakat akan melakukan pembangunan melalui siklus program yang pada proses pelakasanaannya melalui tahapan-tahapan tertentu yang dirancang secara sustainable.
Pada kenyataan proses pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya, terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat dan bahkan pada negara yang menganut theisme akan mengembalikan pada nilai-nilai ketuhanan atau dalam konsep Islam disebut sebagai nilai-nilai ilahiyah.
Goals atau tujuan pemberdayaan seringkali ditujukan untuk mengangkat orang miskin supaya keluar dari kemiskinannya. Padahal lebih daripada itu, pemberdayaan bertujuan mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan dengan kata lain pemberdayaan adalah proses pendidikan secara terbuka dalam kehidupan bermasyarakat yang berujung pada upaya memanusiakan manusia. Adapun secara khusus, yang menjadi tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidakberdayaan.
Adapun pengelompokan yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah atau tidak berdaya meliputi; pertama, kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender maupun etnis. Kedua, kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing. Ketiga, kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah pribadi atau keluarga.
Namun pemberdayaan kelompok lemah tersebut tetap bukan tujuan utama, karena dalam konteks pemberdayaan mutlak untuk melibatkan seluruh komponen untuk turut berpartisipasi menanggulangi masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat. Sehingga, kemiskinan, kebodohan, masyarakat marginal dan sebagainya hanya menjadi pemicu untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
Kecil-kecil Kuda Kuningan
Tidak diketahui siapa dan kapan adagium ini muncul ditengah masyarakat Kuningan. Namun yang pasti bahwa faktanya Kuningan adalah kota kuda karena tiga alasan pertama memang populasi kuda tetap banyak dalam keramaian alat transportasi modern seperti mobil dan motor.
Kedua, memang ada gambar kuda dalam logo kabupaten Kuningan yang menandakan ada alasan dibalik munculnya gambar kuda jengke dalam logo tersebut.
Ketiga, secara historis, dalam telusur sejarah Kuningan, ada tokoh bernama Adipati Kuningan yang memiliki kuda bernama Si Windu yang konon memiliki postur tubuh yang kecil tapi berpenampilan tegap dan sangat kuat bahkan katanya bisa lompat sangat jauh seperti terbang.
Dalam konteks kekinian, fenomena kuda Kuningan dapat direaktualisasi dalam bentuk produk budaya dengan proses pemberdayaan para peternak dan pemilik kuda termasuk para pemanfaat dan pengguna tenaga kuda pada alat transportasi delman, kereta kuda, atau keretek.
Delman yang berkeliaran di kota Kuningan sebaiknya difasilitasi baik kusir dan delman yang ramah lingkungan dan jalur lintasannya seperti busway di Jakarta. Suasana seperti ini diyakini akan sangat diminati oleh para wisatawan baik lokal maupun internasional, apalagi jika para kusir delman diberi pakaian adat Kuningan serta diberi keterampilan khusus dalam penyampaian pesan mengenai sejarah Kuningan dengan penguasaan bahasa Sunda dan Bahasa Inggris.
Jalur delman dirancang bukan hanya di pusat kota, tapi di beberapa titik wisata yang memungkinkan untuk dilalui moda transportasi tradisional ini. Tidak berhenti sebatas alat transportasi, kotoran kuda (peces) yang terkumpul di bagasi delman, ditampung pada tempat-tempat khusus yang siap diangkut oleh petugas ke tempat-tempat pengolahan biogas rumah tangga, dan ampas biogasnya dapat dimanfaatkan menjadi pupuk organik oleh para petani.
Betapa sederhana gagasaan ini, namun betapa berat perjuangan dan pengorbanan yang harus dihadapi. Jika pemerintah daerah, masyarakat dan pihak swasta dapat mewujudkan satu program ini saja, saya meyakini dapat menjadi daya tawar bagi pemerintah Kabupaten Kuningan di kancah nasional dan internasional.
Wallahu a’lam....
*Disampaikan pada Simak Kamuning, 1 Maret 2017
**Ketua Umum KMK Bandung tahun 2000-2001, Dosen Prodi PMI Fidkom UIN Sunan Gunung Djati Bandung
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.