oleh: Tendi Chaskey
Penulis adalah Orang Kuningan, Alumnus Intercultural Leadership Camp Programme, Victoria University of Wellington, New Zealand. Saat ini tengah menempuh Program Doktoral.
suarakuningan.com - Sebelum Kuningan bermetamorfosa menjadi sebuah kabupaten pada tahun 1819, wilayah yang terletak di timur Gunung Ciremai itu terbagi ke dalam beberapa satuan wilayah yang dinamakan sebagai distrik.
Distrik-distrik tersebut berperan sebagai pusat administrasi yang membawahi sejumlah desa yang secara umum letaknya berdekatan satu sama lain. Di atas baris distrik dalam bagan struktur pemerintahan, terdapat Kesultanan Cirebon yang berposisi sebagai kekuasaan lokal/pribumi (inlaandsche bestuur) tertinggi.
Distrik-distrik yang telah ada sebelum berdirinya kabupaten itu di antaranya adalah Distrik Kuningan, Distrik Linggarjati, Distrik Cikaso, dan Distrik Gebang.
Di antara semua distrik tersebut, yang paling menarik untuk didalami perkembangannya adalah Distrik Gebang karena posisi wilayah ini secara geografis amat jauh dari pusat Kuningan dan saat ini masuk ke dalam wilayah satuan administratif Cirebon. Padahal sebelum dua dekade awal abad ke-19 itu, Gebang menjadi sentra pemerintahan bagi sebagian wilayah Kuningan timur saat ini, seperti daerah-daerah Cidahu, Kalimanggis, Ciawigebang, dan Luragung.
Dalam History of Java, Thomas S. Raffles menulis bahwa pada tahun 1815 dari seluruh 12 distrik Cirebon yang berpenduduk sekitar 213.658 orang, keempat distrik yang membawahi wilayah-wilayah Kuningan itu memiliki lahan sawah dan tegalan yang cukup luas. “Kuningan memiliki total lahan sawah dan tegalan sekitar 1157, Linggarjati memiliki luas sekitar 554, Cikaso 1011, dan Gebang 614,” tulis Raffles.
Dalam konteks kewilayahan tersebut, sosok bangsawan bergelar tumenggung memiliki peranan vital. “Satuan distrik administratif itu dipimpin oleh seorang bangsawan dengan gelar tumenggung,” tulis Kern dalam Geschiedenis der Preanger-Regentscahppen, kort overzicht.
Istilah tumenggung sendiri telah berkembang sejak lama sebagai sebuah gelar yang identik dengan suatu jabatan tertentu dalam struktur pemerintahan. Di jaman Majapahit, ada gelar Rakryan Tumenggung yang berperan sebagai pejabat pelaksana pemerintahan bidang militer dan memiliki tugas untuk mengatur para senopati (kepala pasukan kerajaan). Gelar jabatan itu terus bertahan hingga masa Mataram Islam. Di era yang selanjutnya, gelar kebangsawanan tumenggung dianugerahkan kepada para kepala daerah (distrik) dan juga bupati.
Bagaimanapun posisi dan pergeseran perananannya dalam struktur pemerintahan, yang jelas para tumenggung itu merupakan orang-orang yang terhormat di tengah masyarakat. “Jabatan tumenggung diduduki oleh orang-orang terpandang saja,” ungkap Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 1500-1900: Dari Emporium sampai Imperium.
Selain adanya sosok-sosok tumenggung yang memimpin di Distrik Kuningan, Linggarjati, Cikaso, dan Gebang, pemerintah kolonial juga mengangkat seperangkat pengurus pemerintahan lain yang seluruh mekanismenya diserahkan kepada jajaran Kesultanan Cirebon. Selain adanya pejabat yang bergelar tumenggung, berdasarkan ketentuan yang diterbitkan pada tanggal 7 April 1809 oleh pemerintahan Daendels, diketahui jabatan-jabatan lainnya.
“Jabatan-jabatan yang penggajiannya diperoleh dari tanah ketiga sultan Cirebon itu adalah bupati “luar”, bupati “dalam”, tumenggung distrik, pangeran, kliwong, pejabat pengadilan negeri, demang besar, ketip, jaksa, mantri, moedin, prenta atau petingi, kepala lurah, sipir, dan opas,” tulis van der Chijs dalam Geschiedenis van de Gouvernements thee-cultuur op Java, zamengesteld voornamelijk uit officieele bronnen.
Seluruh perangkat pemerintahan yang telah ada sejak kerajaan tradisional Cirebon dan Mataram itu kemudian dimatangkan pada awal abad ke-19 melalui kebijakan pemerintah kolonial, dan di tingkat distrik dipimpin secara langsung oleh para tumenggung.
Di masing-masing distrik, jajaran tumenggung itu memiliki tugas untuk mensukseskan segala kebijakan pemerintah kolonial yang kemudian beralih cepat dari tangan rezim pemerintahan Bataaf, pemerintahan Inggris, dan pemerintahan Belanda. Meski memiliki peran sebagai kepala pribumi, sebenarnya posisi mereka adalah kepanjangan tangan pemerintah kolonial yang bertugas sebagai cultural and economical broker (makelar budaya dan ekonomi).
Meskipun di era kolonial kedekatan para tumenggung dengan pihak penguasa amat kentara dan tidak dapat terbantahkan, namun tidak sedikit pula di antara mereka yang mengambil posisi berseberangan dan bahkan berupaya untuk melawan eksistensi para penjajah tersebut. Namun demikian, jurang kesenjangan ataupun perbedaan perlengkapan senjata dan kemahiran strategi yang sangat lebar di antara kedua belah pihak membuat kemenangan sulit diraih oleh para pemimpin lokal pribumi.***
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.