oleh: Tendi Chaskey
Penulis adalah Orang Kuningan, Alumnus Intercultural Leadership Camp Programme, Victoria University of Wellington, New Zealand. Saat ini tengah menempuh Program Doktoral.
Tidak banyak orang yang mampu mengharumkan daerah asal ataupun wilayah yang pernah ditinggalinya, baik itu di tingkat nasional atau bahkan di tingkat regional dan internasional. Terlebih apabila hal itu dilakukan di Zaman Kolonial Hindia Belanda yang dikenal sangat diskriminatif terhadap orang-orang pribumi, maka kesempatan untuk melakukannya tentu sangat kecil sekali.
Namun di tengah kemungkinan yang amat kecil pada masa penjajahan itu, ternyata muncul beberapa nama yang justeru bisa melakukannya. Salah satunya adalah nama Maria Ulfah, sarjana hukum perempuan pribumi pertama di Belanda. Sosok mengagumkan yang kemudian menjadi menteri sosial pertama Republik Indonesia itu adalah salah satu putri dari Bupati (regent) Kuningan di zaman kolonial, Raden Mochamad Achmad.
Walaupun masyhur sebagai putri dari Bupati Kuningan yang sangat visioner dan moderat, sebenarnya Maria Ulfah tidak berdarah murni Kuningan dan ia pun tidak dilahirkan di lembah timur Ciremai, melainkan di daerah Banten. Dalam Maria Ulfah Subadio Pembela Kaummnya, Gadis Rasid menulis bahwa “Maria Ulfah lahir di daerah Banten yaitu di Kota Serang, pada tanggal 18 Agustus 1911.”
Darah bangsawan mengalir deras dalam tubuh Maria Ulfah karena ia merupakan putri dari Raden Ayu Hadidjah Djajadiningrat, menak terkenal dari Banten. Ayahnya sendiri, Raden Mochamad Achmad, adalah seorang pamong praja pemerintahan kolonial, yang pada masa mudanya berkesempatan untuk menempuh studi di lembaga pendidikan borjuis kolonial pada masa itu, Hogere Burger School (HBS).
Dalam catatan ANRI, Sejarah Lisan Tahun 1973-1994, No. 154, Maria Ulfah mengungkapkan bahwa, “meski jalan hidup ayahnya (Raden Mochamad Achmad) itu menghantarkan dirinya menjadi seorang pamong praja, namun sebenarnya sang bupati lebih berkeingingan menjadi seorang officer saja.”
Maria Ulfah adalah anak kedua dari empat bersaudara, namun karena kakaknya telah meninggal lebih dulu, maka banyak orang beranggapan bahwa sosok perempuan ceras itu adalah anak yang tertua dari Raden Mochamad Achmad dan R.A. Hadidjah Djajadiningrat. Salah satu contohnya termaktub dalam “Panggil Dia Itje” yang dimuat Historia karya Bonnie Triyana, “Maria Ulfah adalah anak pertama dari tiga bersaudara.”
Dengan latar belakang keluarga yang berpendidikan dan moderat, Maria Ulfah berkembang dengan baik dan diberi kebebasan memilih studi oleh kedua orang tuanya. Ia memulai pendidikan dasar di Rangkasbitung, yang kemudian dilanjutkan di Eerste School Cikini, lalu Willemslaan dan berakhir di sekolah K.W. III (Koning Willem III). Di K.W. III, tidak sembarang anak priyayi bisa masuk kesana.
Selain harus memiliki garis darah bangsawan, dituntut pula memiliki kecerdasan yang mumpuni dan Maria Ulfah termasuk salah satu orang yang memenuhi kriteria tersebut. Pada masa itu, pendidikan yang paling baik dan juga terjamin kualitasnya memang berada di lembaga-lembaga pendidikan Belanda. “Sekolah Belanda pada mulanya dirintis di tahun 1817 di Batavia, yang kemudian pembukaannya menyusul di kota-kota Jawa lainnya,” tulis S. Nasution dalam Sejarah Pendidikan Indonesia.
Dalam In Het land van de Overheerser I-Indonesiers in nederland 1600-1950, Harry A. Poeze mengungkapkan bahwa “pada tahun 1929, Raden Mochamad Achmad dikirim belajar oleh pemerintah kolonial ke Den Haag untuk memelajari masalah perkoperasian dan membuat laporan tentangnya.” Saat itu, Maria Ulfah turut menemani sang ayah dan melanjutkan kuliah di Leiden.
Ketika setahun kemudian Raden Mochamad Achmad pulang ke tanah air, Maria Ulfah tidak ikut dan malah menetap guna melanjutkan studinya. Di Belanda, Maria Ulfah aktif dalam beberapa kegiatan dan komunitas.
“Ia pernah mengikuti pertemuan Liga Anti Kolonialisme dan bertemu Jef Last,” tulis Gadis Rasid dalam Maria Ulfah Subadio Pembela Kaummnya. Selain itu, “ia juga pernah menjadi anggota perhimpunan mahasiswa Leiden (Vereeniging van Vrouwelijke Studenten Leiden yang disingkat VVSL),” lanjut Harry A. Poeze. Meski demikian, Maria Ulfah tetap menjaga aktivitas pergerakannya dalam batas-batas tertentu mengingat jabatan publik yang disandang sang ayah di tanah Hindia Belanda.
Maria Ulfah lulus pada bulan Juni 1933 dari Fakultas Hukum Universitas Leiden dan mengabadikan namanya sebagai ahli hukum perempuan Indonesia pertama yang lulus dari Leiden. Ia mengenang dengan baik tanggal kelulusannya itu sebagaimana ditulisnya dalam “Bung Sjahrir” yang merupakan salah satu tulisan dalam buku Mengenang Sjahrir. Saat berhasil menamatkan studinya itu, pelbagai surat kabar menuliskan prestasinya sebagai salah satu perintis dan tokoh penting perempuan Hindia Belanda.
Ketika Indonesia telah merdeka, Maria Ulfah diangkat oleh Soekarno sebagai Menteri Sosial pertama. Dengan posisi prestisiusnya itu, namanya semakin harum di mata dunia. Terlebih pada masa revolusi kemerdekaan, Maria Ulfah memiliki andil dalam memperlancar perundingan Indonesia dan Belanda.
Di samping itu, ia juga turut mengangkat nama Kuningan ke pentas internasional karena memosisikan Linggajati, salah satu desa di kabupaten itu, sebagai tempat perundingan bersejarah bagi hubungan dilematis antara Indonesia dengan Belanda.***
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.