Saya sangat kagum dengan sertifikasi khatib yang diterapkan di Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Di sana khatib-khatib jumát diharuskan untuk memiliki sertifikat yang akan menentukan dimana ia boleh berkhutbah dan berapa honorariumnya. Ada tiga tipologi khatib, yaitu khatib desa, khatib kecamatan dan khatib Kotamadya. Masing-masing tingkatan akan diberikan honorium yang sama dan ditransfer ke rekening khatib tersebut.
Sertifikasi khatib sendiri dilakukan oleh MUI dan ormas Islam. Adapun pemerintah hanya memfasilitasi dan memayungi dengan regulasi. Kebijakan ini secara tidak langsung mendorong partisipasi publik dalam pembangunan, khususnya bidang agama. Hal ini menegaskan bahwa keberpihakan terhadap agama tidak harus secara simbolik, akan tetapi terukur, sistematis dan berdampak secara sosial.
Kota Batam adalah gambaran kecil tentang arti kebijakan publik. Sebuah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah telah mendorong partisipasi publik yang sangat luas. Kebijakan ini telah menarik masyarakat agama, dalam hal ini MUI, Ormas Islam dan para pelaku dakwah, untuk berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya melalui bahasa agama. Dalam konteks ini, sebuah kebijakan publik akan dilihat sejauhmana berdampak dan mendorong partisipasi publik yang lebih luas.
Hal ini menjadi autokritik kita terhadap politisasi agama yang “kerap” muncul dalam momentum even perpolitikan. Bagi mereka yang meyakini politik sebagai program jangka pendek untuk meraih kekuasaan, maka jargon dan simbolik dipilih untuk membangun citra kesalehan. Sebaliknya, politik yang dimaknai sebagai spirit menciptakan kebijakan yang berkesinambungan dan berdampak bagi umat beragama, maka akan lahir kebijakan-kebijakan yang dapat memayungi partisipasi publik dalam pembangunan.
Etika Islam Tentang Layanan Publik
Bagi setiap muslim, bekerja itu adalah ibadah, maka pekerjaan itu harus bernilai sebagai amal saleh. Dalam al-Qurán, istilah “amal saleh” disandingkan dengan frasa “iman””. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat al-Ashar (QS. al-`Ashr: 1-3), dan juga surat at-Tiin, amal saleh disandingkan dengan iman (QS. at-Tin: 1-8).
Selain di dua surat tersebut, persandingan antara dua kata tersebut juga terjadi di 71 ayat. Menurut para ahli tafsir, hal ini menegaskan bahwa iman dan amal saleh adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Mereka yang beriman juga seharusnya menjabarkan keimanannya dalam perilaku positif di kehidupannya. Dalam istilah lain, bagi mereka yang telah beriman secara utuh, maka ia akan mewakafkan hidupnya untuk menciptakan rasa aman, damai dan berbagai kebaikan bagi lingkungan dan kehidupannya.
Konsep “Amal saleh” dijabarkan dalam birokrasi sebagai pengambilan kebijakan yang menjunjung tinggi profesionalitas, netralitas dan tanggung jawab. Seorang aparatur negara harus bekerja untuk memastikan masyarakat mendapat layanan publik, seperti akses pendidikan, kesehatan, ekonomi bahkan politik.
Dalam sejarah kekhalifahan, telah banyak narasi yang menggambarkan bagaimana perilaku terpuji keempat khalifah pasca Rasulllah SAW wafat. Abu Bakar, Umar, Utsman hingga Ali, kesemuanya menjalankan fungsi pelayanan secara komperehensif. Abu Bakar di awal kepemimpinannya memberikan besar terhadap hak orang miskin dalam memperoleh akses bantuan. Hal itu diwujudkan dengan perintahnya untuk mengambil zakat dari mereka yang sudah nisab namun enggan menunaikan zakatnya. Zakat yang terkumpul itu kemudian didistribusikan kepada orang-orang miskin dalam konsep layanan yang cepat dan mudah.
Begitu pula dengan Umar ibn Khattab, di mana dikisahkan ia harus membawa sendiri bahan makanan untuk dibagikan kepada fakir miskin yang hidup dalam kekurangan. Utsman bin Affan dikenal dengan kebijakannya dalam membukukan al-Qurán, sebuah langkah yang bertujuan agar umat Islam di luar jazirah arab memiliki akses terhadap al-Qur’an. al-Qurán yang telah disusun dengan standar itu dikenal dengan sebutan rasm utsmani.
Sementara Ali bin Abi Thalib juga tercatat dengan langkah besarnya dalam memberikan akses pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat saat itu. Kesemuanya menegaskan bahwa negara, dalam hal ini dapat dimaknai dengan birokrasi, hadir bukan dalam rangka memperkaya diri, mengeruk keuntungan atau meraih status sosial, akan tetapi hadir untuk memberikan layanan publik terbaik.
Layanan publik merupakan semangat Islam sebagaimana telah dicontohkan oleh para khalifah. Layanan publik adalah penjabaran dari semangat amal saleh, di dalamnya tersimpan spirit yang bernilai lebih bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Layanan publik dengan spirit amal saleh akan membawa dampak besar terhadap kualitas kehidupan masyarakat.
Dari Pinggiran
Saya menyaksikan sendiri betapa susahnya mengurus dokumen kependudukan, misalnya KTP, akta lahir atau surat-surat tanah. Bukan hanya harus bolak balik ke beberapa tempat dan menghabiskan waktu, tak jarang juga harus mengorbankan emosi karena tidak ada kepastian kapan akan selesai. “Kepastian” merupakan sesuatu yang amat mahal diperoleh. Padahal, bagi masyarakat, kepastian adalah sesuatu yang amat dibutuhkan, agar mereka bisa segera berbagi waktu mengurus yang lainnya. Maklum, mereka itu pekerja di ladang yang harus dijaga dari rongrongan babi hutan atau hama.
Membangun kuningan haruslah dari pinggiran.
Masyarakat pinggiran, mereka yang hidup di kampung-kampung, tak memiliki waktu dan uang untuk mengurus dokumen, mereka yang tak memiliki pemahaman utuh tentang dokumen kependudukan, mereka harus diberikan layanan yang cepat, mudah dan berkepastian. Pembuatan akta lahir misalnya, saya membayangkan anak-anak yang baru lahir bisa segera mendapatkan akta lahir, tanpa harus mondar mandir ke kelurahan dan kecamatan. Dengan teknologi, integrasi data dapat dilakukan, dan itu artinya akan memotong waktu birokrasi.
Birokrasi harus hadir di tengah-tengah masyarakat. Paradigma birokrasi saat ini masih menempatkan publik sebagai pihak yang berkepentingan. Akibatnya cukup fatal, dimana alur birokrasi layanan menjadi berjenjang, kepastian waktu tak menentu, dan tak jarang harus mengeluarkan pelicin agar cepat dikerjakan. Birokrasi dalam konteks ini tak ubahnya warung makan, anda butuh silahkan datang dan bayar.
Paradigma ini harus dibalik, birokrasi hadir untuk melayani dan publik wajib mendapatkan seluruh dokumen dimaksud. Paradigma ini mengharuskan birokrasi hadir dengan berbagai inovasi layanan yang cepat, murah dan transparan. Bila perlu, mereka yang di ladang-ladang disiapkan layanan khusus pengurusan dokumen, tidak lagi harus meninggalkan ladang-ladang yang tengah menghijau.
Penerapan NIK sebagai singgle identity dalam layanan publik adalah satu di antara proses menuju layanan publik yang cepat, murah dan transparan. Untuk membuat akta lahir anak misalnya, tak pelru lagi surat pengantar dari RT, RW, Kelurahan. Cukup dengan menyerahkan NIK orang tua, dokumen kependudukannya akan langsung muncul.
Saya lebih tertarik jika para tokoh agama, praktisi maupun organisasi kepemudaan mendorong lahirnya kebijakan publik yang akan berdampak luas terhadap layanan publik. Dan saya lebih tertarik lagi jika birokrasi menginisiasi lahirnya inovasi layanan yang akan mendorong partisipasi publik lebih luas. Wallahu a’lam bishowab.***
Cibingbin, Januari 2018
Penulis: Jaja Zarkasyi (Warga Cibingbin Pinggir)
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.