Mulangkeun Ka Sarakan Pangbalikanana
Kang Yayan
Kang Yayan
Gandrung Mulasara merupakan sebuah rangkaian kata yang sering kita dengar, namun kebanyakan dari kita masih tabu dalam arti makna yang sebenarnya. Mari kita bedah secara penuh kesadaran dengan nalar dan logika kita sebagai manusia yang mampu memilih makna dan menentukan yang hak dan yang batil.
Kata Gandrung berasal dari bahasa Sansakerta yang menjadi serapan ke dalam bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia. Gandrung memiliki arti kasmaran atau jatuh cinta, jika kita membedah KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Gandrung memiliki arti sangat rindu atau tergila-gila karena cinta. Jadi, apa yang kita rindukan? dan kepada siapa kita tergila-gila ?. Serta pada apa kita jatuh cinta ?.
Mulasara atau pulasara memiliki arti memelihara atau mengurus, kata ini sering identik dengan jenazah atau orang yang sudah mati. Jika kita gabungkan dalam untaian kalimat gandrung mulasara memiliki arti memelihara dengan penuh rasa cinta. Jika kita pandang dengan arti yang luas, Gandrung mulasara bermakna memelihara dengan penuh kesadaran dan bersungguh-sungguh dalam menjalankannya.
Mari kita fokuskan pikiran kita dengan kesadaran kita, mulangkeun ka sarakan pangbalikannana memiliki makna yang sangat dalam, bukan hanya asal kembali tetapi kembali ke asal atau ke tempat asal, yakni lemah cai, tempat kita pertama kali menginjak tanah, menghirup angin, meminum air dan di sinari oleh cahaya matahari.
Mulangkeun artinya mengembalikan. Apa yang harus dikembalikan ?. Yang harus dikembalikan adalah diri kita ke asalnya, namun darimana asalnya diri ?. Diri ini berasal dari tanahnya, diri ini berasal dari anginnya, diri ini berasala dari airnya dan diri ini berasal dari cahayanya. Harus kemana diri ini kembali?, ke sarakan pangbalikan yakni tempat kita kembali ke Dzat yang sejati dan abadi yang mengatur dunia dengan segala kuasanya.
Kita hari ini sedang tersesat, tersesat dalam perjalan hidup kita masing-masing. Tersesat karena tidak mengenal Sifat-Nya, tersesat karena tidak mengenal Asma-Nya. Bahkan kita tersesat karena tidak mengenal diri kita sendiri.
Perjalanan kita hari ini sudah tidak mengikuti kesadaran diri, perjalanan hari tidak terlihat dan tidak terasa. Kita sudah menjauh dari tuntunan dan ajaran kehidupan yang sesungguhnya. Bahkan kita sudah memisahkan diri dari ajaran kehidupan yang ada di hamparan sekeliling kita. Ilmu yang kita cari dan kumpulkan hanya akan menjadi sia-sia dan tidak akan ditemukan pangkal ujungnya, bahkan kebahagiaan yang kita impikan akan sirna di persimpangan perjalanan kehidupan kita.
Jika kita tidak berusaha Gandrung mulasara untuk mengembalikan diri ini ke sarakan pangbalikan, maka impian hanya akan menjadi hiasan imajinasi dan pikiran saja. Jika sudah seperti ini perjalanan kita tidak bedah jauh dengan pepatah sepuhterdahulu "tunggul teu sirungan, tangkat teu akaran". Manusia yang berilmu namun tidak dapat mengetahui ilmunya sehingga kebingungan untuk mengamalkannya "linuhung ku elmu jembar ku pangabisa" hanya sebatas teman perjalanan dalam relung kerapuhan.
Bukan hanya perjalanan lahir yang harus dikembalikan keasalnya, namun perjalanan batin juga tak kalah penting, haruslah bisa mengakomodir lahir batin sehingga bisa saling bersamaan pulang ke tempat asalnya.
Kita harus berhenti bernafas dalam beberapa waktu, untuk menghentikan segala perjalanan yang kita lalui saat ini, menarik kesadaran kita untuk hadir dalam diri dan mengikat seluruh sendi-sendi kehidupan yang telah terlalui.
Alam yang menjadi lemah cai dan segala isinya merupakan sumber ilmu yang selama ini kita lupakan bersama-sama. Hamparan alam semesta memanggil setiap insan untuk segera kembali, kembali memelihara dengan penuh kesadaran karena kita adalah umat "bungsu", yakni manusia akhir zaman yang yang sudah menjauh dari Dzat yang maha sejati.
Nampaknya, perjalan kita harus selesai sampai disini, kita harus kembali ke asal yang sejati, tuntunan aturan yang hakiki, panutan yang terpuji untuk memulai perjalan baru, berjalan dengan kesadarab dan mengikuti gerak batin seperti apa yang sudah di contohkan oleh airnya. Kita haris mengmulangkan diri kita lahir maupun batin ke tempat darimana kita berasal atau hidup kita tak ubanhya seperti tunggul yakni manusia yang tak berguna bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.
Gandrung mulasara mulangkeun ka sarakan pangbalikanana diri balik ka asal jang medar lalampahan anyar.***
Mari kita fokuskan pikiran kita dengan kesadaran kita, mulangkeun ka sarakan pangbalikannana memiliki makna yang sangat dalam, bukan hanya asal kembali tetapi kembali ke asal atau ke tempat asal, yakni lemah cai, tempat kita pertama kali menginjak tanah, menghirup angin, meminum air dan di sinari oleh cahaya matahari.
Mulangkeun artinya mengembalikan. Apa yang harus dikembalikan ?. Yang harus dikembalikan adalah diri kita ke asalnya, namun darimana asalnya diri ?. Diri ini berasal dari tanahnya, diri ini berasal dari anginnya, diri ini berasala dari airnya dan diri ini berasal dari cahayanya. Harus kemana diri ini kembali?, ke sarakan pangbalikan yakni tempat kita kembali ke Dzat yang sejati dan abadi yang mengatur dunia dengan segala kuasanya.
Kita hari ini sedang tersesat, tersesat dalam perjalan hidup kita masing-masing. Tersesat karena tidak mengenal Sifat-Nya, tersesat karena tidak mengenal Asma-Nya. Bahkan kita tersesat karena tidak mengenal diri kita sendiri.
Perjalanan kita hari ini sudah tidak mengikuti kesadaran diri, perjalanan hari tidak terlihat dan tidak terasa. Kita sudah menjauh dari tuntunan dan ajaran kehidupan yang sesungguhnya. Bahkan kita sudah memisahkan diri dari ajaran kehidupan yang ada di hamparan sekeliling kita. Ilmu yang kita cari dan kumpulkan hanya akan menjadi sia-sia dan tidak akan ditemukan pangkal ujungnya, bahkan kebahagiaan yang kita impikan akan sirna di persimpangan perjalanan kehidupan kita.
Jika kita tidak berusaha Gandrung mulasara untuk mengembalikan diri ini ke sarakan pangbalikan, maka impian hanya akan menjadi hiasan imajinasi dan pikiran saja. Jika sudah seperti ini perjalanan kita tidak bedah jauh dengan pepatah sepuhterdahulu "tunggul teu sirungan, tangkat teu akaran". Manusia yang berilmu namun tidak dapat mengetahui ilmunya sehingga kebingungan untuk mengamalkannya "linuhung ku elmu jembar ku pangabisa" hanya sebatas teman perjalanan dalam relung kerapuhan.
Bukan hanya perjalanan lahir yang harus dikembalikan keasalnya, namun perjalanan batin juga tak kalah penting, haruslah bisa mengakomodir lahir batin sehingga bisa saling bersamaan pulang ke tempat asalnya.
Kita harus berhenti bernafas dalam beberapa waktu, untuk menghentikan segala perjalanan yang kita lalui saat ini, menarik kesadaran kita untuk hadir dalam diri dan mengikat seluruh sendi-sendi kehidupan yang telah terlalui.
Alam yang menjadi lemah cai dan segala isinya merupakan sumber ilmu yang selama ini kita lupakan bersama-sama. Hamparan alam semesta memanggil setiap insan untuk segera kembali, kembali memelihara dengan penuh kesadaran karena kita adalah umat "bungsu", yakni manusia akhir zaman yang yang sudah menjauh dari Dzat yang maha sejati.
Nampaknya, perjalan kita harus selesai sampai disini, kita harus kembali ke asal yang sejati, tuntunan aturan yang hakiki, panutan yang terpuji untuk memulai perjalan baru, berjalan dengan kesadarab dan mengikuti gerak batin seperti apa yang sudah di contohkan oleh airnya. Kita haris mengmulangkan diri kita lahir maupun batin ke tempat darimana kita berasal atau hidup kita tak ubanhya seperti tunggul yakni manusia yang tak berguna bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.
Gandrung mulasara mulangkeun ka sarakan pangbalikanana diri balik ka asal jang medar lalampahan anyar.***
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.