Oleh: Kang Sofwan
(Pengurus PC IPNU Kuningan, Departemen Dakwah & Kajian Keislaman)
suarakuningan.com - Mahar adalah sebuah keharusan dalam suatu akad nikah adanya mahar atau sering kita mengenalnya dengan istilah mas kawin. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah mahar diartikan sebagai pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.
Mahar merupakan simbol penghargaan seorang laki-laki kepada perempuan yang akan dinikahinya. Karenanya seorang laki-laki mestinya memberi mahar dengan patut menurut kelayakan sebuah penghargaan. Yang dimaksud penghargaan di sini bukan lantas menjadikan wanita sebagai suatu komoditas, tetapi lebih kepada bentuk penghormatan kepada pasangan yang bersedia menerima seorang laki-laki untuk dijadikannya sebagai pasangan hidup. Dalam konteks lain bahwa mahar adalah ungkapan nyata keseriusan seorang laki-laki untuk menikahi wanita.
Tidak ada batasan maksimal dan minimal dalam pemberian mahar, ia diukur menurut kepatutan, kesanggupan dan kesepakatan kedua belah pihak. Pun demikian dengan jenis dan bentuknya, disesuaikan pada kesepakatan bersama. Sebagai mana disebutkan dalam KHI Pasal 30:
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Allah SWT juga memberikan penjelasannya sebagai berikut.
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisā 4 : 4)
Bahwa pemberian mahar selain sebagai syarat sahnya akad nikah juga harus didasarkan pada asas kerelaan dan keikhlasan, maka harus disesuaikam dengan kesepakatan kedua belah pihak. Tidak selalu didasarkan pada kebiasaan atau adat (urf) karena dalam daerah tertentu terkadang mahar justru memberatkan laki-laki dalam membayarnya karena kesepakatan adat telah menetapkannya. Akibatnya dalam prakteknya tidak sedikit yang gagal melangsungkan akad nikah hanya karena tidak mampu membayar mahar.
Islam memberikan kebijakan dalam hal ini, artinya tidak ada keharuskan pada jumlah tertentu dalam membayar mahar. Karena itu dalam dalam besaran atau kadar yang baik adalah seperti yang diisyaratkan oleh Nabi SAW dalam haditsnya yang dinyatakan shahih berdasarkan syarat Bukhari Muslim:
“Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah (ringan)” (H.R. Al-Hakim: 2692)
KHI Pasal 31 juga telah meneybutkan bahwa penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Setiap laki-laki tentu mengharapkan untuk bisa memberi mahar dengan nilai terbaik, begitupun wanita menginginkan pemberian mahar yang terbaik. Selama keadaan dan kemampuan menunjang maka selama itu pula boleh, bahkan hal demikian adalah suatu kebaikan yang tidak bisa dinafiakan, karena Rasulullah SAW sendiri memberi maskawin kepada istri-istrinya berupa Uqiyah yang nilainya setara dengan lima ratus dirham.
Dari Siti Aisyah ketika ditanya, berapa maskawin Rasulullah SAW? Beliau menjawab: “Maskawin Rasulullah kepada istri-istrinya adalah dua belas setengah Uqiyah (nasya’ adalah setengah Uqiyah) yang sama dengan lima ratus dirham. Itulah maskawin Rasulullah kepada istri-istrinya.” (H.R. Muslim)
Dengan demikian juga kita berpatokan pada apa yang dicontohkan oleh Rasulullah maka keharusan kita memberi mahar adalah yang memiliki nilai lebih sehingga dinilai sebuah bentuk penghargaan dan kesungguhan.
Namun jika kita melihat realita masyaratkat sekarang tidak sedikit pemberian mahar itu tidak selazimnya emas, uang, harta dan barang berharga lainnya yaitu dengan hafalan Al-Qur’an. Bahkan sebagian masyarakat mengasumsikan bahwa jika mahar dengan hafalan Qur’an adalah mahar yang sangat istimewa, karenanya pula sebagai wanita merasa diistimewakan sekali oleh calon pasangannya. Lalu sebatulnya bagaimana Islam menyikapi realita masyarakat yang demikian? Berikut keterangan Rasulullah SAW:
Dari Sahal bin Sa’ad bahwa Nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata: “Ya Rasulallah kuserahkan diriku untukmu.” Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata: “Ya Rasulallah kawinkan dengan aku saja jika engkau tidak ingin menikahinya.” Rasulullah berkata, “Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar?” Dia berkata, “Tidak, kecuali sarungku ini” Nabi menjawab, “bila kau berikan sarungmu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu!” Dia berkata, “Aku tidak mendapatkan sesuatupun” Rasulullah berkata, “Carilah cincin dari besi!” Dia mencarinya lagi dan tidk juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi, “Apakah kamu menghafal Qur’an?” Dia menjawab, “Ya surat ini dan itu” sambil menyebutkan surat yang dihalnya. Berkata Nabi, “Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan Qur’anmu.” (H.R. Bukhari Muslim)
“Seandainya seseorang tidak memiliki sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh membayar mahar dengan mengajarkan ayat Al-Quran yang dihafalnya.” (H.R Abu Daud)
Dari sisi hukum maka mahar dengan hafalan Qur’an itu boleh, akan tetapi jika secara hirarkis maka mahar berupa hafalan ini menempati posisi paling bawah. Artinya mahar ini bisa digunakan jika dalam kondisi tidak mempunyai sesuatu apapun bahkan juga lebih rendah dari cincin emas dan sarung. Maka jika keadaan yang mencukupi sehingga bisa membayar mahar dengan kadar tertentu, emas misalkan maka sebaiknya berilah mahar berupa emas atau barang berharga lainnya yang bernilai. Memang mahar hafalan Al-Qur’an itu baik akan tetapi ada yang lebih baik dari itu, dengan catatan tidak memberatkan kepada laki-laki dan didasarkan pada kesepakatan bersama sehingga akan dengan suka rela seorang laki-laki akan membayarnya.
Disamping itu pula mahar berupa barang berharga akan membantu kebutuhan finansial pasangan secara lahiriah, yang dengannya seorang wanita yang telah menjadi istri bisa memanfaatkan maskawin/mahar tersebut untuk keperluannya atau menabungnya. Maka secara fisik mahar berupa barang berharga seharusnya lebih diutamakan.
Dengan demikian mahar yang terbaik adalah mahar yang didasarkan atas asas kerelaan melalui kesepakatan bersama dalam penentuan jenis, jumlah dan bentuknya. Adapun pandangan masyaratak yang menganggap bahwa mahar berupa hafalan Al-Qur’an itu adalah sesuatu yang istimewa sebatulnya merupakan paradigma masyarakat umum yang perlu diluruskan. Akan tetapi perlu disampaikan dengan benar sehingga tidak malah merubah sebaliknya yaitu menganggap mahar hafalan Al-Qur’an menjadi tidak boleh padahal sebenarnta diperbolehkan.
Wallahu a’lam.
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisā 4 : 4)
Bahwa pemberian mahar selain sebagai syarat sahnya akad nikah juga harus didasarkan pada asas kerelaan dan keikhlasan, maka harus disesuaikam dengan kesepakatan kedua belah pihak. Tidak selalu didasarkan pada kebiasaan atau adat (urf) karena dalam daerah tertentu terkadang mahar justru memberatkan laki-laki dalam membayarnya karena kesepakatan adat telah menetapkannya. Akibatnya dalam prakteknya tidak sedikit yang gagal melangsungkan akad nikah hanya karena tidak mampu membayar mahar.
Islam memberikan kebijakan dalam hal ini, artinya tidak ada keharuskan pada jumlah tertentu dalam membayar mahar. Karena itu dalam dalam besaran atau kadar yang baik adalah seperti yang diisyaratkan oleh Nabi SAW dalam haditsnya yang dinyatakan shahih berdasarkan syarat Bukhari Muslim:
“Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah (ringan)” (H.R. Al-Hakim: 2692)
KHI Pasal 31 juga telah meneybutkan bahwa penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Setiap laki-laki tentu mengharapkan untuk bisa memberi mahar dengan nilai terbaik, begitupun wanita menginginkan pemberian mahar yang terbaik. Selama keadaan dan kemampuan menunjang maka selama itu pula boleh, bahkan hal demikian adalah suatu kebaikan yang tidak bisa dinafiakan, karena Rasulullah SAW sendiri memberi maskawin kepada istri-istrinya berupa Uqiyah yang nilainya setara dengan lima ratus dirham.
Dari Siti Aisyah ketika ditanya, berapa maskawin Rasulullah SAW? Beliau menjawab: “Maskawin Rasulullah kepada istri-istrinya adalah dua belas setengah Uqiyah (nasya’ adalah setengah Uqiyah) yang sama dengan lima ratus dirham. Itulah maskawin Rasulullah kepada istri-istrinya.” (H.R. Muslim)
Dengan demikian juga kita berpatokan pada apa yang dicontohkan oleh Rasulullah maka keharusan kita memberi mahar adalah yang memiliki nilai lebih sehingga dinilai sebuah bentuk penghargaan dan kesungguhan.
Namun jika kita melihat realita masyaratkat sekarang tidak sedikit pemberian mahar itu tidak selazimnya emas, uang, harta dan barang berharga lainnya yaitu dengan hafalan Al-Qur’an. Bahkan sebagian masyarakat mengasumsikan bahwa jika mahar dengan hafalan Qur’an adalah mahar yang sangat istimewa, karenanya pula sebagai wanita merasa diistimewakan sekali oleh calon pasangannya. Lalu sebatulnya bagaimana Islam menyikapi realita masyarakat yang demikian? Berikut keterangan Rasulullah SAW:
Dari Sahal bin Sa’ad bahwa Nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata: “Ya Rasulallah kuserahkan diriku untukmu.” Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata: “Ya Rasulallah kawinkan dengan aku saja jika engkau tidak ingin menikahinya.” Rasulullah berkata, “Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar?” Dia berkata, “Tidak, kecuali sarungku ini” Nabi menjawab, “bila kau berikan sarungmu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu!” Dia berkata, “Aku tidak mendapatkan sesuatupun” Rasulullah berkata, “Carilah cincin dari besi!” Dia mencarinya lagi dan tidk juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi, “Apakah kamu menghafal Qur’an?” Dia menjawab, “Ya surat ini dan itu” sambil menyebutkan surat yang dihalnya. Berkata Nabi, “Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan Qur’anmu.” (H.R. Bukhari Muslim)
“Seandainya seseorang tidak memiliki sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh membayar mahar dengan mengajarkan ayat Al-Quran yang dihafalnya.” (H.R Abu Daud)
Dari sisi hukum maka mahar dengan hafalan Qur’an itu boleh, akan tetapi jika secara hirarkis maka mahar berupa hafalan ini menempati posisi paling bawah. Artinya mahar ini bisa digunakan jika dalam kondisi tidak mempunyai sesuatu apapun bahkan juga lebih rendah dari cincin emas dan sarung. Maka jika keadaan yang mencukupi sehingga bisa membayar mahar dengan kadar tertentu, emas misalkan maka sebaiknya berilah mahar berupa emas atau barang berharga lainnya yang bernilai. Memang mahar hafalan Al-Qur’an itu baik akan tetapi ada yang lebih baik dari itu, dengan catatan tidak memberatkan kepada laki-laki dan didasarkan pada kesepakatan bersama sehingga akan dengan suka rela seorang laki-laki akan membayarnya.
Disamping itu pula mahar berupa barang berharga akan membantu kebutuhan finansial pasangan secara lahiriah, yang dengannya seorang wanita yang telah menjadi istri bisa memanfaatkan maskawin/mahar tersebut untuk keperluannya atau menabungnya. Maka secara fisik mahar berupa barang berharga seharusnya lebih diutamakan.
Dengan demikian mahar yang terbaik adalah mahar yang didasarkan atas asas kerelaan melalui kesepakatan bersama dalam penentuan jenis, jumlah dan bentuknya. Adapun pandangan masyaratak yang menganggap bahwa mahar berupa hafalan Al-Qur’an itu adalah sesuatu yang istimewa sebatulnya merupakan paradigma masyarakat umum yang perlu diluruskan. Akan tetapi perlu disampaikan dengan benar sehingga tidak malah merubah sebaliknya yaitu menganggap mahar hafalan Al-Qur’an menjadi tidak boleh padahal sebenarnta diperbolehkan.
Wallahu a’lam.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.