suarakuningan.com - Rasanya Masih banyak yang ingat proses teciptanya KPK, terutama dalam konteks ketiadaan aturan hukum yang bisa jadi payung hukum terbentuknya sebuah badan/lembaga di luar instusi penegakan hukum yang telah ada saat itu. Masa dimana public sangat tidak percaya pada institusi hukum, terutama dalam pemberantasan kejahatan Korupsi. Tidak pada pihak kepolisian, juga pihak kejaksaan.
Tekanan public menguat, dan akhirnya final dijaman nya SBY. Dirintis bahkan sejak jaman Gus Dur, dan Megawati oleh para pegiat anti korupsi dan masyarakat luas yang akhirnya mendapat legitimasi politis secara public.
Lahirlah KPK. Lembaga yang sempat dianggap Superbody pada masanya.
Pengakuan Korupsi adalah Kejahatan (yg disamakan) Kemanusiaan. Kejahatan Luar Biasa. Jika mengikuti ego, maka hukuman pada pelaku korupsi mestinya adalah Hukuman Yang Luar Biasa pula.
Perasaan keadilan public sering kali terlukai oleh putusan hakim yang jatuh kepada para pelaku korupsi yang dianggap masih ringan. Dan kini, pelaku kejahatan Luar Biasa ini tetap dianggap, bahkan dilindungi UU, punya hak nyaleg ! punya hak mewakili suara public di parlemen.
Suara ne sopo ..!
Lalu apa yang menghalangi Negara, dari berpihak pada keputusan KPU tentang larangan Nyaleg bagi Koruptor ?
Sudah betul Negara melindungi hak Warga Negara nya untuk menjadi anggota legislatif. Bahkan mereka yang pernah dihukum dengan keputusan hukum yang tetap dari pengadilan sebagai koruptor.
Lah wong mereka dilindungi undang-undang.
Undang-Undang lah yang mesti jadi sasaran perjuangan. Betul. Makan waktu bro. betul. Pileg didepan mata inih..! betul juga.
Siapa yang bikin Undang-Undang, DPR dan Pemerintah.
Lo gila yah, mana mau anggota DPR membuat undang-undang yang mengatur tentang dirinya, apalagi soal korupsi...!
Dalam konteks ini, kisah terbentuknya KPK terulang kembali. Yakni butuh political process yang keras hingga ke titik diimana akhirnya pemerintah memiliki political will dan menyerah atas desakan public. Kok Pemerintah doing, DPR nggak dilibatin ?
Secara riil politik praktis terkini, dimana agenda pemilu sdh di depan mata, semua saluran kekuatan politik formal mengalokasikan energi nya ke pemenangan masing-masing pihak. Ada kode tak tertulis bagi sesama kontestan pemilu dalam isu caleg mantan koruptor, dimana mereka tidak berani melangkah atau mengkampanyekannya..karena mereka juga memiliki jejak korupsi dari para anggotanya yg tersebar di seluruh negeri. Nyenggol isu itu, sama saja mematikan mesin partai. Ini suudon pribadi ya.
Bagaimana partai baru, ada sedikit harapan pada partai baru yg belum punya jejak jelas dalam kasus korupsi, tapi saya pesimis mereka akan ambil bagian. Karena ada ikatan pemenangan presiden.
Dalam rangka menghalau berkuasanya (kembali) caleg mantan koruptor dalam pemilu 2019, sebagai bagian dari kampanye membersihkan tindakan korupsi ada dua scenario yg mungkin bisa dilakukan. Dalam waktu yang sempit ini, focus pada upaya-upaya agar mereka tidak terpilih kembali.
Karena keikutsertaannya masih dilindungi undang-undang.
Pertama, Lanjutkan kampanye anti caleg koruptor dalam ranah hukum. Pasca yudicial review, bisa dilakukan kembali semacam naskah akademik terkait perubahan UU Pemilu Pasal 240 ayat (1) huruf g UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dengan memasukan materi yang ada dalam Peraturan KPU Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota dan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD terkait larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak.
Dan menjadikan isu ini sebagai Kontrak Politik kepada Partai dan atau Capres 2019.
Kedua, KPU memateriilkan atau menjalankan aturan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu menyebutkan “bakal calon DPR dan DPRD harus memenuhi persyaratan: tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”
Dengan mengeluarkan PKPU terkait aturan yang mewajibkan Caleg mantan terpidana koruptor, kejahatan seksual pada anak dan terpidana narkoba, mencantumkan kalimat “mantan terpidana” jika memungkinkan spesifik kejahatannya missal, “mantan terpidana Korupsi” , “mantan terpidana Kejahatan Seksual”, “mantan terpidana Narkoba”, di setiap atribut kampanye sang caleg, dalam bentuk cetak, elektronik dll. Reward dan punishment bagi sang caleg berlaku.
Juga PKPU yang mewajibkan Semua Media Wajib mencantumkannya dalam setiap liputan atau advertorial nya ttg sang caleg, atau partai yang menggunakan jaringannya kalimat “mantan terpidana” pada sang calon atau di partai ini ada “mantan terpidana” –nya..
Bawaslu memegang kunci, karena daftar bacaleg “mantan terpidana” diambil dari usulannya berdasar masukan dari public, misalnya.
Dan terakhir, diluar kedua scenario itu..kampanye anti caleg koruptor dimana dibutuhkan kepedualian kita semua, pada tahap upaya yang sangat minimal adalah mencantumkan kata “mantan terpidana” pada setiap pembahasan terkait nama caleg yang diketahui secara umum pernah terpidana korupsi. Juga kasus seksual dan narkoba. Jangan lupa menautkan sumber berita tentang kasusnya, agar tidak terkena pasal pencemaran nama baik.
Kedua scenario diatas memang sulit, tapi saya percaya tidak mustahil.
penulis: Gunawan Rbilly
(Peminat Masalah Sosial Politik)
Lo gila yah, mana mau anggota DPR membuat undang-undang yang mengatur tentang dirinya, apalagi soal korupsi...!
Dalam konteks ini, kisah terbentuknya KPK terulang kembali. Yakni butuh political process yang keras hingga ke titik diimana akhirnya pemerintah memiliki political will dan menyerah atas desakan public. Kok Pemerintah doing, DPR nggak dilibatin ?
Secara riil politik praktis terkini, dimana agenda pemilu sdh di depan mata, semua saluran kekuatan politik formal mengalokasikan energi nya ke pemenangan masing-masing pihak. Ada kode tak tertulis bagi sesama kontestan pemilu dalam isu caleg mantan koruptor, dimana mereka tidak berani melangkah atau mengkampanyekannya..karena mereka juga memiliki jejak korupsi dari para anggotanya yg tersebar di seluruh negeri. Nyenggol isu itu, sama saja mematikan mesin partai. Ini suudon pribadi ya.
Bagaimana partai baru, ada sedikit harapan pada partai baru yg belum punya jejak jelas dalam kasus korupsi, tapi saya pesimis mereka akan ambil bagian. Karena ada ikatan pemenangan presiden.
Dalam rangka menghalau berkuasanya (kembali) caleg mantan koruptor dalam pemilu 2019, sebagai bagian dari kampanye membersihkan tindakan korupsi ada dua scenario yg mungkin bisa dilakukan. Dalam waktu yang sempit ini, focus pada upaya-upaya agar mereka tidak terpilih kembali.
Karena keikutsertaannya masih dilindungi undang-undang.
Pertama, Lanjutkan kampanye anti caleg koruptor dalam ranah hukum. Pasca yudicial review, bisa dilakukan kembali semacam naskah akademik terkait perubahan UU Pemilu Pasal 240 ayat (1) huruf g UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dengan memasukan materi yang ada dalam Peraturan KPU Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota dan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD terkait larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak.
Dan menjadikan isu ini sebagai Kontrak Politik kepada Partai dan atau Capres 2019.
Kedua, KPU memateriilkan atau menjalankan aturan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu menyebutkan “bakal calon DPR dan DPRD harus memenuhi persyaratan: tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”
Dengan mengeluarkan PKPU terkait aturan yang mewajibkan Caleg mantan terpidana koruptor, kejahatan seksual pada anak dan terpidana narkoba, mencantumkan kalimat “mantan terpidana” jika memungkinkan spesifik kejahatannya missal, “mantan terpidana Korupsi” , “mantan terpidana Kejahatan Seksual”, “mantan terpidana Narkoba”, di setiap atribut kampanye sang caleg, dalam bentuk cetak, elektronik dll. Reward dan punishment bagi sang caleg berlaku.
Juga PKPU yang mewajibkan Semua Media Wajib mencantumkannya dalam setiap liputan atau advertorial nya ttg sang caleg, atau partai yang menggunakan jaringannya kalimat “mantan terpidana” pada sang calon atau di partai ini ada “mantan terpidana” –nya..
Bawaslu memegang kunci, karena daftar bacaleg “mantan terpidana” diambil dari usulannya berdasar masukan dari public, misalnya.
Dan terakhir, diluar kedua scenario itu..kampanye anti caleg koruptor dimana dibutuhkan kepedualian kita semua, pada tahap upaya yang sangat minimal adalah mencantumkan kata “mantan terpidana” pada setiap pembahasan terkait nama caleg yang diketahui secara umum pernah terpidana korupsi. Juga kasus seksual dan narkoba. Jangan lupa menautkan sumber berita tentang kasusnya, agar tidak terkena pasal pencemaran nama baik.
Kedua scenario diatas memang sulit, tapi saya percaya tidak mustahil.
penulis: Gunawan Rbilly
(Peminat Masalah Sosial Politik)
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.