Refleksi Catatan di Hari Kesehatan Jiwa (10 Oktober)
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy Syam, 91: 8-10).
Pentingnya Kesehatan jiwa bagi Generasi Muda
Peringatan hari kesehatan Jiwa yang jatuh pada tanggal 10 Oktober tahun ini bertema “Young People and Mental Health in A Changing World” ( Generasi Muda dan Kesehatan jiwa dalam perubahan Dunia) . Masalah kesehatan mental adalah hal fundamental yang krusial. Dalam buku Global Mental Health: Principles and Practice (Patel, Minas, Cohen, & Prince, 2014) disebutkan bahwa beban besar yang ditimbulkan dari gangguan jiwa di seluruh dunia berkaitan dengan munculnya masalah tersebut di usia muda dan cenderung bertahan di hingga usia tua.
Peringatan hari kesehatan Jiwa yang jatuh pada tanggal 10 Oktober tahun ini bertema “Young People and Mental Health in A Changing World” ( Generasi Muda dan Kesehatan jiwa dalam perubahan Dunia) . Masalah kesehatan mental adalah hal fundamental yang krusial. Dalam buku Global Mental Health: Principles and Practice (Patel, Minas, Cohen, & Prince, 2014) disebutkan bahwa beban besar yang ditimbulkan dari gangguan jiwa di seluruh dunia berkaitan dengan munculnya masalah tersebut di usia muda dan cenderung bertahan di hingga usia tua.
WHO menyatakan bahwa separuh dari gangguan kejiwaan dimulai dari usia sekitar 14 tahun akan tetapi sebagian besar kasus tidak terdeteksi dan tidak tertangani. Depresi merupakan kasus banyak dialami oleh orang muda, yang apabila tidak tertangani dapat mengarah pada terjadinya bunuh diri. Penggunaan alkohol dan obat-obat terlarang, perilaku seks dan perilaku berisiko (seperti misalnya dalam mengendarai kendaraan) dan juga obesitas yang disebabkan karena pola perilaku makan yang tidak tepat juga merupakan isu-isu kesehatan mental yang banyak dialami oleh orang muda.
Narasi ini mengajak kita melakukan refleksi tentang arti kesehatan jiwa bagi masa depan sebuah bangsa. Generasi muda adalah generasi yang sebentar lagi akan menerima tongkat estafet kehidupan dari generasi sebelumnya meneruskan perjalanan sebuah bangsa oleh karena itu Kesehatan jiwa generasi muda akan mencerminkan kesehatan dan masa depan sebuah bangsa. Satu hal yang tepat bila Pemuda Wage Rudolf Supratman dalam lagu Kebangsaan kita menyerukan Bangunlah jiwanya, bangunlah Badannya. Karena sesungguhnya Tidak ada Kesehatan tanpa kesehatan Jiwa.
Stigma dan Pelanggaran HAM Satu hal yang menjadi ironi setelah 73 tahun merdeka, tercatat ada 400 ribu penderita gangguan jiwa di Indonesia, 57 Ribu diantaranya mengalami pemasungan (data kemensos 2016). Di Kabupaten Kuningan angka penderita gangguan Jiwa mencapai 1860 yang tersebar di 37 wilayah kerja puskesmas di Kuningan. Dari jumlah tersebut baru sekitar 50 % yang menjalani pengobatan. Data terakhir (2017) tercatat 31 orang di pasung di Kabupaten Kuningan, baru sebagian kecil diantaranya yang telah bebas pasung dan menjalani rehabilitasi medis . Kenyataan ini menunjukan Masyarakat dan negara telah abai menjalankan amanat kemerdekaan untuk membangun jiwa bangsa.
Pemahaman akan aspek medis dari gangguan jiwa yang masih rendah adalah salah satu faktornya. Kurang iman,kurang ikhlas,azab,karma,santet, dosa turunan, tumbal pesugihan, kesambet dll adalah anggapan dan stigma yang melekat di masyarakat Indonesia selama. Bahkan masih ditemukan petugas medis dilapangan yang berlepas tangan dan menganggap bahwa orang gila adalah urusan dinsos bukan urusan dinkes. Maka tidak heran kalau praktek shamanisme (dukun) dan layanan pengobatan tradisional lainya menjadi pilihan dalam upaya penyembuhan gangguan psikotik.
Dalam perkembangannya secara alami ilmu kesehatan jiwa dan telemedika (teknologi medis) telah meningkatkan pemahaman akan aspek medis dari gangguan mental/ psikotik dan mengurangi risiko stigma yang terkait dengan penanganan gangguan Jiwa.
Dengan MRI imaging (alat Pencitraan otak) misalnya, neurolog dapat mengungkap ketidakseimbangani zat neurotransmitter dalam otak juga kerusakan jaringan otak yang terjadi. Ini mematahkan argumen bahwa kondisi psikotik dengan tilikan yang buruk, halusinasi,delusi, waham, pikiran yang aneh, hearing voice dll sebagai aspek psikologis semata. Pemahaman akan aspek medis ini penting bukan sebagai generalisasi atas nama ilmu kedokteraan tapi justru untuk mengembangkan pandangan sistemik tentang ganguan psikotik yang mempertimbangkan multisegi penyakit mental, pandangan medis, sosial (budaya) dan sekaligus eksistensi - spiritual.
Pada banyak kasus terutama kasus pasung dan gelandangan psikosis di dapatkan pelanggaran dan pengabaian hak-hak warga negara. Pasal 14 Konvensi hak-hak penyandang disabilitas (CRPD) menyebutkan keadaan disabilitas tidak boleh menjadi alasan pembenaran dilucutinya kebebasan seseorang. Ketiadaan status kependudukan (KTP) mempersulit akses ODGJ mendapatkan layanan dan jaminan kesehatan.
Hal ini telah ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan membuat nota kesepahaman penanganan kasus pasung antara Kemensos, Kemenkes, Kemendagri, Kepolisian, dan BPJS. Di kabupaten Kuningan koordinasi antara dinas mencoba diretas untuk menangani permasalahan ODGJ khususnya program Indonesia bebas pasung. Akan tetapi nota kesepahaman ini belum terimplementasikan sampai tingkat bawah sehingga pada tataran teknis dilapangan tidak terkoordinasi dengan baik. Di perlukan tim khusus yang dibentuk pemerintah daerah dalam menangani kasus ODGJ khususnya pasung.
Layanan kesehatan Jiwa dan Industri Kesehatan
Keberadaan UU No 18 tahun 2014 tentang kesehatan Jiwa, telah menyelamatkan kita dari Komisi HAM internasional terkait pasung. Namun kita tetap prihatin bahwa Kecenderungan naiknya prevalensi gangguan jiwa, tidak diikuti kemampuan dan ketersediaan fasilitas sarana prasarana layanan kesehatan jiwa. Tercatat hanya ada 48 RSJ di Indonesia, 8 Provinsi tidak memiliki RSJ, 3 provinsi tidak memiliki psikiater , di Indonesia 1 orang psikiater terlatih menangani 3000.000-400.000 orang, ini jauh dibawah pemenuhan rasio kebutuhan dokter secara umum yakni 1: 2500 penduduk (standar WHO) . Di Kuningan hanya ada 1 dokter jiwa yang memberikan layanan di poli jiwa RSU 45 setiap hari selasa dan kamis yang rata rata tiap harinya paling sedikit melayani 70 pasien penderita gangguan jiwa.
Di era pasar ekonomi, kedokteran telah menjadi bisnis besar yang menuntut profesionalisme dan dan spesialisasi keilmuan, namun peluang pasar berupa naiknya prevalensi gangguan jiwa tidak diikuti pemenuhan rasio kebutuhan dokter jiwa /psikiater. Fenomena maraknya pendidikan kedokteran di Indonesia, belum menjadikan spesialisasi kedokteran jiwa sebagai pilihan yang diperhitungkan dalam memenuhi kebutuhan pasar.
Industrialisasi kedokteran yang di dukung kemajuan pengetahuan dan teknologi serta penggunaan peralatan medis yang canggih belum direspon dengan baik.. Fasilitas, sarana dan prasarana layanan kesehatan jiwa masih sulit dijangkau oleh pasien penderita gangguan Jiwa. Rumah sakit di di Kabupaten Kuningan pada umumnya belum menyediakan, ruang rawat inap jiwa dan layanan psikiatri. Rujukan rawat inap selama ini ditujukan pada rumah sakit di luar kota. Jika penentu kebijakan terutama dalam bidang kesehatan memperhatikan masalah ini dan berangkat dengan keikhlasan untuk berbuat demi kemanusiaan, maka pengetahuan dan teknologi yang tercanggih sekalipun dapat dimanfaatkan oleh masyarakat banyak.
Pemberdayaan Organisasi konsumen kesehatan jiwa dalam membangun sistem layanan kesehatan jiwa.
Kesadaran kolektif Pasien, keluarga pasien, caregiver dan orang-orang yang berkepentingan terhadap layanan kesehatan jiwa sebagai konsumen harus menjadi titik tolak dan faktor utama dalam mengupayakan peningkatan layanan kesehatan jiwa. Dari hasil pengamatan secara umum di dapatkan fakta bahwa keluarga dan pasien gangguan jiwa pengetahuannya sangat minim tentang hak-haknya sebagai warganegara khususnya dalam layanan kesehatan jiwa. Mereka tidak mengerti haknya secara politik sosial ekonomi. Bahkan ketika kehilangan haknya di dalam keluarga.
Keluarga tidak berdaya dibebani ODGJ dan menanggungnya sendirian Mereka tidak tahu harus minta apa atau tidak tahu mau memberi masukan atau saran apa terhadap pemerintah atas masalah kesehatan jiwa yang mereka hadapi sehari -hari. Masih banyak masyarakat terutama di pelosok yang belum tahu bahwa gangguan jiwa dapat diobati, mereka tidak mau memanfaatkan layanan kesehatan dan menolak pengobatan. Lebih memilih pendekatan alternatif dan keagamaan.
Ketika diperkenalkan dengan pengobatan, pemahaman mereka berubah. Seakan Obat adalah segala galanya. Mereka belum mengerti bahwa untuk pulih dan mandiri perlu ada perbaikan di layanan kesehatan atau layanan publik lainnya. Mereka tidak memahami penyakit mental sebagai fenomena multidimensional melibatkan seluruh spektrum kesadaran dan menyiratkan pendekatan multitingkat sesuai dengan asepk psikoterapi. Pemulihan kesehatan jiwa tidak selesai atau berhenti pada rehab medis semata tapi juga memerlukan rehabilitasi sosial dan pengembalian eksistensi ( integrasi) individu dalam masyarakatnya.
Tanpa adanya pemberdayaan keluarga dan pasien gangguan jiwa, masalah kesehatan jiwa tidak akan membaik. yang terjadi hanya pengobatan massal, mass drugging karena berobat sudah ditanggung BPJS Kesehatan.Semua ini pada akhirnya membuat frustrasi. Pasien baru tambah banyak, pasien lama tidak tertangani.
Mengutip komentar prof Harry Minas dari Universitas Melbourne pada acara workshop beberapa minggu lalu saat menanggapi ungkapan frustrasi dari seorang psikiater dari Philipina.
Prof Harry mengatakan “semua ungkapan frustrasi itu tidak akan pernah usai, tidak akan ada solusinya. Bila negara negara tidak mau berinvestasi membantu tumbuhnya organisasi konsumen kesehatan jiwa. Tidak selayaknya kita semua membiarkan organisasi seperti KPSI menghadapi kesulitan untuk bertahan hidup sendirian. Padahal organisasi konsumen kesehatan jiwa yang tumbuh dari kepedulian keluarga dan pasien adalah faktor pendorong perubahan sistem yang paling kuat. Tanpa adanya kelompok keluarga dan pasien yang berdaya, negara tidak akan berhasil membangun sistem layanan kesehatan jiwa yang baik”.
Kuningan, 18 Oktober 2018
(Sinta Yunia Setha, Pengurus KPSI Simpul Kuningan)
Stigma dan Pelanggaran HAM Satu hal yang menjadi ironi setelah 73 tahun merdeka, tercatat ada 400 ribu penderita gangguan jiwa di Indonesia, 57 Ribu diantaranya mengalami pemasungan (data kemensos 2016). Di Kabupaten Kuningan angka penderita gangguan Jiwa mencapai 1860 yang tersebar di 37 wilayah kerja puskesmas di Kuningan. Dari jumlah tersebut baru sekitar 50 % yang menjalani pengobatan. Data terakhir (2017) tercatat 31 orang di pasung di Kabupaten Kuningan, baru sebagian kecil diantaranya yang telah bebas pasung dan menjalani rehabilitasi medis . Kenyataan ini menunjukan Masyarakat dan negara telah abai menjalankan amanat kemerdekaan untuk membangun jiwa bangsa.
Pemahaman akan aspek medis dari gangguan jiwa yang masih rendah adalah salah satu faktornya. Kurang iman,kurang ikhlas,azab,karma,santet, dosa turunan, tumbal pesugihan, kesambet dll adalah anggapan dan stigma yang melekat di masyarakat Indonesia selama. Bahkan masih ditemukan petugas medis dilapangan yang berlepas tangan dan menganggap bahwa orang gila adalah urusan dinsos bukan urusan dinkes. Maka tidak heran kalau praktek shamanisme (dukun) dan layanan pengobatan tradisional lainya menjadi pilihan dalam upaya penyembuhan gangguan psikotik.
Dalam perkembangannya secara alami ilmu kesehatan jiwa dan telemedika (teknologi medis) telah meningkatkan pemahaman akan aspek medis dari gangguan mental/ psikotik dan mengurangi risiko stigma yang terkait dengan penanganan gangguan Jiwa.
Dengan MRI imaging (alat Pencitraan otak) misalnya, neurolog dapat mengungkap ketidakseimbangani zat neurotransmitter dalam otak juga kerusakan jaringan otak yang terjadi. Ini mematahkan argumen bahwa kondisi psikotik dengan tilikan yang buruk, halusinasi,delusi, waham, pikiran yang aneh, hearing voice dll sebagai aspek psikologis semata. Pemahaman akan aspek medis ini penting bukan sebagai generalisasi atas nama ilmu kedokteraan tapi justru untuk mengembangkan pandangan sistemik tentang ganguan psikotik yang mempertimbangkan multisegi penyakit mental, pandangan medis, sosial (budaya) dan sekaligus eksistensi - spiritual.
Pada banyak kasus terutama kasus pasung dan gelandangan psikosis di dapatkan pelanggaran dan pengabaian hak-hak warga negara. Pasal 14 Konvensi hak-hak penyandang disabilitas (CRPD) menyebutkan keadaan disabilitas tidak boleh menjadi alasan pembenaran dilucutinya kebebasan seseorang. Ketiadaan status kependudukan (KTP) mempersulit akses ODGJ mendapatkan layanan dan jaminan kesehatan.
Hal ini telah ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan membuat nota kesepahaman penanganan kasus pasung antara Kemensos, Kemenkes, Kemendagri, Kepolisian, dan BPJS. Di kabupaten Kuningan koordinasi antara dinas mencoba diretas untuk menangani permasalahan ODGJ khususnya program Indonesia bebas pasung. Akan tetapi nota kesepahaman ini belum terimplementasikan sampai tingkat bawah sehingga pada tataran teknis dilapangan tidak terkoordinasi dengan baik. Di perlukan tim khusus yang dibentuk pemerintah daerah dalam menangani kasus ODGJ khususnya pasung.
Layanan kesehatan Jiwa dan Industri Kesehatan
Keberadaan UU No 18 tahun 2014 tentang kesehatan Jiwa, telah menyelamatkan kita dari Komisi HAM internasional terkait pasung. Namun kita tetap prihatin bahwa Kecenderungan naiknya prevalensi gangguan jiwa, tidak diikuti kemampuan dan ketersediaan fasilitas sarana prasarana layanan kesehatan jiwa. Tercatat hanya ada 48 RSJ di Indonesia, 8 Provinsi tidak memiliki RSJ, 3 provinsi tidak memiliki psikiater , di Indonesia 1 orang psikiater terlatih menangani 3000.000-400.000 orang, ini jauh dibawah pemenuhan rasio kebutuhan dokter secara umum yakni 1: 2500 penduduk (standar WHO) . Di Kuningan hanya ada 1 dokter jiwa yang memberikan layanan di poli jiwa RSU 45 setiap hari selasa dan kamis yang rata rata tiap harinya paling sedikit melayani 70 pasien penderita gangguan jiwa.
Di era pasar ekonomi, kedokteran telah menjadi bisnis besar yang menuntut profesionalisme dan dan spesialisasi keilmuan, namun peluang pasar berupa naiknya prevalensi gangguan jiwa tidak diikuti pemenuhan rasio kebutuhan dokter jiwa /psikiater. Fenomena maraknya pendidikan kedokteran di Indonesia, belum menjadikan spesialisasi kedokteran jiwa sebagai pilihan yang diperhitungkan dalam memenuhi kebutuhan pasar.
Industrialisasi kedokteran yang di dukung kemajuan pengetahuan dan teknologi serta penggunaan peralatan medis yang canggih belum direspon dengan baik.. Fasilitas, sarana dan prasarana layanan kesehatan jiwa masih sulit dijangkau oleh pasien penderita gangguan Jiwa. Rumah sakit di di Kabupaten Kuningan pada umumnya belum menyediakan, ruang rawat inap jiwa dan layanan psikiatri. Rujukan rawat inap selama ini ditujukan pada rumah sakit di luar kota. Jika penentu kebijakan terutama dalam bidang kesehatan memperhatikan masalah ini dan berangkat dengan keikhlasan untuk berbuat demi kemanusiaan, maka pengetahuan dan teknologi yang tercanggih sekalipun dapat dimanfaatkan oleh masyarakat banyak.
Pemberdayaan Organisasi konsumen kesehatan jiwa dalam membangun sistem layanan kesehatan jiwa.
Kesadaran kolektif Pasien, keluarga pasien, caregiver dan orang-orang yang berkepentingan terhadap layanan kesehatan jiwa sebagai konsumen harus menjadi titik tolak dan faktor utama dalam mengupayakan peningkatan layanan kesehatan jiwa. Dari hasil pengamatan secara umum di dapatkan fakta bahwa keluarga dan pasien gangguan jiwa pengetahuannya sangat minim tentang hak-haknya sebagai warganegara khususnya dalam layanan kesehatan jiwa. Mereka tidak mengerti haknya secara politik sosial ekonomi. Bahkan ketika kehilangan haknya di dalam keluarga.
Keluarga tidak berdaya dibebani ODGJ dan menanggungnya sendirian Mereka tidak tahu harus minta apa atau tidak tahu mau memberi masukan atau saran apa terhadap pemerintah atas masalah kesehatan jiwa yang mereka hadapi sehari -hari. Masih banyak masyarakat terutama di pelosok yang belum tahu bahwa gangguan jiwa dapat diobati, mereka tidak mau memanfaatkan layanan kesehatan dan menolak pengobatan. Lebih memilih pendekatan alternatif dan keagamaan.
Ketika diperkenalkan dengan pengobatan, pemahaman mereka berubah. Seakan Obat adalah segala galanya. Mereka belum mengerti bahwa untuk pulih dan mandiri perlu ada perbaikan di layanan kesehatan atau layanan publik lainnya. Mereka tidak memahami penyakit mental sebagai fenomena multidimensional melibatkan seluruh spektrum kesadaran dan menyiratkan pendekatan multitingkat sesuai dengan asepk psikoterapi. Pemulihan kesehatan jiwa tidak selesai atau berhenti pada rehab medis semata tapi juga memerlukan rehabilitasi sosial dan pengembalian eksistensi ( integrasi) individu dalam masyarakatnya.
Tanpa adanya pemberdayaan keluarga dan pasien gangguan jiwa, masalah kesehatan jiwa tidak akan membaik. yang terjadi hanya pengobatan massal, mass drugging karena berobat sudah ditanggung BPJS Kesehatan.Semua ini pada akhirnya membuat frustrasi. Pasien baru tambah banyak, pasien lama tidak tertangani.
Mengutip komentar prof Harry Minas dari Universitas Melbourne pada acara workshop beberapa minggu lalu saat menanggapi ungkapan frustrasi dari seorang psikiater dari Philipina.
Prof Harry mengatakan “semua ungkapan frustrasi itu tidak akan pernah usai, tidak akan ada solusinya. Bila negara negara tidak mau berinvestasi membantu tumbuhnya organisasi konsumen kesehatan jiwa. Tidak selayaknya kita semua membiarkan organisasi seperti KPSI menghadapi kesulitan untuk bertahan hidup sendirian. Padahal organisasi konsumen kesehatan jiwa yang tumbuh dari kepedulian keluarga dan pasien adalah faktor pendorong perubahan sistem yang paling kuat. Tanpa adanya kelompok keluarga dan pasien yang berdaya, negara tidak akan berhasil membangun sistem layanan kesehatan jiwa yang baik”.
Kuningan, 18 Oktober 2018
(Sinta Yunia Setha, Pengurus KPSI Simpul Kuningan)
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.