suarakuningan.com - Meski sudah memasuki tahun 2019, namun semua pihak harus mengingat peristiwa di 2018 karena ada 2 prosesi yang sangat penting bagi publik Kuningan, yakni telah dilantiknya Bupati dan Wabup (2018-2023), serta dilantiknya anggota KPU dan Bawaslu Kuningan (2018-2023).
Prosesi pertama dalam pemilihan kepala daerah cukup dinamis, untuk tidak mengatakan adanya gesekan-gesekan yang berujung proses hukum. Akhirnya, pasangan Acep Purnama-Muhammad Ridho Suganda memenangkan perhelatan ini. Seiring dengan perubahan tahun, semua berharap tahun 2019 adalah momentum perubahan demokrasi Kuningan substansial, atau dalam kata lain semua berharap Pemilu serentak 2019 harus lebih berkualitas dari sebelumnya.
Harapan tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Jamparing Research (JR), Sohib Muslim SSosI kepada jajaran JR saat dialog peningkatan kapasitas personil JR.
Ia mengatakan, anggota KPU Kuningan mayoritas baru, begitu juga anggota Bawaslu. Secara tidak langsung, ada keinginan totalitas bahwa penyelenggaraan pemilu/pilkada harus berubah. Berubah dalam arti, performa KPU dan Bawaslu, angka partisipasi pemilih aktif meningkat dan tidak adanya pelanggaran, sekaligus pendidikan politik bagi masyarakat berjalan sebagaimana mestinya.
"Bisa dikatakan pendidikan politik berjalan manakala kita semua selalu bercermin dari tahun sebelumnya. Kinerja tidak sekedar mengejar kuantitas, tetapi kualitas. Terlebih perhelatan akbar ini secara rutin dilakukan. Pastinya, potret penyelenggaraan 2018 harus menjadi ukuran dan bagaimana menghadapi tahun 2019 yang penuh dengan dinamika. Bila tidak diantisipasi akan menjadi sandungan bagi banyak pihak, terutama penyelenggara dan pengawas pemilu," kata Sohib, Minggu (6/1).
Untuk itu, atas nama JR, Sohib mengajak publik melihat kembali pesta demokrasi sebelumnya. Sekaligus membaca perkiraan yang akan terjadi dari aturan baru dalam PKPU RI nomor 11/2018 dan Peraturan Bawaslu RI nomor 33/2018. Pendapatnya itu tidak untuk dimaksudkan menihilkan kinerja yang sudah bagus, tetapi tidak ada salahnya semua menoleh sebentar ke belakang. Tujuannya, tak lain untuk memperbaiki yang tidak baik dan meningkatkan yang baik jadi terbaik peringkatnya.
"Semua pihak, termasuk JR punya beban tanggungjawab atas keberlangsungan proses demokrasi di Kuningan ini menjadi teladan. Bahkan rujukan, bisa jadi dari performa yang baik sebagai lokomotif perubahan dalam penyelenggaraan pemilu," ujarnya.
Mantan aktivis HMI Cirebon asal Maleber yang bertubuh ramping ini mengungkapkan, udara tahun 2019 sedang dihirup bersama dengan penuh makna dan harap bagi jagat demokrasi Kuningan. Pergantian tahun tidak saja pergantian angka, tapi secara susbtansi perubahan iklim demokrasi. Cerminan keberhasilan 2019 bisa dilihat dari proses kerja di tahun 2018. Begitu pun dalam perjalanan demokrasi di Kuningan, yang sebentar lagi menghadapi pemilu serentak di April 2019 yang sudah barang tentu membutuhkan pengamatan dan antisipasi yang mendalam.
Berdasarkan pengamatan JR, banyak Alat Peraga Kampanye (APK) di lapangan yang tidak mendidik, bahkan cenderung melanggar pasal 18 point 2 Peraturan Bawaslu RI Nomor 33/2018. Pohon-pohon di pinggir jalan dipasang APK dengan paku-paku tajam, dan cukup banyak APK yang dipajang di tempat yang bukan semestinya.
"Bentuk kampanye demikian menurut kami sangat mengganggu ketertiban umum. Belum lagi di media sosial ujaran kebencian, hasutan terhadap peserta pemilu lain sangat marak terjadi. Siapa dirugikan? Tentu peserta pemilu dan Bawalu berkewajiban menengahi. Bahkan mulai terjadi pengrusakan APK yang dilakukan oleh orang tidak dikenal. Pengrusakan cenderung disengaja, tapi juga dibiarkan," sebutnya.
Atas dasar pengamatan itu, lanjut Sohib, JR menilai Bawaslu masih minim sosialisasi. Karena setidaknya memiliki catatan akun-akun caleg atau timses hingga daerah mana saja yang dikategorikan rawan pelanggaran. Akibat minimnya sosialisasi regulasi yang domainnya Bawaslu tidak menyentuh atau mungkin tidak dipahami oleh para peserta.
"Jika regulasi penyelenggaraan tentang APK digalakkan masif sesuai kadar akibat hukumnya, maka dimungkinkan minimnya atau tidak adanya pelanggaran APK. Ini hanya kritik sedikit saja, sebagai perhatian kami kepada Bawaslu dan KPU. Insya Allah kritikan kami membangun," tuturnya.
Kemudian, kata Sohib, debat pilkada 2018 jauh dari memuaskan publik. Tidak saja hal teknis, misalnya live streaming tidak lancar, sound system yang kurang jelas. Lebih utama lagi, moderator debat tidak memiliki kemampuan menggali permasalahan Kuningan yang perlu ditanggapi para peserta. Debat kesannya ceremonial yang kurang mencerahkan para pemilih. Padahal sesungguhnya, debat itu representasi hati dan kepala calon kepala daerah. Itu pun dilakukan sekali saja.
"Padahal debat ini dikehendaki masyarakat Kuningan mengandung pencerahan dari visi-misi peserta pilkada. Masing-masing menuangkan gagasan lewat forum formal yang dilihat, didengar oleh sekitar 837.365 DPT (Pilkada 2018) masyarakat Kuningan. Dan bisa juga ada terobosan pemilihan topik debat berdasarkan hasil polling warga," ungkapnya seraya mengkritik KPU.
Selanjutnya, masih kata Sohib, meski dikatakan capaian angka partisipasi pemilih mencapai 602.711 (71,40 persen) dari 837.365 DPT, publik perlu mempertanyakan disebabkan faktor apakah pilkada Kuningan 2018 suara tidak sah masih cukup tinggi sekitar 30.999 dan tidak berpartisipasi 28.60 persen.
Menurut kajian JR, beberapa kemungkinan terjadi dari masih tingginya suara tidak sah dan tidak berpartisipasi. Salah satunya, kurang sosialisasi pilkada. Akibatnya, banyak pihak yang beranggapan pilkada kurang menarik karena minimnya informasi. Alih-alih ingin menggali informasi visi-misi malah terbentur informasi yang simpangsiur seperti hoaks, fitnah, provokasi dan hasutan lain yang menahan pemilih kritis berpartisipasi.
"Tantangan serupa pada April 2019 akan sama dihadapi. Bedanya lebih masif dan keras. Belum lagi hal lain seperti kriteria DPT Khusus, dan siapa DPT susulan. Informasi liar yang berkembang misalnya, disabilitas diasumsikan orang-orang mereka yang cacat, terutama sakit jiwa semuanya dimasukkan. Bila tidak diantisipasi secara cermat, berita itu akan liar dan jadi sasaran tembak bagi KPU. KPU pasti harus bekerja ekstra cermat, cerdik dan antisipatif. Menggali setiap potensi yang akan membuat kisruh," saran Sohib.
Mengacu kepada Peraturan KPU (PKPU) nomor 11 tahun 2018 khusus pasal 36 ayat 3 Bab VII tentang Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), hingga saat ini, kata dia, banyak yang masih membincangkan maksud di ayat (2), yakni poin a menjalankan tugas pemerintahan di tempat lain pada hari Pemungutan Suara, poin b menjalani rawat inap di rumah sakit atau puskesmas dan keluarga yang mendampingi, c penyandang disabilitas yang menjalani perawatan di panti sosial/panti rehabilitasi, d menjalani rehabilitasi narkoba, e menjadi tahanan di rumah tahanan atau lembaga permasyarakatan, f tugas belajar/menempuh pendidikan menengah atau tinggi, g pindah domisili, dan h tertimpa bencana alam.
Hal lain menurutnya yang perlu diperhatikan pada pasal 39 Bab VIII Daftar Pemilih Khusus. Mereka (pemilih, red) tidak masuk DPT dan DPTb, tapi masuk kriteria Pemilih. Hanya menunjukkan KTP-el bisa milih di TPS.
"Bagaimana penghitungannya, bisa milih di TPS, tapi tidak terdaftar di DPT dan DPTb. Aturan ini butuh penjelas rinci, tegas dan tidak multitafsir," terangnya.
Berdasarkan uraian tersebut, JR menilai semua masalah dan potensi kemungkinan terjadinya harus segera dilakukan langka-langkah konkrit. Salah satunya sosialisasi yang terinegrasi dengan berbagai pihak, termasuk partai politik. Parpol dalam hal ini sangat butuh pencerahan dari KPU dan Bawaslu dalam mengantisipasi pasal-pasal rawan dan segala potensi yang memungkinkan terjadinya pelanggaran pemilu.
"Bila dilakukan segera, tahun 2019 akan jadi ajang pendidikan sekaligus tercatat dalam sejarah demokrasi sebagai perhelatan yang memberi rasa aman, damai dan berkualitas," pungkas Sohib. (Humas JR/red)
"Bentuk kampanye demikian menurut kami sangat mengganggu ketertiban umum. Belum lagi di media sosial ujaran kebencian, hasutan terhadap peserta pemilu lain sangat marak terjadi. Siapa dirugikan? Tentu peserta pemilu dan Bawalu berkewajiban menengahi. Bahkan mulai terjadi pengrusakan APK yang dilakukan oleh orang tidak dikenal. Pengrusakan cenderung disengaja, tapi juga dibiarkan," sebutnya.
Atas dasar pengamatan itu, lanjut Sohib, JR menilai Bawaslu masih minim sosialisasi. Karena setidaknya memiliki catatan akun-akun caleg atau timses hingga daerah mana saja yang dikategorikan rawan pelanggaran. Akibat minimnya sosialisasi regulasi yang domainnya Bawaslu tidak menyentuh atau mungkin tidak dipahami oleh para peserta.
"Jika regulasi penyelenggaraan tentang APK digalakkan masif sesuai kadar akibat hukumnya, maka dimungkinkan minimnya atau tidak adanya pelanggaran APK. Ini hanya kritik sedikit saja, sebagai perhatian kami kepada Bawaslu dan KPU. Insya Allah kritikan kami membangun," tuturnya.
Kemudian, kata Sohib, debat pilkada 2018 jauh dari memuaskan publik. Tidak saja hal teknis, misalnya live streaming tidak lancar, sound system yang kurang jelas. Lebih utama lagi, moderator debat tidak memiliki kemampuan menggali permasalahan Kuningan yang perlu ditanggapi para peserta. Debat kesannya ceremonial yang kurang mencerahkan para pemilih. Padahal sesungguhnya, debat itu representasi hati dan kepala calon kepala daerah. Itu pun dilakukan sekali saja.
"Padahal debat ini dikehendaki masyarakat Kuningan mengandung pencerahan dari visi-misi peserta pilkada. Masing-masing menuangkan gagasan lewat forum formal yang dilihat, didengar oleh sekitar 837.365 DPT (Pilkada 2018) masyarakat Kuningan. Dan bisa juga ada terobosan pemilihan topik debat berdasarkan hasil polling warga," ungkapnya seraya mengkritik KPU.
Selanjutnya, masih kata Sohib, meski dikatakan capaian angka partisipasi pemilih mencapai 602.711 (71,40 persen) dari 837.365 DPT, publik perlu mempertanyakan disebabkan faktor apakah pilkada Kuningan 2018 suara tidak sah masih cukup tinggi sekitar 30.999 dan tidak berpartisipasi 28.60 persen.
Menurut kajian JR, beberapa kemungkinan terjadi dari masih tingginya suara tidak sah dan tidak berpartisipasi. Salah satunya, kurang sosialisasi pilkada. Akibatnya, banyak pihak yang beranggapan pilkada kurang menarik karena minimnya informasi. Alih-alih ingin menggali informasi visi-misi malah terbentur informasi yang simpangsiur seperti hoaks, fitnah, provokasi dan hasutan lain yang menahan pemilih kritis berpartisipasi.
"Tantangan serupa pada April 2019 akan sama dihadapi. Bedanya lebih masif dan keras. Belum lagi hal lain seperti kriteria DPT Khusus, dan siapa DPT susulan. Informasi liar yang berkembang misalnya, disabilitas diasumsikan orang-orang mereka yang cacat, terutama sakit jiwa semuanya dimasukkan. Bila tidak diantisipasi secara cermat, berita itu akan liar dan jadi sasaran tembak bagi KPU. KPU pasti harus bekerja ekstra cermat, cerdik dan antisipatif. Menggali setiap potensi yang akan membuat kisruh," saran Sohib.
Mengacu kepada Peraturan KPU (PKPU) nomor 11 tahun 2018 khusus pasal 36 ayat 3 Bab VII tentang Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), hingga saat ini, kata dia, banyak yang masih membincangkan maksud di ayat (2), yakni poin a menjalankan tugas pemerintahan di tempat lain pada hari Pemungutan Suara, poin b menjalani rawat inap di rumah sakit atau puskesmas dan keluarga yang mendampingi, c penyandang disabilitas yang menjalani perawatan di panti sosial/panti rehabilitasi, d menjalani rehabilitasi narkoba, e menjadi tahanan di rumah tahanan atau lembaga permasyarakatan, f tugas belajar/menempuh pendidikan menengah atau tinggi, g pindah domisili, dan h tertimpa bencana alam.
Hal lain menurutnya yang perlu diperhatikan pada pasal 39 Bab VIII Daftar Pemilih Khusus. Mereka (pemilih, red) tidak masuk DPT dan DPTb, tapi masuk kriteria Pemilih. Hanya menunjukkan KTP-el bisa milih di TPS.
"Bagaimana penghitungannya, bisa milih di TPS, tapi tidak terdaftar di DPT dan DPTb. Aturan ini butuh penjelas rinci, tegas dan tidak multitafsir," terangnya.
Berdasarkan uraian tersebut, JR menilai semua masalah dan potensi kemungkinan terjadinya harus segera dilakukan langka-langkah konkrit. Salah satunya sosialisasi yang terinegrasi dengan berbagai pihak, termasuk partai politik. Parpol dalam hal ini sangat butuh pencerahan dari KPU dan Bawaslu dalam mengantisipasi pasal-pasal rawan dan segala potensi yang memungkinkan terjadinya pelanggaran pemilu.
"Bila dilakukan segera, tahun 2019 akan jadi ajang pendidikan sekaligus tercatat dalam sejarah demokrasi sebagai perhelatan yang memberi rasa aman, damai dan berkualitas," pungkas Sohib. (Humas JR/red)
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.