oleh : DR. Udin Khaerudin (Pengajar di SMPN 1 Ciwigebang)
Seperti kita ketahui bahwa bulan Ramadhan bagi umat Islam merupakan moment yang paling strategis untuk memperbaiki juga sebagai bahan introspeksi diri.
Secara etimologi, Ramadhan berasal dari akar kata “ramadl” yang berarti “membakar”. Artinya, Ramadhan adalah momentum umat Islam untuk membakar dosa lebih intensif dibandingkan dengan bulan lainnya, sehingga semangat dan usaha beribadah pun mesti lebih masif dilakukan.
Ramadhan adalah bulan suci yang di dalamnya penuh makna, sarat nilai, multi-hikmah dan berlipat-pahala bagi yang mengerjakan amalan ibadahnya. Selain menenangkan jiwa dan menyehatkan raga, berpuasa di bulan Ramadhan juga mengajarkan untuk hidup toleran, sederhana, dan bahkan produktif.
Setiap kali Ramadhan datang, kita selalu menaruh harapan besar pada bulan suci itu. Harapan untuk kehidupan yang lebih baik sesuai dengan nilai-nilai qur’ani. Akhlak yang kerap kali absen dalam kehidupan sosial budaya berubah menjadi kehidupan yang berkeadaban. Demikian pula kehidupan ekonomi kita yang sangat kapitalistik dan abai terhadap dhuafa dan mustadh’afin, berubah menjadi kehidupan ekonomi yang menjunjung nilai-nilai syariah.
Yang sangat menarik, karunia di tengah Ramadhan tidak hanya hal-hal yang berdimensi ukhrawi, tapi aspek keduniaan pun cukup terbuka lebar terutama dimensi ekonomi. Fakta di lapangan menunjukkan, para pelaku ekonomi meraih pendapatan besar atas kehadiran bulan suci Ramadhan.
Bulan Ramadhan memang fenomena tersendiri dalam bidang perekonomian. Ketika sebagian besar masyarakat berpuasa dengan konsekuensi konsumsi makanan berkurang, justru permintaan bahan pangan melonjak. Masyarakat cenderung konsumtif dengan membeli makanan berlebih melebihi bulan-bulan biasa.
Meningkatnya kebutuhan dan konsumsi masyarakat yang berpuasa dimanfaatkan oleh para pedagang untuk semakin meningkatkan omzet dagangannya, bahkan jauh-jauh hari sebelum puasa, mereka sudah banyak menyetok barang untuk mengantisipasi kelangkaan barang atau kenaikan harga barang. Tingkat konsumsi dan belanja masyarakat akan semakin meningkat menjelang lebaran. Mereka bukan hanya disibukkan dengan urusan takjil buka puasa, tapi disibukkan dengan berbagai pernak-pernik kebutuhan lebaran.
Pengaruh pola perilaku konsumsi masyarakat di bulan Ramadhan berdampak pula pada naiknya angka inflasi. Meningkatnya konsumsi terhadap makanan, pakaian, atau kebutuhan lainnya dibandingkan konsumsi di bulan selain Ramadhan. Jumlah uang yang beredar di masyarakat pun bertambah akibat secara serentak adanya tunjangan hari raya (THR). Hal ini tentunya menjadi daya beli masyarakat meningkat.
Peningkatan uang beredar dan pola konsumsi masyarakat inilah yang mendorong naiknya harga-harga. Salah satu contoh yaitu kegiatan buka puasa bersama yang banyak dilakukan masyarakat merupakan bukti naiknya konsumsi makanan di bulan Ramadhan. Tradisi mudik juga menyebabkan tingkat konsumsi masyarakat terhadap jasa transportasi meningkat.
Semoga momentum seperti bulan Ramadhan senantiasa memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Mendorong konsumsi rumah tangga meningkat yang disebabkan oleh belanja masyarakat yang tinggi dan pada akhirnya meningkatkan perekonomian daerah.
Barangkali memang nilai-nilai kebaikan dan hikmah di Bulan Ramadhan berikut Idul Fitrinya, baik itu dari segi sosial maupun ekonominya, perlu kita jadikan pembelajaran untuk mencapai kehidupan bermasyarakat yang lebih baik, yang berkelanjutan yang tak hanya terjadi saat Ramadhan dan Idul Fitri saja. Lebih lanjut, dengan menerapkan nilai-nilai kebaikan seperti itu dalam kehidupan kita sehari-hari.***
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.