Cerpen. Penulis: Ki Pandita Ciremai
***
DI setiap jalan yang kau susuri menyimpan kenangan purwa
Temukanlah cahaya, nanti kau akan fahami
Gerimis di penghujung musim menghapus debu. Rumput eurih dan putri malu kembali terbangun dari mimpinya. Tidak peduli gunung, tidak peduli lembah, ada lakon yang harus terus diceritakan.
Ramadan berjalan menyusuri jalan setapak tidak jauh dari rumahnya. Di sebuah pusara ia berhenti dan duduk, “ibu, aku datang”. Ranting dan daun kering dipungutnya satu persatu. Tidak ada suara selain angin meniup kerikil yang sembunyi di sela akar pohon tua. Lelaki tidak diijinkan meneteskan air mata. Hanya ada dua cara, pergi berkelana atau diam.
Sore menjelang, kedai Waja Kopi sudah dipenuhi pengunjung. Sebentar lagi waktunya berbuka puasa. Sepasang muda-mudi seperti merpati, duduk menunggu kopi sejagad disajikan. Kadang bercerita dan tertawa, kadang saling mencuri pandang, atau membisu tertikam rasa. Di sudut lain, duduk bergerombol tua-muda berkelakar tentang politik. Sedangkan di kursi kayu yang mengarah ke bawah, duduk sendiri perempuan muda. Bercelana jeans dan berjaket kulit, rambut terurai hitam kecoklatan dengan sebatang rokok yang mengepul disela dingin yang menerobos hatinya. Berkali-kali hanya memperhatikan layar hp androidnya dan tidak membutuhkan siapa pun. Lalu tiba-tiba saja malam hadir. Lampu-lampu kecil mulai menyala.
Ramadan meracik kopi Arabika Palutungan dengan alat V16, sedangkan rekannya meramu kopilate pesanan ibu guru menor yang sedang menikmati acara buka bersama. Seorang barista lainnya menyalakan grinder.
Di kedai kopi itu, Ramadan banyak mendengar kisah. Usaha yang bangrut, hutang yang tak terbayarkan, perselingkuhan, caleg yang gagal, dan para pembual yang senang bercerita tentang kekuasaan. Di kedai kopi itu, dari remaja bau kencur yang jatuh cinta sampai pejabat berbintang toejoeh, atau lelaki tua renta yang kesepian. Semuanya membutuhkan kehangatan secangkir kopi.
Malam di ujung pagi, kedai kopi tambah ramai. Tubuh Ramadan semakin melemah sedangkan mereka yang datang terus merasa dahaga. Siapa yang akan peduli? Tiap orang hanya perhatikan dirinya sendiri. Dingin sudah menembus kewarasan, tetapi orang-orang tidak juga segera pulang. Mungkin rumah sudah menjadi tempat yang sonder kehangatan, sehingga mereka mencari kopi di sini. Subuh pun mengintai, bunyi saur bertalu-talu.
Ramadan berjalan menyusuri jalan setapak tidak jauh dari rumahnya. Di sebuah pusara ia berhenti dan duduk, “ibu, aku datang”. Ranting dan daun kering dipungutnya satu persatu. Tidak ada suara selain angin meniup kerikil yang sembunyi di sela akar pohon tua. Lelaki tidak diijinkan meneteskan air mata. Hanya ada dua cara, pergi berkelana atau diam. Ramadan memilih menyajikan secangkir kopi.***
***
DI setiap jalan yang kau susuri menyimpan kenangan purwa
Temukanlah cahaya, nanti kau akan fahami
Ramadan berjalan menyusuri jalan setapak tidak jauh dari rumahnya. Di sebuah pusara ia berhenti dan duduk, “ibu, aku datang”. Ranting dan daun kering dipungutnya satu persatu. Tidak ada suara selain angin meniup kerikil yang sembunyi di sela akar pohon tua. Lelaki tidak diijinkan meneteskan air mata. Hanya ada dua cara, pergi berkelana atau diam.
Sore menjelang, kedai Waja Kopi sudah dipenuhi pengunjung. Sebentar lagi waktunya berbuka puasa. Sepasang muda-mudi seperti merpati, duduk menunggu kopi sejagad disajikan. Kadang bercerita dan tertawa, kadang saling mencuri pandang, atau membisu tertikam rasa. Di sudut lain, duduk bergerombol tua-muda berkelakar tentang politik. Sedangkan di kursi kayu yang mengarah ke bawah, duduk sendiri perempuan muda. Bercelana jeans dan berjaket kulit, rambut terurai hitam kecoklatan dengan sebatang rokok yang mengepul disela dingin yang menerobos hatinya. Berkali-kali hanya memperhatikan layar hp androidnya dan tidak membutuhkan siapa pun. Lalu tiba-tiba saja malam hadir. Lampu-lampu kecil mulai menyala.
Ramadan meracik kopi Arabika Palutungan dengan alat V16, sedangkan rekannya meramu kopilate pesanan ibu guru menor yang sedang menikmati acara buka bersama. Seorang barista lainnya menyalakan grinder.
Di kedai kopi itu, Ramadan banyak mendengar kisah. Usaha yang bangrut, hutang yang tak terbayarkan, perselingkuhan, caleg yang gagal, dan para pembual yang senang bercerita tentang kekuasaan. Di kedai kopi itu, dari remaja bau kencur yang jatuh cinta sampai pejabat berbintang toejoeh, atau lelaki tua renta yang kesepian. Semuanya membutuhkan kehangatan secangkir kopi.
Malam di ujung pagi, kedai kopi tambah ramai. Tubuh Ramadan semakin melemah sedangkan mereka yang datang terus merasa dahaga. Siapa yang akan peduli? Tiap orang hanya perhatikan dirinya sendiri. Dingin sudah menembus kewarasan, tetapi orang-orang tidak juga segera pulang. Mungkin rumah sudah menjadi tempat yang sonder kehangatan, sehingga mereka mencari kopi di sini. Subuh pun mengintai, bunyi saur bertalu-talu.
Ramadan berjalan menyusuri jalan setapak tidak jauh dari rumahnya. Di sebuah pusara ia berhenti dan duduk, “ibu, aku datang”. Ranting dan daun kering dipungutnya satu persatu. Tidak ada suara selain angin meniup kerikil yang sembunyi di sela akar pohon tua. Lelaki tidak diijinkan meneteskan air mata. Hanya ada dua cara, pergi berkelana atau diam. Ramadan memilih menyajikan secangkir kopi.***
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.