(Curahan Hati Kang Faat atas berpulangnya Dua Kiai Penjaga Tradisi di Kaki Gn Ciremai)
suarakuningan.com - Dua Kiai penjaga tradisi di kaki Gn. Ciremai itu telah berpulang, Kiai Haji Aziz Anbar Nawawi Pimpinan Ponpes Nurul Huda Windu Sengkahan dan Kiai Haji Iing M. Nasihin Amin Pimpinan Ponpes Al-Kautsar Cilimus.
Dan memasuki hari-hari ini kehilangan itu kian terasa nyata, pekerjaan rumah kepesantren akan tambah kian berat ke depan. PR ini bagi kami bukan sekadar PR, ia lebih tepatnya disebut hutang. Hutang ini tentu saja sampai kapanpun mustahil akan sepenuhnya terbayar. Hutang atau PR yg kami maksudkan itu sedikitnya terkait dua hal, pelestarian kualitas keilmuan dan kuantitas kelembagaan.
Yang pertama, erat sekali hubungannya dengan pancang penguatan geneologi tradisi kepesantrenan. Jamak diketahui bahwa secara geografis Kota Kuda ini lebih dekat dengan Cirebon (Pasambangan, Ciptarasa, Buntet Pesantren, Benda Kerep, Babakan Ciwaringin, Kempek), namun justru uniknya kelekatan tradisi pengetahuannya saat ini lbh menjorok jauh ke daerah Tasikmalayaan.
Kiai Aziz atau lebih akrab oleh para gusdurian muda dipanggil Uwa ini adalah sesepuh Kuningan yang menghabiskan masa kepesantrenannya di Pesantren Mifahul Huda pimpinan Uwa Ajengan Choer Affandi, di Manonjaya.
Dan tak asing kemudian jika pengaruh tradisi Pesantren Tasikmalayaan ini pula lah yang memiliki pengaruh besar hampir di seluruh tanah pasundan. Di Kuningan sendiri hampir 70% Pesantren yg bertahan merupakan pelanjut waris dari tradisi keilmuan yang berasal dari Tasikmalayaan. (poin ini insyaalloh akan dtulis khusus di lain kesempatan).
Namun demikian bukan berarti Kuningan tidak pernah memiliki akar kepesantrenan yg kuat. Daerah Kuningan dlm babak awal perjumpaan Islam masuk, pernah sempat menjadi kiblat dan magnet, satu riwayat termashyur di kisaran abad 14-an adalah melalui Pesantren Sidapurna yang didirikan oleh Syaikh Maulana Akbar.
Konon menurut sebuah studi Kang @Didin Nurul Rosidin tokoh pituin penyebar Islam di daerah Kacirebonan ini adalah adik dari Syekh Nurjati Cirebon. Dari akar inilah kemudian berlanjut perjalanan tradisi kepesantrenan tua lainnya seperti di Ciwedus, Kadugedean dan Lengkong.
Satu cerita, (ttg babak pra 50/60an) kami pernah coba menanyakan langsung kepada Kiai Amiludin Karangtawang-Lengkong ttg sanad kepesantrenan yg pernah beliau dan para kiai di kuningan tempuh. Menurut beliau, " di masa eta tradisi mesantrena bisa ka mana bae, baik nya eta nu umumna ka Jawa (Tengah-Timur) atau di urang. Nu ti Kuningan ka Majalengka, ti Cianjur ka Kuningan, eta bae misalna di urang Kiai Uci Lengkong (Allahuyarham) saliyan ka Jawa anjeuna nyantrenna nya ka Cirebon, nami pesantren (Raudhatut Thalibin) ti Cirebon dicandak kadieu". Jadi ragam pisan ai baheula mah, saur Kiai Amil.
Nya akhirna dari babak penting ieu, (eh naha jadi tuluy susundaan kieu atuh euy). Dan akhirnya dari babak penting itu pulalah muncul keyakinan (benar2 haqqulyakin), bahwa tradisi geneologi pengetahuan kepesantrenan di sebuah daerah dmnapun adanya terus akan berjali(a)n secara dinamis dan silih bertukar silang kemanfaatan dan kemaslahatan.
Kembali pada PR awal terkait dgn kuantitas kelembagaan, Seksi PD Pontren Kemenag Kuningan sejak tahun 2012 lalu sempat mendata pesantren di Kabupaten Kuningan dan hasilnya tampak terjadi perubahan yang drastis, yaitu dari kisaran 400an, kemudian turun hingga 200-an.
Pola pergeseran angka ini tergolong unik, mungkin dikarenakan model pendataan yg digunakan, seperti misalnya sistem pendataan Emis ala Pendis Kemenag yg membatasi jumlah minimal santri mondok (bukan kalong),varian dan tingkatan kajian kitab kuning, beserta perangkat infrastruktur lainnya yg harus dipenuhi.
Walhasil kondisi yg ditemukan di lapangan adalah plang ada, kobong dan kitab ada namun sang Kiai penerus tdk ada yg menggantikan, atau Sang Kiai ada, kobong dan kitab masih tersedia namun objek santri yg mondok tdk ada atau kurang (emis pendis mmberi batas minimal 30 santri).
Temuan lainnya tren pesantren di Kuningan sejak era 80/90-an kian bergeser, baik berubah menjadi model madrasah saja (saya menemukan bbrpa plang dan kobong yg masih bertengger utuh, namun yg berjalan adalah hanya mts/ma), Diniyah Takmiliyah, Taman Pendidikan Alquran atau pengajian majelis taklim.
Dalam kurun kiwari sempat terbersit satu keoptimisan yaitu ketika banyak lembaga pendidikan madrasah mts/ma yg make sistem asrama dan menempatkan seorang Kiai sebagai pembimbing keagamaan, namun tetap saja mungkin hasil maupun proses perjalanan ada yg berbeda.
Nilai yg berbeda yg kami maksudkan tentu saja adalah terkait dengan ruh, semangat, maupun haibah atau azzam yg mengitarinya. Pada dua sosok Kiai yg baru saja meninggalkan kita itu misalnya bnyak sekali mewariskan tradisi kepesantrenan yg tak mudah untuk abadi dirawat. Dari Kiai Iing, keistiqamahan dalam menjaga santri sebagai benteng tafaqquh fiddin itu sangatlah kokoh dan kuat (tradisi bahtsul masail antar pesantren di wilayah kaler masih terus terjaga hingga sekarang).
Kiai Iing di masa hidupnya bahkan terus menjaga tradisi keilmuan dr para kiai sebelumnya, seperti Kitab Jawahirul Kalamiyah Karangan Uci Syarifudin Lengkong yg merupakan syarh dari Kitab Jurumiyyah itu, hingga saat ini masih terus diajarkan kepada santri-santri Al-Kautsar maupun di sekitar Cilimusan. Tiada waktu barang sedetikpun yg dihabiskan oleh Kiai IIng selain untuk kepentingan santri dan pesantrennya.
Dan kepada Wa Aziz pula lah kita jg dapat benar-benar belajar, bagaimana dan kapan sejatinya kebutuhan umat di luar lingkar Pesantren itu dapat benar-benar dikawal dan terus diperjuangkan. Dan dari dua figur Kiai penjaga tradisi ini pulalah, berkah berupa kemaslahatan dan kemanfaatan atas ilmu dan amaliyah kebajikan dapat direguk tumaninah oleh para santri dan masyarakat Kuningan.
Berpulangnya dua Kiai Panutan adalah kerugian bagi yang ditinggalkan. PR dan hutang kian teramat berat untuk mampu ditunaikan.
Duh Gusti, kiranya butuh berapa kali cicilan agar kami dapat lulus dr hutang. Kelahiran UU Pesantren mungkin merupakan bagian dr jawaban, namun tanpa doa dan keterlibatan maka dua wajah teduh Kiai panutan itu akan terus membayang dan mengingatkan.
Lahumal Fatihah.
suarakuningan.com - Dua Kiai penjaga tradisi di kaki Gn. Ciremai itu telah berpulang, Kiai Haji Aziz Anbar Nawawi Pimpinan Ponpes Nurul Huda Windu Sengkahan dan Kiai Haji Iing M. Nasihin Amin Pimpinan Ponpes Al-Kautsar Cilimus.
Dan memasuki hari-hari ini kehilangan itu kian terasa nyata, pekerjaan rumah kepesantren akan tambah kian berat ke depan. PR ini bagi kami bukan sekadar PR, ia lebih tepatnya disebut hutang. Hutang ini tentu saja sampai kapanpun mustahil akan sepenuhnya terbayar. Hutang atau PR yg kami maksudkan itu sedikitnya terkait dua hal, pelestarian kualitas keilmuan dan kuantitas kelembagaan.
Yang pertama, erat sekali hubungannya dengan pancang penguatan geneologi tradisi kepesantrenan. Jamak diketahui bahwa secara geografis Kota Kuda ini lebih dekat dengan Cirebon (Pasambangan, Ciptarasa, Buntet Pesantren, Benda Kerep, Babakan Ciwaringin, Kempek), namun justru uniknya kelekatan tradisi pengetahuannya saat ini lbh menjorok jauh ke daerah Tasikmalayaan.
Kiai Aziz atau lebih akrab oleh para gusdurian muda dipanggil Uwa ini adalah sesepuh Kuningan yang menghabiskan masa kepesantrenannya di Pesantren Mifahul Huda pimpinan Uwa Ajengan Choer Affandi, di Manonjaya.
Dan tak asing kemudian jika pengaruh tradisi Pesantren Tasikmalayaan ini pula lah yang memiliki pengaruh besar hampir di seluruh tanah pasundan. Di Kuningan sendiri hampir 70% Pesantren yg bertahan merupakan pelanjut waris dari tradisi keilmuan yang berasal dari Tasikmalayaan. (poin ini insyaalloh akan dtulis khusus di lain kesempatan).
Namun demikian bukan berarti Kuningan tidak pernah memiliki akar kepesantrenan yg kuat. Daerah Kuningan dlm babak awal perjumpaan Islam masuk, pernah sempat menjadi kiblat dan magnet, satu riwayat termashyur di kisaran abad 14-an adalah melalui Pesantren Sidapurna yang didirikan oleh Syaikh Maulana Akbar.
Konon menurut sebuah studi Kang @Didin Nurul Rosidin tokoh pituin penyebar Islam di daerah Kacirebonan ini adalah adik dari Syekh Nurjati Cirebon. Dari akar inilah kemudian berlanjut perjalanan tradisi kepesantrenan tua lainnya seperti di Ciwedus, Kadugedean dan Lengkong.
Satu cerita, (ttg babak pra 50/60an) kami pernah coba menanyakan langsung kepada Kiai Amiludin Karangtawang-Lengkong ttg sanad kepesantrenan yg pernah beliau dan para kiai di kuningan tempuh. Menurut beliau, " di masa eta tradisi mesantrena bisa ka mana bae, baik nya eta nu umumna ka Jawa (Tengah-Timur) atau di urang. Nu ti Kuningan ka Majalengka, ti Cianjur ka Kuningan, eta bae misalna di urang Kiai Uci Lengkong (Allahuyarham) saliyan ka Jawa anjeuna nyantrenna nya ka Cirebon, nami pesantren (Raudhatut Thalibin) ti Cirebon dicandak kadieu". Jadi ragam pisan ai baheula mah, saur Kiai Amil.
Nya akhirna dari babak penting ieu, (eh naha jadi tuluy susundaan kieu atuh euy). Dan akhirnya dari babak penting itu pulalah muncul keyakinan (benar2 haqqulyakin), bahwa tradisi geneologi pengetahuan kepesantrenan di sebuah daerah dmnapun adanya terus akan berjali(a)n secara dinamis dan silih bertukar silang kemanfaatan dan kemaslahatan.
Kembali pada PR awal terkait dgn kuantitas kelembagaan, Seksi PD Pontren Kemenag Kuningan sejak tahun 2012 lalu sempat mendata pesantren di Kabupaten Kuningan dan hasilnya tampak terjadi perubahan yang drastis, yaitu dari kisaran 400an, kemudian turun hingga 200-an.
Pola pergeseran angka ini tergolong unik, mungkin dikarenakan model pendataan yg digunakan, seperti misalnya sistem pendataan Emis ala Pendis Kemenag yg membatasi jumlah minimal santri mondok (bukan kalong),varian dan tingkatan kajian kitab kuning, beserta perangkat infrastruktur lainnya yg harus dipenuhi.
Walhasil kondisi yg ditemukan di lapangan adalah plang ada, kobong dan kitab ada namun sang Kiai penerus tdk ada yg menggantikan, atau Sang Kiai ada, kobong dan kitab masih tersedia namun objek santri yg mondok tdk ada atau kurang (emis pendis mmberi batas minimal 30 santri).
Temuan lainnya tren pesantren di Kuningan sejak era 80/90-an kian bergeser, baik berubah menjadi model madrasah saja (saya menemukan bbrpa plang dan kobong yg masih bertengger utuh, namun yg berjalan adalah hanya mts/ma), Diniyah Takmiliyah, Taman Pendidikan Alquran atau pengajian majelis taklim.
Dalam kurun kiwari sempat terbersit satu keoptimisan yaitu ketika banyak lembaga pendidikan madrasah mts/ma yg make sistem asrama dan menempatkan seorang Kiai sebagai pembimbing keagamaan, namun tetap saja mungkin hasil maupun proses perjalanan ada yg berbeda.
Nilai yg berbeda yg kami maksudkan tentu saja adalah terkait dengan ruh, semangat, maupun haibah atau azzam yg mengitarinya. Pada dua sosok Kiai yg baru saja meninggalkan kita itu misalnya bnyak sekali mewariskan tradisi kepesantrenan yg tak mudah untuk abadi dirawat. Dari Kiai Iing, keistiqamahan dalam menjaga santri sebagai benteng tafaqquh fiddin itu sangatlah kokoh dan kuat (tradisi bahtsul masail antar pesantren di wilayah kaler masih terus terjaga hingga sekarang).
Kiai Iing di masa hidupnya bahkan terus menjaga tradisi keilmuan dr para kiai sebelumnya, seperti Kitab Jawahirul Kalamiyah Karangan Uci Syarifudin Lengkong yg merupakan syarh dari Kitab Jurumiyyah itu, hingga saat ini masih terus diajarkan kepada santri-santri Al-Kautsar maupun di sekitar Cilimusan. Tiada waktu barang sedetikpun yg dihabiskan oleh Kiai IIng selain untuk kepentingan santri dan pesantrennya.
Dan kepada Wa Aziz pula lah kita jg dapat benar-benar belajar, bagaimana dan kapan sejatinya kebutuhan umat di luar lingkar Pesantren itu dapat benar-benar dikawal dan terus diperjuangkan. Dan dari dua figur Kiai penjaga tradisi ini pulalah, berkah berupa kemaslahatan dan kemanfaatan atas ilmu dan amaliyah kebajikan dapat direguk tumaninah oleh para santri dan masyarakat Kuningan.
Berpulangnya dua Kiai Panutan adalah kerugian bagi yang ditinggalkan. PR dan hutang kian teramat berat untuk mampu ditunaikan.
Duh Gusti, kiranya butuh berapa kali cicilan agar kami dapat lulus dr hutang. Kelahiran UU Pesantren mungkin merupakan bagian dr jawaban, namun tanpa doa dan keterlibatan maka dua wajah teduh Kiai panutan itu akan terus membayang dan mengingatkan.
Lahumal Fatihah.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.