oleh : Coach Ari (FB. Ari M. Ridwan) ( IG; @Ari M. Ridwan)
(Trainer Amco / Leadership Trainer / Kepala Bagian Pembinaan Pondok Pesantren Terpadu Al-Multazam / Konsultan Permasalahan Pelajar dan Pemuda / Trainer Muda Kuningan / Mahasiswa Semester Akhir Pasca Sarjana Uniku Prodi Magister Manajemen / Instruktur Senam Kebugaran / Penulis Buku “Kembali Kepada Fitrah” )
suarakuningan - Hari Sabtu kemarin saya dan tim melakukan razia kamar di salah satu asrama santri. Ada beberapa santri yang bersyukur dan ada juga yang merespon dengan kata-kata yang tidak terukur. Kata-kata yang mungkin buat orang yang baperan bisa tersungkur.
Ya memang konsekuensi menjadi pengasuh santri, harus siap berbenturan dengan anak-anak yang belum sadar sepenuhnya terkait hakikat kehidupan. Kehidupan di dunia yang tidak mungkin kita berada di dalamnya selamanya. Ada batas akhir dimana kita harus meninggalkan dunia. Tapi menjadi sebuah keyakinan saya bahwa ketika kita melakukan sesuatu yang baik, menyampaikan kebenaran kemudian ada yang belum terima, bisa dipastikan bahwa yang belum terima itu adalah orang yang belum baik. Karena mustahil orang baik tidak suka dengan kebaikan.
Artikel lainnya: Hidup Hadapi
Artikel lainnya: Hidup Hadapi
Jadi teringat sebuah cerita yang terdapat di salah satu grup telegram yang bercerita tentang seorang kambing dan gembalaannya. Suatu hari, seorang penggembala kambing sedang duduk beristirahat sambil mengamati kambing-kambingnya yang sedang sibuk menikmati rerumputan di padang hijau yang luas.
Penggembala itu memegang sebuah rotan di sebelah tangannya yang tidak akan segan-segan ia gunakan untuk memecut kambing yang keluar dari kumpulannya. Bukan apa-apa, kambing yang memisahkan diri, ia nanti bisa tersesat dan membahayakan dirinya sendiri.
Para kambing pun menunjukkan sikap yang berbeda-beda berkaitan dengan hal ini. Ia yang berpikir lebih cerdas, tidak akan berani pergi jauh-jauh dari kerumunan. Karena ia sudah pernah merasakan sabetan rotan si penggembala, dan tak mungkin ia mau merasakan kedua kalinya.
Beberapa lagi suka melupakan kenyataan bahwa ia tak boleh menjauhi teman-temannya. Ketika ia melakukan hal tersebut, si penggembala akan melihatnya dan memecut satu kali kambing itu. Cukup satu kali, karena setelah itu ia ingat akan kesalahannya dan kembali kepada barisan yang benar.
Namun ada pula jenis kambing ketiga, yang tidak juga mengerti apa yang harus ia lakukan. Ia tetap saja tidak bisa diatur. Setiap kali melanggar, pecutan rotan akan melayang di tubuhnya. Namun tetap saja ia melakukan kesalahan lagi dan lagi. Berkali-kali ditegur dengan rotan yang menyakitkan pun ia belum sadar juga. Barangkali kambing-kambing itu berpikir bahwa mereka adalah kambing yang tidak punya akal.
Jika kita amati kisah di atas, ada benarnya juga kalau yang berbuat seperti itu adalah kambing yang tidak punya akal. Justru yang menjadi pertanyaan, jika pelakunya adalah manusia. Mereka tahu hidupnya berkali-kali ditegur oleh guru bahkan oleh Allah SWT melalui musibah, namun belum sadar juga.
Orang yang cerdas, tidak akan berani melanggar aturan Allah. Kalaupun pernah mengalami teguran tersebut karena lupa, maka cukup satu kali setelah itu ia ingat akan kesalahannya dan kembali kepada jalan yang benar. Justru yang mengherankan adalah mereka yang tidak pernah bisa diatur meski sudah menerima teguran berulang-ulang.
Bagi para pengasuh dan pendidik generasi masa depan, selalu ada tantangan disetiap asuhan dan didikan yang kita lakukan. Jika ada anak yang belum terima dengan arahan kita, segera sampaikan bahwa apa yang kita lakukan adalah “UNTUK KEBAIKAN (MU)” di masa yang akan datang.
Semoga dengan seringnya anak tersebut mendengar kalimat itu, semakin muncul juga kesadaran bahwa apapun yang kita lakukan adalah buat kebaikan mereka, baik ketika di dunia atau di akhirat.
Teruslah mengasuh, teruslah mendidik karena setiap kapal yang berlabuh perlu diatur dengan baik!***
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.