oleh : Coach Ari (FB. Ari M. Ridwan) ( IG; @Ari M. Ridwan)
(Trainer Amco / Leadership Trainer / Kepala Bagian Pembinaan Pondok Pesantren Terpadu Al-Multazam / Konsultan Permasalahan Pelajar dan Pemuda / Trainer Muda Kuningan / Mahasiswa Semester Akhir Pasca Sarjana Uniku Prodi Magister Manajemen / Instruktur Senam Kebugaran / Penulis Buku “Kembali Kepada Fitrah” )
Disela-sela perjalanan menuju Jakarta untuk mendampingi calon santri dan wali santri yang akan melaksanakan tes masuk bagi santri, serta wawancara bagi calon wali santri. Saya cukup tersentak ketika melihat ada seorang anak yang masih menggunakan seragam sekolah sibuk dengan handphone (HP) nya di sebuah warung.
Langsung muncul self talk (berkata pada diri sendiri) dalam benak, "Kasihan orang tua yang sudah banting tulang untuk biayanya sekolah, mungkin orang tua menyangka anaknya sedang belajar di sekolah. Siapa yang salah?" Self talk saya sambil menghela nafas.
Jika berkata salah, tentunya jika kita mengambil hadits Rasul yang bersabda bahwa "setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah (suci)" dan pribahasa yang berbunyi, "Children are like a blank sheet of paper (Anak-anak seperti lembar kertas yang kosong)", maka yang pertama kali salah adalah orang tua. Kenapa? Karena berdasarkan hadits dan pribahasa tersebut, anak-anak bagaikan kertas putih, yang akan menerima apapun yang ditulis orang tuanya di atas kertas tersebut.
baca juga: The Art of Conflict
Jika anak diibaratkan seperti kertas, berarti metafora yang paling tepat untuk mengumpamakan orang tua adalah pensil! Wahai para orang tua, kita semua adalah seumpama pensil. Mari kita renungkan bagaimana menjadi sebuah pensil yang baik. Sebuah pensil jika terus dipakai untuk menulis lambat laun akan menjadi tumpul, maka pensil tersebut perlu diraut kembali agar menjadi tajam seperti sedia kala.
Penulis mencoba, mengingatkan diri pribadi dan para orang tua agar bisa menjadi pensil yang senantiasa mengisi kertas kosong dengan sesuatu yang baik. Setidaknya ada dua cara agar kita sebagai orang bisa menjadi 'pensil' terbaik bagi anak-anak kita, yaitu:
1. Senang belajar. Sebagai orang tua, kita harus selalu update pengetahuan baru setiap saat. Ingatlah bahwa zaman berubah, masa berganti, anak kita menerima informasi lebih cepat dari orang tuanya. Jika orang tua terus mendidik dengan ilmu yang statis, lambat laun akan menjadi tumpul. Maka meraut pensil itu berarti kembali belajar kepada ahlinya, membaca buku, dan mencoba hal-hal baru. Mungkin belajar itu sedikit melelahkan, apalagi jika usia sudah tua. Sama seperti pensil, ketika ia diraut tentu terasa sedikit menyakitkan. Tetapi hanya dengan begini pengetahuan sang orang tua kembali menjadi tajam seperti sedia kala.
2. Berani mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada anak. Sifat berikutnya dari sebuah pensil adalah rela mengakui kesalahan. Coba lihat, bukankah banyak pensil yang kemana-mana selalu membawa penghapus. Terkadang penghapus ini permanen berada pada pangkal bagian atas dari pensil itu sendiri. Seolah-olah ia berkata, "Aku hanya sebuah pensil yang bisa salah saat menulis. Maka gunakan penghapus ini untuk menghapus kesalahanku."
Orang tua yang baik tentu berani mengakui kesalahannya kepada anak-anak. Jangan maunya menang sendiri, apalagi jika anak sebetulnya tahu kalau orang tuanya bersalah namun ia tak mendapat contoh seperti apa perbuatan meminta maaf itu. Kelak anak seperti ini saat dewasa juga tidak akan bisa mengakui kesalahan, apalagi meminta maaf pada orang lain. Karena ia tidak pernah tahu contohnya dari sang orangtua.
Terkait poin ini, kita bisa belajar dari sahabat Umar bin Khattab yang ditulis dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa suatu hari Khalifah Umar berencana membuat peraturan agar mahar pernikahan yang lebih dari 40 uqiyah akan dialokasikan untuk Baitul Mal (tempat penyimpanan kas negara).
Ketika itu seorang perempuan mendekatinya lalu membacakan Surat An-Nisa ayat 20, yang menyebutkan larangan seseorang mengambil kembali mahar yang sudah diberikan. Khalifah pun menyadari bahwa rencana beliau kurang tepat. Maka hal tersebut dibatalkan kembali sambil berkata, "Perempuan itu yang benar, dan lelaki ini yang salah."
Lihatlah bagaimana seorang Amirul Mukminin saja berani mengakui kesalahan. Maka pantaskah kita sebagai orang tua jika saat berbuat salah, justru mencari-cari alasan dan pembenaran dari kesalahan yang sudah dilakukan?
Orang tua layaknya pensil, yang selalu sedia penghapus dan siap dihapus kesalahannya jika memang bersalah. Dengan demikian anak-anak kita akan mendapati tulisan pensil yang benar dalam lembaran kertas putih mereka.
So, bagi para orang tua. Jika melihat anak berbuat salah, segera introspeksi diri, barangkali ada hal yang pernah kita lakukan dan menyakiti perasaan anak kita. Saya yakin, tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya gagal, tapi banyak orang tua yang menyampaikan pesan tersebut dengan cara yang belum tepat sehingga membuat anak kurang nyaman.
Begitupun bagi para anak, sadarilah bahwa orang tua kita sayang kepada kita. Buktinya kita bisa sebesar sekarang. Itu karena kasih sayang orang tua kita kepada kita. Jika kita pernah dimarahi, yakinlah bahwa marahnya orang tua bukan marah karena emosi, tapi marah karena peduli. Karena orang tua tidak mau melihat anaknya salah arah sehingga masa depannya susah.
Tidak ada kata terlambat untuk berubah menjadi lebih bermanfaat. Bagi orang tua, jadilah pensil yang bermanfaat bagi selembar kertas yang kosong, yang ketika tulisannya dibaca hanya terdapat kata-kata yang penuh makna. Dan bagi para anak, jadilah kertas yang terjaga dari pergaulan bebas, sehingga kertas itu akan senantiasa terlihat bersih dan rapih. Kalaupun pensil sempat menuliskan kata-kata yang kurang rapih, tapi yakinlah bahwa tujuannya hanya ingin menjaga kertas agar tetap bersih.
Berawal dari keluarga, buatlah hidup lebih bermakna!
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.