oleh : Coach Ari (Trainer Amco / Leadership Trainer / Kepala Bagian Pembinaan Pondok Pesantren Terpadu Al-Multazam / Konsultan Permasalahan Pelajar dan Pemuda / Trainer Muda Kuningan / Mahasiswa Semester Akhir Pasca Sarjana Uniku Prodi Magister Manajemen / Instruktur Senam Kebugaran / Penulis Buku “Kembali Kepada Fitrah” )
Ketika Kartini membaca al-Qur’an hatinya terasa hampa, karena ia hanya belajar mengeja dan membaca tanpa memahami apa yang dibacanya. Ketika ia meminta guru ngajinya mengartikan al-Qur’an justru Kartini dimarahi.
Kartini mulai gelisah dan sangat gelisah karena belum tahu apa yang terkandung dalam al-Qur’an yang ditulis dalam bahasa Arab.Oleh karena itu, sebagaimana beliau mampu memahami Bahasa Belanda, Prancis dan Inggris, maka bahasa agamanya, yakni Arab juga ia berusaha pelajari. Namun Kartini tidak menemukan guru bahasa Arab waktu itu.
Takdir berkata lain. Akhirnya R.A. Kartini bertemu dengan seorang Kyai yang bernama Kyai Soleh Darat. Suatu waktu, menurut Ny. Fadihila Sholeh (Cucu Kyai Soleh), awal mula Kartini bertemu dengan Kyai Sholel Darat terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya. Kyai Sholeh Darat Semarang adalah guru para ulama besar di Indonesia diantaranya: KH. A. Dahlan (pendiri muhamadiyah), KH. Hasyim Asyari (pendiri Nahdlatul Ulama NU), KH. Kholil Rembang, KH. Munawir Krapyak Yogyakarta, Kyai R. Dahlan Tremas dan beberapa kyai lainnya.
RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Kyai Sholeh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir surat al-Fatihah. RA. Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Kyai Sholeh Darat. RA Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.
Setelah pengajian selesai, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil.
Ketika Kartini bertemu dengan Kyai, terjadilah sebuah dialog,
“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.
Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.
“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al-Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Saya sangat bersyukur kepada Allah atas hari ini. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Dialog sempat terhenti sampai di situ. Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali melafalkan Subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Al quran ke dalam Bahasa Jawa.
Dalam pertemuan itu, RA. Kartini meminta agar Qur’an diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur’an. Akhirnya, secara sembunyi-sembunyi Kyai Soleh Darat menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab pegon (abjad Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa, Madura, dan Sunda). Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang.
Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan:
“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”
Melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah RA. Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu: Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya (Q.S. al-Baqoroh: 257). Yang kemudian dijadikan judul bukunya, “Dari gelap menuju cahaya” yang kemudian oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang.”
Itulah Kartini, seorang perempuan muda yang tidak kenal lelah belajar. Semangat R.A. Kartini perlu kita tiru dalam mempersiapkan bulan Ramadhan yang sebentar lagi akan tiba. Apalagi bulan Ramadhan juga disebut bulan Al-Qur’an. Sebagaimana firman Alloh SWT yang artinya,
“Bulan Ramadhan yang di dalamnya –mulai- diturunkannya Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan keterangan-keterangan yang nyata yang menunjuk kepada kebenaran, yang membedakan antara yang haq dan yang bathil.” (QS Al-Baqarah: 185)
Keberkahan Al-Quran nampak jelas dengan adanya riwayat-riwayat yang mengabarkan akan keutamaan dan keistimewaannya. Ia merupakan pedoman hidup seorang muslim, obat dari segala penyakit badan dan hati, dan banyak keistimewaan lainnya.
Jadi, mari kita sambut kedatangan bulan Ramadhan dengan senantiasa melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Semoga semakin banyak yang melantunkan Al-Qur’an, semakin cepat juga Alloh mengangkat cobaan yang sekarang sedang dirasakan.***
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.