Cerpen
Hai, pria (yang tidak lagi) jenaka.
Bagaimana kabarmu? Apakah hari-harimu menyenangkan?
Sepertinya lebih dari sekedar menyenangkan ya. Syukurlah jika memang iya, karena setidaknya aku tak perlu lagi memastikan kamu sedang dalam kondisi baik-baik saja atau tidak.
Saat ini, aku sedang duduk termenung di dekat jendela kamar. Diluar sedang hujan dan walaupun hari sudah gelap, aku membiarkan jendelanya terbuka. Tidak ada kelip bintang, apalagi sinar lembut bulan. Semuanya gelap.
Suasana malam ini seolah ingin menjadi gambaran akan kondisi perasaanku saat ini, meredup. Iya, sepertinya semua bentuk kemarahan yang hanya berasal dari satu sumber, kangen. Telah redam dengan sendirinya. Hatiku tidak lagi menginginkan apa-apa, selain meminta pada tuannya (aku) agar tak terus menerus mengingatmu.
Aku tidak lagi tega, sehingga sedikit demi sedikit aku mengabulkan keinginannya. Aku berusaha melupakan kita. Awalnya, terasa sangat mustahil & sulit sekali. Aku tidak bisa membencimu bahkan ketika fakta-fakta dibalik tujuanmu mendekatiku terkuak. Aku menyayangkan tindakanmu, yang ‘sengaja’ ingin menduakan. Tapi tidak cukup kuat menjadi alasan untuk membenci kamu.
Hingga satu minggu yang lalu, sumber luka paling fatal kamu torehkan. Aku tidak ingin mengungkapkannya dalam tulisan ini, terlalu perih bahkan untuk sekadar mengingatnya. Walaupun di satu sisi aku bersyukur, karena setelah menangisi perih yang kamu torehkan dalam hati, aku bisa mengikhlaskan dan merelakan kamu pergi. Sesuatu yang dulu aku anggap mustahil, tidak mungkin.
Perasaan ini akan selalu mengingat kebaikan yang pernah kamu berikan tapi logika juga memiliki ingatan yang sama kuatnya untuk turut serta memberikan peringatan kepadaku, bahwa sikap & ucapanmu satu minggu yang lalu adalah sebuah bukti nyata kamu tak lagi memiliki perasaan yang sama.
Lalu kenapa aku harus terus berusaha dengan memelihara kamu dalam kepala? Rasanya tidak adil.
Ketika menulis tulisan ini, aku masih belum sepenuhnya bisa percaya bahwa kini mampu menuliskannya. Rasanya, dulu tidak pernah terpikirkan sedikit pun aku akan menuliskan sebuah tulisan berjudul, Reaksi Redup.
Sebuah tulisan tentang berakhirnya kisah kita yang menyenangkan, sebuah hubungan yang berjalan dalam tempo yang sebentar tapi mampu membuat kehidupan kita menjadi berubah atau kehidupanku lebih tepatnya.
Meskipun kini kehidupan percintaanku meredup tidak demikian dengan aspek kehidupanku yang lain, yang kian berlari mengejar ilmu-ilmu baru. Awalnya, ditinggalkan olehmu seorang diri seperti malam hari yang tak kunjung siang.
Aku merasakan kegelapan yang teramat sangat mencekam. Tetapi seorang teman menasehatiku, bahwa berkahnya hidup seseorang bukan hanya perihal pasangan dan perasaan suka tapi keberkahan usia, sehat & semakin bertambahnya ilmu yang menjadi dasar dalam mengamalkan segala perbuatan baik adalah keberkahan yang tidak boleh luput untuk disyukuri. Aku mengingat nasehat itu hingga saat ini.
Aku menenggelamkan diri dalam kesibukan memahami ilmu-ilmu baru, mencoba mencari makna hidup dari sudut pandang yang baru. Kesibukanku ditengah-tengah suasana patah hati, sedikit demi sedikit mengalihkan isi pikiranku yang dulu tidak pernah lepas dari memikirkan kamu. Ia mulai memenuhi ruang kepala, memberikan kekuatan pada logika & mampu menetralisir perasaan, walau tidak berlangsung lama. Tapi aku pikir ini adalah awal yang baik untuk segera melupakan ‘kita’.
Sedih masih menghinggapi perasaan ini, tapi aku lelah melewati kesedihan ini sendirian. Melihat bahagiamu menjadi sebuah hiburan tersendiri karena aku bisa melihatmu tersenyum bahagia, walau bukan lagi aku penyebabnya.
Matahari Setengah Lingkar (itu julukan yang aku berikan untukmu) tugasmu memberikan kekuatan & warna - warna indah dalam hidupku, telah selesai. Saat ini, aku hanya ingin menjadi sosok malam hari yang hening & menentramkan, malam yang hanya berisikan bintang-bintang, menjadi waktu terbaik untuk beristirahat, waktu terbaik untuk memanjatkan doa-doa baik, merenungi diri & waktu yang digunakan untuk 'kembali’ dari segala langkah pergi. Iya, aku telah kembali dari perjalanan jauh & berbahaya yang nyaris menyesatkan aku dari jalan-Nya. Nyaris merebut bahagia miliknya hanya karena aku juga memiliki perasaan yang sama.
Aku mencintaimu, ketika bahkan kamu menatapku hanya sebagai sosok perempuan yang membuatmu penasaran. Aku tidak sekalipun membencimu, meskipun alasanmu mendekatiku terkuak dan menyakitiku, kamu memandangku ketika ingin dan mengabaikan ketika tak ingin. Aku memedulikanmu, meskipun untuk melihat status whatsappku saja seperti sesuatu yang senilai dengan dosa terbesar bagimu; tidak pernah kamu lakukan.
Aku ikhlas, akan menerima semua akibatnya. Jadi, Dear, apakah aku sudah boleh menerima penggantimu?
Dari aku, perempuan yang selalu ketakutan kehilangan kamu. Dan akhirnya memang benar harus begitu. Kehilanganmu.
Calendula,
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.