Oleh Dadi Setiadi (IG: @dadihystoria)
Namun seiring perubahan
zaman, tradisi carita pantun nu
mangrupakeun seni tutur lambat-laun punah –kendati terus hidup sebagai teks.
Marwahnya tetap hidup sebagai hal yang diandaikan oleh masyarakat Sunda dengan
menjunjung tinggi nilai luhur kebudayaanya. Misalnya saja carita pantun Lutung Kasarung.
Perkara
Identitas
Manusia berada diantara
perubahan, ia sering terjebak untuk larut dalam perubahan. Identitas atau
perkara siapa aku menjadi sangat
penting. Paling tidak, sebagai penanda agar perubahan tidak dianggap sebagai
suatu hal yang mengaburkan.
Identitas merupakan
proses dialektik, ia terbentuk sebagai proses tawar-menawar, pandang-memandang.
Apa yang menjadi bagian diri/aku –lambang
kepenuhan identitas, bukan begitu saja ada lewat proses tawar dan pandang
semata. Melainkan ditemukan lewat proses saling menyapa dalam kesadaran saling memberi dan menerima.
Persis pakaian orang di
tengah gurun. Sebaiknya identitas dikenakan
secara longgar. Pakaian yang longgar memungkinkan bentuk tubuh pemakai
terbentuk oleh angin yang menerpanya. Bentuk pakaian tidak dapat dirumuskan
secara pasti, tapi ditafsir terhadap bentuk yang diciptakan oleh angin ketika
menelusuri lekuk yang kadang tampak kadang tidak. Dengan kata lain, sebelum
kita tahu di mana ia terletak kita harus menunda
untuk memastikannya.
Memastikan –memutlakan Aku sebagai identitas yang ajeg berarti
kita berhenti pada penganganan bahwa realitas itu diam pada satu fase dan tidak
mengandung energi untuk menemukan fase yang lain. Padahal, semuanya ada dalam gerak metamorfosa menuju
sempura, paripurna.
Maka kita akhiri disini
bahwa identitas adalah perkara kelahiran yang tak kunjung usai. Sebab semuanya ada
dalam gerak metamorfosa menuju sempurna.
Memaknai
Pencarian Guruminda
Pencarian
Guruminda dalam Lutung Kasarung bisa dijadikan jejak samar dalam kaitannya usaha
pencarian identitas yang kita bicarakan di awal. Untuk itu, mari kita bayangkan
sosok Guruminda dalam buai Buana Nyuncung,
dunia kahyangan, dunia wangi tanpa
keringat, kesatuan dunia yang satu; damai.
Keputusannya untuk mencintai –memandang dengan hasrat memiliki
terhadap Purbasari, membuat Guruminda terusir dari kahyangan dan menjelma diri sebagai lutung (kera hitam) dengan menanggung resiko tidak dapat kembali ke
kahyangan.
Penolakannya atas dunia
yang damai, satu warna, barangkali itulah resiko proses pencarian yang dianggap
menakutkan; sebab harus selalu mengorbankan rasa aman yang relatif sedang
dimiliki. Bukankah setiap orang akan nyaman dengan kehidupannya yang tenang?
Pikiran damai dan hati tentram, bukan malah kebalikannya?
Dengan anggapan begitu,
maka pada beberapa orang terdapat pikiran bahwa perkara identitas adalah kokoh.
Ia diam pada satu fase saja, karena takut gelisah dan lebih menginginkan
ketenangan semu.
Misalnya ada yang
merasa ajeg identitasnya sebagai diri yang begitu asyik bermain sambil
meremehkan hal ruhani dan kearifan, sehingga ia terjebak menjadi objek dalam
permainan gejala. Atau merasa diri yang bersih ruhani namun enggan untuk
bermain dengan gejala.
Pada sisi lain, pencarian identitas adalah usaha yang
sulit, fluktuatif. Bahkan Hasan Mustapa menuliskan Teu jauh ti Buruy ngambul//Bijil ti cai ka cai//kasasar lamun
misaha//kasasar lamun mikir//kumaha alam luarna//jagana baring supagi.
Buruy
(kecebong)
menunjukan suasana pencarian identitas. Bijil
ti cai ka cai, menegaskan bahwa pencarian bisa timbul-tenggelam. Kadang
menemukan titik kulminasi semangatnya, atau turun sebawah-bawahnya. Bukankah
kecebong tidak semuanya menjadi kodok dan melewati fasenya untuk bisa sampai di
daratan? Sebab itu, pencarian identitas membutuhkan orang yang berani, M. Iqbal
sampai menuliskan Hanya manusia
pemberanilah yang bisa bermuka-muka dengan Tuhan.
Usaha pencarian
sebagaimana kita maknai dalam Lutung Kasarung, juga menyuratkan perihal
Guruminda dengan Purbasari Ayuwangi; Cinta. Dalam fase perjalanan yang jauh
–mengejar cintanya, seringkali Guruminda dilanda masalah keputusasaan
bertubi-tubi dan menuntut kesabaran menghadapi sejumlah masalah yang jika dalam
bentuk Guruminda Kahyangan pasti
mudah dihadapinya. Tapi ini tidak.
Pada konteks ini, perlu
kiranya kita memaknai dangding Hasan
Mustapa dalam upayanya menemukan dua kearifan –Guruminda (Representasi nilai
kelangitan) dan Purbasari (Repsentasi nilai lokal/kebumian) berjudul Nyundakeun Arab nguyang ka Arab, Ngarabkeun
Sunda tina basa Arab.
Hasan Mustapa
mengingatkan sikap lupa akan asal usul dalam sebuah proses pencarian, akan membuat manusia kasarung,
kasasab dalam lingkaran tanpa ujung.
Tah
kitu yataroddadun, da bongan piroebihim, katambias parahuna, kerok miwirinci
hiji.
Yataroddadun
sendiri merupakan keadaan yang menggambarkan seseorang yang melakukan pencarian
(perenungan) tidak berpijak secara benar, sehingga ia berputar tidak menemukan
akhir karena bermula dari awal yang tak tentu.
Kasarung
turut lulurung, balik deui balik deui, sasab dina simpangan, cerik deui, cerik
deui.
Oleh karenanya, jalan
keluar yang hendak diambil oleh Hasan adalah eling ka wiwitan, mangka awas ka wekasan (harus ingat pada asal,
harus ingat pada akhir). Guruminda mesti mengingat asal pengasingannya, kenapa
ia terusir dari buana nyuncung? Cinta
bukan? Maka Guruminda mesti ingat tentang cintanya itu –Purbasari, sebagai
syarat pencarian identitas yang tak
kunjung usainya.
Benar kita tahu, kelak
Guruminda melaksanakan perkawinan dengan cintanya. Sebuah perkawinan –dalam hal
ini, tentu bukan proses penaklukan satu atas yang lain. Melainkan proses yang
berawal dari, melalui proses dan berakhir dengan saling memahami dan saling
menghargai.
Apakah selesai pencarian Guruminda? Pada akhirnya,
Guruminda berhasil berubah bentuk dari lutung. Ia maju sebagai manusia,
identitas baru yang belum purna ia
jalin. Pencarian belum lagi usai.
Sebagai catatan akhir, perenungan dan penyingkapan dalam
aktivitas sastra; puisi, carita pantun
–lutung kasarung misalnya, hemat penulis dibutuhkan sebagai alternatif
memandang realitas.
Sebab boleh jadi
pandangan Adonis benar, bahwa kelak nanti yang akan memenuhi kebutuhan spritual
millenium ketiga adalah puisi –termasuk aktivitas sastra lainnya. Suatu
gelanggang batiniah yang kita butuhkan untuk mengeksplorasi dan menemukan
gairah baru; Sebuah kebangkitan spritual yang bisa menormalisasi peredarah
darah bumi kita yang sekarat ini.
Dengan begitu, yang
kemudian mestinya hadir dan membuat kita paham adalah, bahwa Sunda –kebudayaan
dengan segala wawasan kesusasteraan di dalamnya, adalah bagian dari kenyataan
yang dinamis.
Karenanya, penggalian
atas wawasan kesusasteraan dalam hal ini Sunda, bukan hanya sebatas idealisasi
romantisme primordial, glorifikasi berlebihan apalagi nostalgia tanpa dasar. Lebih
dari itu, ia adalah seruan sekaligus ajakan dalam ikhtiar pencarian yang tak kunjung usai –ibarat Guruminda yang terus ada
dan bergerak menuju kesempurnaan.***
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.