oleh : Tawati (Muslimah Revowriter dan Member WCWH Majalengka)
Jabar dijadikan sebagai daerah percontohan penanganan Covid-19 setidaknya bisa dilihat dari lima prinsip penanganan pandemi. Prinsip pertama adalah proaktif. Jabar sudah menerapkan siaga 1 sejak bulan Januari sebelum ada kasus pertama. Proaktif kedua jabar daerah pertama yang punya alat PCR. Prinsip kedua adalah transparan. Salah satunya membangun aplikasi Pikobar (Pusat Informasi dan Koordinasi COVID-19 Jabar) untuk keterbukaan informasi.
Prinsip Ketiga ilmiah, di mana setiap keputusan yang dibuat berdasarkan masukan dari para ahli. Prinsip keempat yaitu inovatif, di mana industri-industri di Jabar digerakkan untuk fokus melawan COVID-19, antara lain membuat alat ventilator, PCR dan alat pelindung diri. Prinsip kelima adalah kolaborasi dengan berbagai pihak atau institusi sebagai salah satu kunci penanganan pandemi COVID-19 di Jabar. (Jabarprov.go.id, 19/11/2020)
Benarkah kelima prinsip di atas mampu membuat Jabar lepas dari Covid-19? Sementara update data dari laman Pikobar per Jumat, 20 November 2020, total kasus terkonfirmasi Covid-19 di Jawa Barat sebanyak 46.456, dengan kasus baru mencapai 394. Total kasus terkonfirmasi Covid-19 di Kota Bandung sebanyak 3.412 dengan 2 kasus baru, diikuti Kabupaten Bandung sebanyak 1.630 dengan 7 kasus baru.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto beberapa waktu yang lalu menyampaikan bahwa penambahan pasien Covid yang melebihi seribu kasus merupakan suatu keberhasilan. Keberhasilan dari masifnya pelacakan yang agresif. (Kompas, 20/6/2020). Pernyataan Juru Bicara Pemerintah ini seakan menyatakan bahwa kenaikan kasus Covid tidak berhubungan dengan diberlakukannya new normal. Kenaikan ini justru merupakan prestasi karena telah berusaha secara masif melakukan pelacakan. Sehingga, new normal tidak bisa disalahkan.
Terkait antisipasi persebaran Covid-19, memang sedari awal seharusnya pemerintah mengambil langkah tegas dengan lockdown, tapi malah diabaikan. Justru belakangan pemerintah melakukan upaya pelonggaran dengan istilah new normal. Yang memperbolehkan masyarakat menjalankan aktivitas ekonomi. Kebijakan pembukaan ekonomi dan penerapan adaptasi kebiasaan baru (AKB) adalah keputusan gegabah yang akhirnya memunculkan persepsi keliru di tengah masyarakat. Mereka mengira ancaman wabah telah berakhir. Sehingga tidak sedikit yang akhirnya mengabaikan protokol kesehatan.
Bagaimana penyebaran bisa terhenti jika sektor ekonomi dibuka kembali? Kita diajak hidup berdamai dengan corona, hingga akhirnya mal, pusat perbelanjaan, kantor, pertokoan, industri sampai pariwisata, dan sekolah dibuka. Bahkan, pemerintah pun ngotot akan mengadakan Pilkada serentak pada bulan Desember yang akan melibatkan 270 daerah.
Pandemi Covid-19 jelas merupakan ancaman serius terhadap nyawa dan keselamatan masyarakat. Apalagi jika masyarakat dibiarkan terus terlibat dalam banyak keramaian. Penularan virus Covid-19 akan makin tak terkendali. Begitulah Kapitalisme tak akan pernah mampu tangani pandemi. Demokrasi yang lahir dari rahim ideologi Kapitalisme telah menghalalkan segala cara demi mempertahankan kekuasaan tanpa peduli pada keselamatan rakyat. Demikianlah watak sistem demokrasi.
Berbeda dengan sistem Islam. Dalam penyelesaian Islam terwujud dua tujuan pokok penanggulangan pandemi dalam waktu yang relatif singkat. Pertama, menjamin terpeliharanya kehidupan normal di luar areal terjangkiti wabah; Kedua, memutus rantai penularan secara efektif, yakni secepatnya, sehingga setiap orang tercegah dari bahaya infeksi dan keadaan yang mengantarkan pada kematian.
Dua tujuan pokok tersebut tercermin pada lima prinsip Islam dalam memutus rantai penularan wabah. Pertama, penguncian areal wabah (lockdown syar’i). Ditegaskan Rasulullah (Saw.), yang artinya, “Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat, maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu, maka janganlah keluar darinya.” (HR Imam Muslim)
Artinya, tidak boleh seorang pun yang berada di areal terjangkit wabah keluar darinya. Juga tidak boleh seorang pun yang berada di luar areal wabah memasukinya. Prinsip ini sangat efektif untuk pemutusan rantai penularan wabah. Sebab menutup rapat celah penularan baik sudah terinfeksi tetapi belum diketahui dengan baik karakteristik kuman dan manivestasi klinisnya, maupun dari yang terinfeksi tanpa gejala. Prinsip ini dengan sendirinya tidak saja menjamin masyarakat di luar areal wabah tercegah dari kasus impor (imported case), namun juga mereka dapat beraktivitas seperti biasa.
Kedua, pengisolasian yang sakit. Rasulullah (Saw.) menegaskan, yang artinya, “Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menular mendekati yang sehat.” (HR Imam Bukhari); “Hindarilah orang yang berpenyakit kusta seperti engkau menghindari singa.” (HR Abu Hurairah). Dimplementasikan antara lain dengan testing massive yang cepat dengan hasil akurat kepada setiap orang yang berada di areal wabah. Sebab mereka semua berpotensi terinfeksi dan berisiko sebagai penular. Selanjutnya, yang positif terinfeksi harus segera diisolasi dan diobati hingga benar-benar sembuh. Deteksi dan tracing contact dapat dilakukan untuk keberhasilan testing massive.
Ketiga, pengobatan segera hingga sembuh bagi setiap orang yang terinfeksi meski tanpa gejala (asymptomatic). Hal ini karena setiap penyakit dapat disembuhkan, sebagaimana tutur lisan yang mulia Rasulullah SAW yang artinya, “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, dan diadakan-Nya bagi tiap-tiap penyakit obatnya, maka berobatlah kamu, tetapi janganlah berobat dengan yang haram.” Di samping itu, kesehatan adalah kebutuhan pokok publik. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari).
Keempat, social distancing. Yakni orang yang sehat di areal wabah hendaklah menghindari kerumunan. Hal ini sebagaimana masukan sahabat ‘Amru bin Ash (ra.), yang dibenarkan Khalifah Umar bin Khaththab (ra.). Sebab wabah ibarat api. Kuman yang penularannya antarmanusia akan menjadikan kerumunan manusia sebagai sarana penularan, begitu juga sebaliknya.
Kelima, penguatan imunitas (daya tahan) tubuh. Mereka yang sehat tetapi berada di areal wabah lebih berisiko terinfeksi. Kondisi kuman di areal wabah relatif tinggi, sementara ia dan kondisi imunitas adalah penentu terjadinya infeksi, di samping port de entry (portal keluar masuk kuman). Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan, artinya, “Yang menentukan kadar (masing-masing) ciptaan-Nya.” (TQS Al A’la [87]:3). Caranya adalah dengan menjaga pola hidup sehat sesuai syariat. Hal ini jelas membutuhkan jaminan langsung negara dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, bahkan masker yang sesuai standar kesehatan.
Pelaksanaan kelima prinsip ini secara bersamaan meniscayakan kehidupan di areal wabah berlangsung secara normal. Di saat yang bersamaan, pemutusan rantai penularan berjalan secara efektif dan secepat mungkin, sehingga setiap orang tercegah dari bahaya infeksi dan kondisi yang mengantarkan pada kematian. Pelaksanaan kelima prinsip ini akan menutup rapat semua ruang dan celah bagi terjadinya imported case, imported case local, juga penularan atau transmisi lokal.
Pelaksanaan lima prinsip tersebut niscaya dalam sistem kehidupan Islam karena didukung sepenuhnya oleh sistem kesehatan Islam. Sementara sistem kehidupan Islam sendiri adalah unsur pembentuk sistem kesehatan Islam, khususnya sistem ekonomi Islam dan sistem politik Islam. Hanya Sistem Islam lah yang bisa dijadikan contoh dalam penanganan Covid-19. Wallahu a'lam bishshawab.***
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.