oleh, Candrika Adhiyasa
Tuk-tik-tak-tik-tuk membuat saya membayangkan langkah kaki seekor kuda yang sedang menarik ‘gerobak’ yang dikenal dengan nama delman di bentangan jalan raya kota kecil—salah satunya di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Delman merupakan sebuah transportasi tradisional beroda dua, tiga, atau empat non-mesin yang menggunakan tenaga kuda untuk penggeraknya. Nama delman sendiri disematkan sebagai bentuk penghormatan kepada penemunya yang bernama Ir. Charles Theodore Deelman, seorang insinyur pada zaman Hindia-Belanda. Ada banyak nama yang disematkan untuk kendaraan ini, misalnya saja nama sado, andong, dokar, dan lain-lain. Setiap penamaan yang berdasarkan letak kultural-geografis itu sekadar dibedakan dari desain dan jumlah roda.
Baca Juga:
Tarékah Ngamumulé jeung Ngamekarkeun Kabudayaan Sunda
Delman: Sebuah Alat Transportasi Budaya
Sekdes Se-Eks Kewadanaan Luragung Dibekali UU Kebudayaan dan Cagar Alam
Para Camat dan Kepala Sekolah Berdialog Budaya
Dinas Dikbud Kuningan Genjot Pelestarian Kebudayaan Daerah
Sekdes Tercerahkan Sosialisasi UU Pemajuan Kebudayaan
Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
Rany Optimis Pengembangan Potensi Wisata Sejarah dan Budaya di Kuningan
Luar Biasa, Rudat Masih Dilestarikan Masyarakat Kuningan
Saatnya Move On Pada Budaya Kuningan
Video:
Tradisi Ngopi Budaya Indonesia Kopi Liberica Cipasung
Penggunaan delman sebagai alat transportasi adalah untuk mengangkut manusia dan juga barang, tetapi semenjak teknologi mulai berkembang, dan transportasi mendapat perhatian penting dari sains dan teknologi, maka beban berat tidak lagi efisien dengan menggunakan delman. Pada akhirnya, delman sekadar menjadi alat transportasi bagi manusia (tentu saja termasuk juga barang-barangnya, tetapi tidak banyak) dengan jarak tempuh yang relatif pendek.
Suatu pertanyaan sederhana: ketika sains dan teknologi mengedepankan terobosan teknis mutakhir dan efisiensi penggunaan dan manfaat (kemudian bermunculan alat transportasi mesin dengan performa yang jauh lebih tinggi), kenapa delman masih bisa eksis hingga hari ini?
Di Kabupaten Kuningan, sebuah kota kecil (sebetulnya secara administratif tidak termasuk kota) dengan ikon “kuda”, bukan hal yang aneh apabila delman disoroti sebagai sesuatu yang historis, dan tentu saja bermakna. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa di samping ketertinggalan delman sebagai alat tranportasinya dalam segi terobosan teknis mutakhir dan efisiensi penggunaan dan manfaat, kenapa masih saja ada orang yang menggunakan delman sebagai alat transportasi, orang-orang tidak lagi sepenuhnya memandang delman melalui kaca mata teknis, melainkan melalui kaca mata kebudayaan. Delman adalah transportasi budaya. Dengan menaikki delman, seseorang tidak mengejar efisiensi mobilitas (kecepatan dan juga kenyamanan, barangkali?) yang ditawarkan oleh delman, melainkan untuk bertamasya melintasi fragmen maknawi (dan bahkan estetis dari sudut pandang tertentu). Maka demikianlah, orang-orang yang menaikki delman bukan lagi sekadar manusia yang membutuhkan jasa transportasi, melainkan membutuhkan jasa media produksi makna.
Dalam perspektif tertentu, seseorang yang menaikki delman akan bertemu pembagian kelas: bahwa delman (karena tampilannya yang tidak se-beken Jaguar, misalnya) hanya diperuntukkan untuk orang kelas menengah ke bawah, dan orang menengah ke atas tentu akan lebih pas kalau menaikki alat transportasi yang lebih canggih. Namun kesadaran kelas itu kini tidak lagi jelas batasnya dikarenakan delman tidak lagi ditinjau dari fungsi dan cost yang diperlukan, melainkan menjadi suatu medium makna kebudayaan tertentu. Dalam perspektif lain, delman justru dianggap ideologis, menimbang bahwa orang yang masih menaikki delman memiliki pertimbangan tradisi untuk melestarikan situs peradaban jadoel tersebut agar tetap eksis secara berkelanjutan.
Menaikki delman di sepanjang jalan Kabupaten Kuningan merupakan proses produksi makna, bahwa kota kecil ini yang secara ikonik diwakili oleh ‘kuda’, menghimpun idealisme tertentu yang tidak bisa tidak hanya mampu diwakili dengan pengalaman langsung menaikkinya. Bahwa Kabupaten Kuningan diwakili oleh ‘kuda’, dan bahwa setiap geraknya diwakili oleh suara tuk-tik-tak-tik-tuk, dan bahwa setiap hela napasnya diwakili oleh pekik kuda yang nyaring, bergairah, dan bahkan heroik. Delman dapat dianggap sebagai salah satu simbol historis yang ambil bagian dalam pembentukkan peradaban di Kabupaten Kuningan sendiri.
Delman sebagai alat transportasi mungkin tidak akan menjadi alternatif pilihan bagi orang-orang yang mulai terjebak dalam ketergesa-gesaan hari ini, dan tentu saja akan tersingkir atau bahkan punah. Namun delman sebagai alat transportasi budaya, yang tidak terbentur pada mekanisme-teknis aktual dan juga efektifitas dan kecepatan mobilitasnya, melainkan menyandarkan diri pada makna, akan tetap eksis meski teknologi transportasi sudah bisa membawa orang ke ujung dunia dengan kecepatan cahaya dan kenyamanan di atas rata-rata selama orang-orang masih produktif untuk menengok hal-hal yang abstrak tetapi indah yang terselip dalam rangka kebudayaan.
Tuk-tik-tak-tik-tuk. Barangkali ada bagusnya kita menepi dari kesibukan dalam sirkuit metropolitan dan sejenak meluangkan waktu untuk melihat wajah peradaban di Kabupaten Kuningan yang perlahan berubah menjadi kian sibuk dan mekanis dari kursi delman. ☺
Rabu, 6 Januari 2021
Semoga kuda Kuningan tetap lestari dan simbol dari kota Kuningan . Bravo bang can !!!
BalasHapus