Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan ketahanan pangan sekaligus menyejahterakan para petani. Diantaranya program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) yang digulirkan pada tahun 2015. Asuransi tani ini diharapkan dapat memberikan perlindungan dan jaminan kepada petani ketika mereka mengalami resiko gagal panen yang disebabkan oleh perubahan iklim maupun Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT).
Sementara itu para petani di Kuningan, Jawa Barat baru-baru ini dianjurkan oleh pemerintah untuk mengikuti AUTP mengingat program ini diklaim memberikan banyak manfaat dan masih sangat minimnya petani yang mengasuransikan lahannya.
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Ali Jamil menambahkan, pertanggungan yang diberikan AUTP, dalam hal ini oleh PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) yang ditunjuk sebagai pelaksana program, sebesar Rp 6 juta per hektar per musim tanam. Diharapkan, meskipun gagal panen, para petani tetap dapat berproduksi sehingga kesejahteraan mereka tetap terjaga. (Tempo. co, 19/07/2021)
Program yang disahkan melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 40 Tahun 2015 ini sebenarnya tidak terlepas dari agenda SDGs yang mempromosikan pertanian berkelanjutan, sebagaimana yang dicantumkan dalam tujuannya yang ke-2. Diantara target yang ditetapkan yaitu menjamin sistem produksi pangan yang berkelanjutan dan menerapkan praktek pertanian tangguh yang mampu meningkatkan produksi dan produktivitas, membantu menjaga ekosistem, memperkuat kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim, cuaca ekstrem, kekeringan, banjir, dan bencana lainnya.
Program ini hakekatnya merupakan bentuk lepas tangan pemerintah dalam mengurusi masalah pertanian. Alih-alih memudahkan sarana dan prasarana petani dalam peningkatan produksi, pemerintah malah menyerahkan dan membebani petani dengan harus membayar premi asuransi. Pernyataan bahwa asuransi tani merupakan jaminan bagi petani sejatinya racun berbalut madu.
Faktanya, pemerintah tidak sepenuhnya memberikan perlindungan dan jaminan, karena pemerintah hanya mensubsidi premi sebesar 80% sedangkan yang 20% dibayar oleh petani. Meskipun premi yang dibayarkan dinilai ringan, namun suatu saat bisa saja subsidi ini dicabut oleh pemerintah dengan berbagai alasan. Sehingga akan menjadi tanggungan total petani.
Subsidi yang dibayarkan oleh pemerintah pada dasarnya lebih menguntungkan korporasi pengelola asuransi dibandingkan bagi kepentingan petani.
Terlebih, asuransi ini juga merupakan salah satu cara untuk mengakumulasi dana yang digunakan untuk menggerakkan sektor nonriil demi meraih keuntungan korporasi asuransi, termasuk BUMN asuransi. Selain itu, pertanggungan sebesar Rp 6 juta Per hektar tersebut nilainya terlalu kecil, karena diperkirakan hanya mampu menutupi kerugian berupa pupuk dan bibit. Problematik di lapangan juga kerap muncul berkaitan dengan prosedur yang berbelit dan dana bantuan yang disunat.
Dengan demikian wajar, jika kondisi para petani masih jauh dari sejahtera. Sehingga tidak sedikit yang akhirnya meninggalkan profesi sebagai petani dan lebih memilih profesi lain.
Kemiskinan yang menimpa petani dari dulu hingga kini terutama karena keterbatasan modal, minimnya kepemilikan lahan, lemahnya penguasaan teknologi, dan lemahnya posisi tawar dalam penjualan hasil panen.
Akar masalahnya yaitu penerapan sistem kapitalis neoliberal di negeri ini yang menyebabkan adanya ketimpangan aset, penguasaan rantai produksi, distribusi pangan, hingga kendali harga pangan oleh korporasi raksasa. Sementara itu peran negara terpinggirkan hanya sebagai regulator yang lebih berpihak kepada korporasi, negara justru membiarkan korporatisasi semakin masif menguasai seluruh perekonomian rakyat.
Islam memiliki konsep yang berbeda jauh dengan neoliberal kapitalisme. Islam sebagai sebuah ideologi yang berasal dari Allah Swt mempunyai kekayaan konsep pemikiran cemerlang yang bersifat praktis.
Pengaturan pertanian dalam Islam, harus di bawah tanggung jawab kepala negara, dari hulu sampai hilir. Rasulullah Saw bersabda : "Imam (khalifah) raa'in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Ahmad dan Bukhari).
Di hadis lain Rasulullah Saw bersabda, "Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya...." (HR. Muslim).
Upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani tampak dalam dua aspek, yaitu:
(1) Aspek produksi.
Diantara hukum syara' yang berkaitan dengan upaya memproduktifkan lahan yaitu :
Pertama, Islam melarang menelantarkan lahan pertanian lebih dari tiga tahun tanpa digarap. Jika itu terjadi, maka negara menyita dan menyerahkannya kepada orang lain yang mau mengelolanya. Khalifah Umar ra. berkata, "Orang yang membiarkan tanahnya selama tiga tahun dan tidak mengelolanya, lalu datang orang lain dan mengelolanya maka orang itu berhak atasnya. "
Khalifah Umar ra. berkata kepada Bilal bin Harits yang mendapat pembagian tanah dari Rasulullah Saw dalam riwayat Abu Ubaid disebutkan, "Ambillah apa yang sanggup engkau kelola dan kembalikan selebihnya."
Kedua, Islam mendorong masyarakat agar menghidupkan tanah-tanah mati untuk pertanian. Sabda Nabi Saw, "Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu akan menjadi miliknya."(HR. At-Tirmidzi). Hadits ini akan mendorong masyarakat untuk mengelola lahan-lahan yang tidak produktif.
Dalam hadis lain Rasulullah Saw bersabda,"Siapa saja yang menghidupkan tanah yang mati, maka ia akan memperoleh pahala darinya, dan apa yang dimakan binatang (burung atau binatang liar) dari tanaman itu, maka menjadi sedekah bagi dirinya." (HR. An-Nasa'i). Hadis ini secara implisit mendorong kaum muslim untuk melakukan penghijauan. Ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan ekologi, tapi juga aspek spiritual.
Ketiga, Islam melarang negara melakukan pengaplingan tanah yang terkategori milik umum kepada pihak tertentu baik individu, investor swasta, atau asing, seperti tanah yang mengandung barang tambang yang melimpah, jalan-jalan umum, sumber dan saluran air. Abyadh bin Hamal berkata, bahwa dia pernah datang menemui Rasulullah Saw dan meminta tambang garam yang ada di Ma'rib. Lalu Rasulullah Saw. memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang di majelis itu berkata, "Apakah Anda tahu yang Anda berikan kepadanya? Anda telah memberi dia (tambang yang seperti) air mengalir." Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari Abyadh (HR. Abu Dawud).
Keempat, Negara melarang praktek sewa menyewa lahan pertanian. Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Rasulullah Saw telah melarang pengambilan sewa atau bagian atas tanah." (HR. Muslim).
Kelima, Khalifah, sebagai kepala negara dianjurkan untuk memberikan tanah kepada rakyatnya, terutama yang kurang sejahtera dan yang dianggap memiliki kemampuan untuk mengelolanya dengan sungguh-sungguh. Apabila tidak sanggup mengelolanya, maka tanah tersebut ditarik kembali. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar ra. yang meminta kembali tanah Bilal bin Harits karena ia tidak sanggup mengelola tanah yang telah diberikan Rasulullah Saw. kepadanya.
Keenam, Khalifah akan membantu memberikan sarana dan prasarana kepada semua petani yang membutuhkan, secara gratis dan non ribawi, dalam mengelola lahan pertanian. Seperti memberikan bibit unggul, pupuk, pestisida, dan irigasi. Adapun anggarannya diambil dari baitul mal.
Ketujuh, Negara mendorong pengembangan riset dan teknologi pertanian kepada PT dan lembaga riset untuk menghasilkan bibit unggul dan berbagai teknologi dan inovasi yang dibutuhkan petani. Kegiatan ini diatur oleh khalifah dengan anggaran yang juga ditanggung penuh oleh baitul mal.
Kedelapan, Negara berhak untuk menetapkan suatu tanah sebagai tanah yang diproteksi, sehingga ia tidak boleh dimiliki atau dikelola oleh siapapun. Pada masa pemerintahan Islam, tanah itu berupa padang rumput, yang digunakan untuk menggembalakan kuda-kuda perang, ternak yang diperoleh dari jizyah atau zakat, dan hewan-hewan yang tersesat yang dijaga oleh khalifah, dan ternak orang-orang yang lemah, dengan syarat tidak memberikan mudarat bagi rakyat.
Dalam konteks saat ini, negara dapat menetapkan kawasan hutan yang bertujuan untuk menyerap air ke tanah agar tidak mengakibatkan banjir, serta dapat menyerap karbon lebih banyak. Hal ini dapat mengurangi efek pemanasan akibat gas rumah kaca, yang disebabkan oleh tingginya penggunaan energi fosil dan deforestasi.
Kesembilan, Negara wajib melindungi hak setiap warga terhadap tanah mereka. Islam melarang keras mengambil atau memanfaatkan tanah milik orang lain tanpa izin dari pemiliknya. Rasulullah Saw bersabda,"Tidaklah salah seorang dari kalian mengambil sejengkal tanah tanpa hak, melainkan Allah akan menghimpitnya dengan tujuh lapis bumi pada hari kiamat kelak." (HR. Muslim).
Kesepuluh, Petani wajib membayar zakat pertanian jika ia menghasilkan tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya. Firman Allah Swt, "Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)." (QS. Al-An'am: 141). Sebagaimana dalam riwayat At-Tirmidzi, "Rasulullah Saw telah menyuruh supaya menaksir buah anggur itu berapa banyak buahnya, seperti menaksir buah kurma, dan beliau menyuruh juga supaya memungut zakat anggur sesudah kering, seperti mengambil zakat buah kurma, juga sesudah kering."
(2) Aspek distribusi.
Adanya tawar menawar secara adil dan saling ridha antara petani dan pembeli jika mekanisme pasar berjalan dengan sempurna dan tanpa distorsi. Yaitu tidak adanya penipuan, rekayasa permintaan, penawaran, pasokan barang, tekanan, dan keterpaksaan antara kedua belah pihak.
Untuk itu negara harus melakukan pengawasan, yaitu dengan melaksanakan operasi pasar secara syar'i, menghilangkan berbagai pungutan pajak barang, dan tidak melakukan penetapan harga.
Adapun bentuk pengawasan kepada penjual dengan melarang dan mencegah praktek ribawi, melarang penimbunan, serta melarang praktek tengkulak, kartel, dan sebagainya, dengan disertai penegakan hukum secara tegas sesuai sanksi dalam Islam.
Keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pertanian seperti BUMN bibit, pupuk, pestisida, seharusnya menghasilkan produk unggulan. Negara melarang BUMN mengkomersilkan layanan, namun sepenuhnya melayani kebutuhan petani.
Demikianlah sempurnanya konsep pertanian dalam Islam yang selama berabad-abad telah terbukti mampu menyejahterakan, tidak hanya bagi petani namun bagi semua masyarakat, yang ada di dalam negeri maupun rakyat di negara lain yang mengalami krisis pangan.
Wallahu a'lam bisshawab.
Setiap WN memberi masukan insya Alloh negeri ini cepat terbang menuju kemakmuran
BalasHapus