Oleh: Drs. Dodo Suwondo, MSi ( FB. Hyang Purwa Galuh )
(Wakil Ketua Dewan Kebudayaan Kuningan)
Kata adat berasal dari Bahasa Arab─dalam Bahasa Sunda dapat pula diartikan, umum atau lumrah, artinya: segala hal yang senantiasa tetap atau sering diterapkan kepada manusia atau binatang yang mempunyai nyawa. Kata adat, sedapat mungkin dipergunakan untuk menghaluskan perbuatan, perlakuan, yang membuat kebaikan dengan orang lain, yang sama adatnya dan tata cara pada umumnya misalnya yang terdapat dalam satu desa atau satu negara, baik seagama maupun berbeda agama, demikian pula kebudayaannya.
Adapun pengertian lain bahwa adat istiadat adalah kumpulan tata kebiasaan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya. Lebih jelasnya adalah bahwa; adat istiadat merupakan tata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari generasi kegenerasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat (Kamus besar bahasa indonesia, 1988 : 5, 6).
Hal tersebut dapat difahami, mengingat bahwa pada adat istiadat adalah merupakan perilaku budaya dan aturan-aturan yang telah berusaha diterapkan serta disepakati oleh masyarakat di lingkungannya. Karenanya adat istiadat pun merupakan ciri khas suatu daerah yang melekat sejak dahulu kala dalam diri masyarakat yang melakukannya. Oleh karena itu maka di dalam adat istiadat terhimpun kaidah-kaidah sosial yang sejak lama ada dan telah menjadi kebiasaan (tradisi) dalam kehidupan masyarakat. Apabila seseorang melanggar adat, misalnya dalam mengenakan pakaian yang terbalik, pakaian yang terlalu bagus atau terlalu jelek. Begitu juga dengan perkataan yang tidak sesuai dengan orang lain, duduk tidak sama rendah, berdiri tidak sama tinggi dengan sesama. Maka yang bersangkutan dapat dikatakan telah keluar dari lingkungan adat kelompoknya.
Adat istiadat itu sendiri sangat berkaitan dengan tradisi dalam lingkup budaya yang dipegang teguh oleh sekelompok masyarakat atau etnis setempat.
Sementara itu kebudayaan itu sendiri memiliki tujuh unsur yang terdapat di dalamnya, yaitu: (1) sistem religi dan upacara kaagamaan; (2) sistem organisasi kamasarakatan; (3) sistem pengetahuan dan pertanian; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) sistem mata pencaharian; dan (7) sistem téknologi peralatan.
Dari ketujuh unsur kebudayaan tersebut bukan hanya yang secara kasat mata yang memiliki bentuk, warna, dan sifat yang bernilai tradisional, namun juga dalam bentuk ritus. Hal tersebut berarti bahwa seluruh unsur kebudayaan selalu berdampingan dengan ritus. Hal tersebut karena etnis Sunda yang memiliki karakter yang menjunjung tinggi keluhungan budi sehingga tata krama kepada siapa pun dan apa pun tetap digunakan.
Dalam tradisi pertanian atau bercocok tanam, misalnya. Bahwa adat istiadat dalam pertanian di tatar Sunda memiliki kekhasan tersendiri sesuai dengan tradisi turun temurun, yaitu bercocok tanam di ladang, termasuk di dalamnya menanam padi di tanah darat yang disebut huma. Sistem menanam padi di huma ini sering terdapat dalam cerita pantun, dan yang paling menonjol adalah pada cerita Lutung Kasarung. Diketahui bahwa ketika terjadi perselisihan antara Purba Rarang dengan Purba Sari terdapat adegan Purba Rarang mengajak Purba Sari untuk berlomba menanam padi di huma. Cerita tersebut mengabarkan bahwa Purba Sari menjadi pemenang lomba tersebut. Demikian pula menurut naskah Carita Parahyangan dan Wawacan Sulanjana yang menceriterakan sejarah tabah Sunda juga menunjukkan masyarakat Sunda sebagai peladang (ngahuma). Hal ini pun mengisyaratkan kepada kita bahwa para pendahulu telah mengajarkan kepada kita tentang bagaimana memulyakan tanaman dalam bercocok tanam.
Kita tahu bahwa menanam padi di tanah darat atau huma tidak banyak membutuhkan air, sehingga walaupun menanam di tanah kering padi huma tetap tumbuh karena tidak banyak membutuhkan air. Hal tersebut dimungkinkan karena tanah Sunda pada tempo dahulu masih sangat terjaga. Keterjagaan tersebut karena orang Sunda memegang teguh falsafah yang berbunyi: (1) gunung kaian; (2) gawir awian; (3) cinyusu rumatan; (4) lebak caian; (5) sempalan kebonan; (6) walungan rawateun; (7) legok balongan; (8) dataran sawahan; (9) situ pulasraeun; (10) lembur uruseun; jeung (11) basisir jagaeun.
Sama seperti halnya sekarang di tanah Kanékés. Adapun di tatar Kuningan area penanaman padi huma sudah semakin berkurang, hanya ada di beberapa wilayah yang keadaan tanahnya masih memungkinkan, seperti di wilayah Ciniru, Cilebak, Ciwaru, dan lain-lain, termasuk wilayah-wilayah pegunungan lainnya. Itu pun sudah tak banyak petani huma, karena sudah lama beralih ke tanah sawah.
Pertanian sawah itu sendiri bagi suku Sunda adalah merupakan peradaban baru, yaitu sekitar abad ke-18 yang diperkenalkan oleh orang-orang yang sengaja didatangkan dari Mataram setelah pada abad ke-17 Sumedanglarang dikuasai Mataram. Mulai dari saat itulah awal mula tradisi bersawah di tatar Sunda.
Berdasarkan dokumen VOC, sawah pertama di Priangan dibuka di Conggeang, Kabupaten Sumedang. Sawah itu dikerjakan orang-orang dari Banyumas. Mereka membawa peralatan lengkap dari kampung, termasuk kerbau. Adapun di Indramayu, yang menjadi lumbung padi, sawah pertama baru dibuka awal abad ke-19.
Dengan perubahan tradisi mengolah huma pada lahan kering menjadi sawah pada lahan basah tentu akan mengubah segalanya, mulai dari perlatannya, tehnik dan cara pengerjaannya, sampai kebutuhan akan air, karena menanam padi di lahan basah sangat mebutuhkan air yang cukup, sesuai dengan karakter padinya itu sendiri. Selain itu muncul pula tradisi baru dalam menanam padi di sawah. Seiring dengan masuknya tradisi nyawah, pada proses menanam padi di lahan sawah sangat banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa. Maka munculah tradisi nyalin, yaitu upacara adat ngala indung paré dengan memilih buah padi yang bagus sampai mendapatkan beberapa pocong untuk disimpan di leuit, yang nantinya akan dijadikan bibit untuk musim tanam berikutnya. Upacata nyalin ini terkait dengan upacara adat sebelumnya, yaitu nyawén dan Mapag Sri.
Setelah mendapat indung paré rangkaian berikutnya adalah mengolah kembali sawah untuk tanam berikutna. Sembari mengolah sawah terlebih dahulu diadakan upacara adat mitembeyan tebar, mitembetan tandur, sampai ke mitembeyan panen (yaitu pada saat Mapag Sri dan upacara nyalin).
Upacara-upacara adat tersebut merupakan ritus yang terdapat di masyarakat Kuningan, yang merupakan tradisi turun temurun. Terdapat pula ritus-ritus lain yang berkaitan dengan kegiatan pertanian. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa bertanam padi di sawah punya karakter yang berbeda dengan lahan huma atau ladang. Padi sawah sangan membutuhkan air. Akan terjadi masalah jika terjadi kemarau panjang, masa tanam menjadi lama karena menunggu datangnya air ketika hujan tiba, dan jika tanaman padi sudah dilakukan lalu hujan tak kunjung datang maka tanaman padi akan dilanda puso akibat kekeringan.
Jika terjadi kemarau panjang dan tidak sesuai pranatamangsa maka masyarakat petani melakukan ritual meminta hujan, misalnya mengadakan sholat sunnah istisqa. Shalat sunnah istisqa ini sangat dianjurkan, dan boleh dilakukan berkali-kali. Walaupun sholat sunnah istisqa merupakan tuntunan syareat Islam namun di beberapa daerah ternyata ada yang unik, seperti misalnya; dilaksanakan di sawah kering, lebih dari itu jamaah disarankan membawa serta hewan piaraan. Hal ini seolah-olah memberikan gambaran bahwa baik manusia yang melaksanakan sholat sunnah maupun hewan yang ikut berjemur bercucuran keringat dan terasa kehausan. Tentu saja dikandung maksud agar Tuhan segera menurunkan hujan.
Bersambung ke Bagian 2
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.