Sketsa sosok Jangbaya, penguasa Luragung yang ikut berjuang bersama Bagus Rangin Jatitujuh |
Perang berkecamuk dengan sangat mengerikan di Cirebon pada dekade awal Abad ke-19 M. Bagus Rangin, yang dibantu oleh banyak pihak dari pelbagai daerah, sulit ditundukan oleh pemerintah kolonial, baik itu saat dikuasai oleh oleh orang-orang Belanda, Prancis, dan bahkan Inggris. Bangsa-bangsa kulit putih tersebut tidak dapat sepenuhnya menangani gejolak yang terjadi akibat pergerakan Bagus Rangin bersama sekutu-sekutunya tersebut.
Dalam The Conquest of Java – Nineteenth Century Java Seen the Eyes a Soldier of the Biritish Empire, Mayor William Thorn menyatakan kesaksiannya. Ia menyatakan bahwa untuk menghadapi pasukan Bagus Rangin, pemerintah kolonial Inggris mesti menurunkan banyak detasemen, mulai dari detasemen Eropa dan pribumi dibawah pimpinan Kapten Ralph hingga detasemen Bengal Sepoy (India) di bawah Kapten Pool.
Hal yang paling mendasar dari kesulitan para penjajah dalam mengurus penyelesaian perlawanan kaum bumiputera adalah ketidakmampuan mereka untuk menanggulangi pelbagai gejolak yang tersebar di banyak area. Sebab, titik perlawanan tidak hanya terjadi di wilayah pesisir Indramayu dan Cirebon, namun hingga ke pedalaman Majalengka dan bahkan Kuningan. Salah satu daerah pedalaman yang dimaksud adalah Luragung.
Pemimpin Luragung pada saat terjadinya gejolak Perlawanan Bagus Rangin (1810-1812) adalah Jangbaya. Dalam silsilah Luragung, ia dikenal sebagai salah seorang keturunan Kerajaan Galuh Sunda melalui jaringan kekerabatan para penguasa Panjalu dan Talaga. Meski kini daerah-daerah tersebut tampak terpisah dalam beberapa kabupaten yang berbeda, pada masanya Luragung terhubung secara kultural dan kekeluargaan dengan daerah-daerah penting Pasundan.
Dalam peralihan Abad 18 ke Abad 19 Masehi, pelbagai ketentuan yang ditetapkan pemerintah kolonial juga turut memberatkan penduduk Luragung. Ragam pajak yang ditentukan seiring bergantinya pucuk kepemimpinan kolonial, membuat kehidupan masyarakat semakin sulit. Jangbaya, yang juga merasakan penderitaan masyarakatnya, membuka diri untuk bertukar informasi dengan pemimpin-pemimpin pribumi lain.
Melalui jaringan tersebut, Jangbaya tidak hanya terhubung dengan para kepala lokal yang sefrekuensi, namun juga menjadi tersambungkan dengan Bagus Rangin, yang tengah melakukan perlawanan akibat nasib nestapa yang dihadapi para petani akibat kebijakan pemerintah kolonial. Dalam beberapa kesempatan, Jangbaya melakukan perjalanan ke Cirebon untuk bertemu dengan kolega-kolega perjuangannya tersebut.
Saat perang pecah pada kurun waktu 1810-1812, Jangbaya turut membantu gerakan Bagus Rangin dengan berjuang di medan laga. Tidak hanya mengobarkan letupan perlawanan rakyat di Luragung, Jangbaya juga sempat turut bergerilya di Cirebon, Majalengka, dan Indramayu, bersama pasukan Bagus Rangin. Namun ketika kedudukan kaum pejuang itu terdesak, sang penggerak meminta para sekutunya untuk melakukan gerakan yang terpisah agar konsentrasi penjajah terpecah.
Strategi perang itu terbilang ampuh, karena saat Jangbaya bersama para pengikutnya kembali ke Luragung dan menimbulkan huru hara terhadap sarana dan prasarana milik pemerintah kolonial, mereka sulit untuk ditangkap. Begitupun dengan para kepala bumiputera lain, seperti pemimpin Linggajati, Kuningan, Garawangi, dan Timbang. Namun keunggulan itu tidak dapat bertahan lama, sebab ada masyarakat pribumi yang tergiur bekerjasama dengan pihak kolonial demi keuntungan temporal semata.
Karena adanya mata-mata pribumi, pergerakan Jangbaya bersama pengikutnya dapat diantisipasi oleh pemerintah kolonial. Hal itu membuat perlawanan sang pemimpin Luragung akhirnya berhasil dipadamkan. Tidak hanya pergerakannya yang bisa dihentikan, Jangbaya dan keturunannya pun dikejar-kejar untuk diadili. Demi keselamatan keluarganya, Jangbaya menitipkan putra-putranya kepada kenalan dan sanak kerabatnya. Jangbaya sendiri tak diketahui rimbanya.
Beberapa putra Jangbaya, disembunyikan di selatan dan timur Luragung. Daerah itu dianggap lebih aman karena pada masa itu masih terbilang sepi dan belum seramai sekarang. Terlebih ada Sungai Cisanggarung yang merupakan tapal batas alamiah yang bisa menjadi penghambat gerak perjalanan manusia, khususnya ketika air sungai meluap. Daerah itu juga terdiri dari rangkaian perbukitan yang lebih tidak ramah kepada para pendatang yang belum akrab dengan daerah tersebut.
Kini setelah 200 tahun lebih peristiwa itu terjadi, nama Jangbaya tidak banyak dikenal oleh masyarakat Kuningan, bahkan termasuk di daerah Luragung itu sendiri. Namanya hanya diketahui oleh segelintir orang, khususnya yang menggeluti budaya dan sejarah masyarakat. Meski demikian, semoga perjuangan itu menjadi inspirasi bagi kita untuk dapat memperjuangkan kehidupan masyarakat agar menjadi lebih baik dan jauh dari penderitaan.
oleh: Tendi Chaskey
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.