oleh : Ika Candra Destiyanti
Indonesia sebagai negara multikultural menjadi role model dunia akan kerukunan umat beragama berbeda suku. Di indonesia semua identitas di apresiasi baik oleh masyarakat dan pemerintah, contohnya saja hari ibu, hari anak, hari buruh, hari bumi, hari santri hari ayah hingga hari besar keagamaan dirayakan dengan meriah oleh masyarakat dan diresmikan oleh pemerintah. Hal ini membuktikan indonesia semarak akan identitas dan masyarakatnya mengakui keberagaman. Tidak hanya diakui, setiap kultur berhak tampil di ruang publik.
Tampilnya setiap identitas di ruang publik hingga di apresiasi baik oleh pemerintah dan masyarakat tidak hadir begitu saja didalamnya terdapat perjuangan fisik dan diplomasi. Sehingga ketika di raihnya legalitas identitas maka berhasilnya simbolik kepentingan tertentu mendapatkan kedudukannya di tengah masyarakat. Dan sangat disayangkan ketika perjuangan fisik dan diplomatik berakhir pada kepentingan kepentingan yang bersifat material yang cenderung mengedepankan kepentingan elite tertentu.
Permasalahan terbesar terhadap perebutan klaim historis identitas tertentu justru menjadi konsumsi elite dan para masyarakatnya yang tergabung dalam eforia identitas hanya di posisikan sebagai penonton kesaksian atas kesuksesan identitas yang menjadi besar di tengah masyarakat multikultural. Bagaimana posisi masyarakat kelas bawah mendapatkan haknya berbangsa dan bernegara? Mereka yang tidak mendapatkan posisi elite dalam identitasnya tetap memperjuangkan kehidupannya, memperjuangkan pendidikannya dan tetap memperjuangkan hasil jerih payah nya setiap hari. Jelas hal ini menggambarkan isu isu ketimpangan sosial antara posisi elite dan posisi masyarakat umum. Sementara untuk hajat hidup orang banyak terabaikan.
Ruang publik sebagai bentuk aktualisasi diri setiap identitas terlihat sebagai ranah yang streril yang solutif dalam menghargai keberagaman namun isu isu ketimpangan sosial dan kerusakan alam tidak tersentuh di ruang ini kaum elite tetap terus memperjuangkan kepentingan kepentingan materialnya tanpa tahu bagaimana polemik ketimpangan sosial inter identitas terjadi. Penggambaran ini mencerminkan bahwa indonesia menjadi negara yang semarak indentitas minus solidaritas.
Undang Undang Nomor 8 Tahun 2016 menyatakan penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Sehingga penyandang disabilitas memiliki hak yang di akui Undang Undang No 8 Tahun 2016 , Penghormatan terhadap martabat, otonomi individu, tanpa Diskriminasi, partisipasi penuh, keragaman manusia dan kemanusiaan, Kesamaan kesempatan, kesetaraan, Aksesibilitas, kapasitas yang terus berkembang dan identitas anak inklusif serta perlakuan khusus dan Pelindungan lebih
Dari Undang undang yang termaktub diatas persamaan dan kesetaraan disabiltas di akui negara dan penyandang disabiltas berhak mendapatkan kesetaraannya dan berkembang melalui perlakuan khusus tanpa membedakan kategorisasi disabilitasnnya. Namun hingga saat ini perjuangan disabiltas kelas bawah justru menjadi atensi akan isi yang tertuang dalam Undang Undang No 8 Tahun 2016. Mereka tetap berjuang untuk kehidupannya, mereka masih tertatih tatih melawan stigma masyarakat sebagai kelompok nomor dua.
Sebagai Refleksi penulis dalam hari sumpah pemuda 28 Oktober lalu semoga kita tidak termasuk dalam masyarakat yang semarak identitas namun minim minoritas. Selalu meningkatkan kepedulian dengan tidak memilah kita berada di komunitas mana. Isu isu ketimpangan sosial baik inter identitas maupun antar identitas perlu di atasi dengan tuntas.***
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.