Sebuah Tinjauan Terhadap Guru Mengabdi
Kisah Inspiratif Guru Mengabdi Membangun Kuningan MAJU
Judul : Guru Mengabdi
Kisah Inspiratif
Guru Mengabdi Membangun Kuningan MAJU
Pengarang : Asep Ajat
Sudrajat, dkk.
Penerbit : Maghza
Pustaka, Margomulyo
Tahun terbit : 2021
Ketebalan buku: 127
Halaman
Cerita inspiratif adalah kisah yang
menggugah pembacanya untuk menjadi lebih baik melalui pengalaman penuh
inspirasi dari sebuah cerita. Melalui
teks cerita inspiratif, pembaca akan mendapatkan pembelajaran moral atau
sosial. Tak hanya itu, para pembaca teks cerita
inspiratif diharapkan mampu menanamkannya dalam kehidupan.
Lalu apa yang
dimaksud dengan inspiratif? Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), inspiratif berasal dari kata 'inspirasi'
yang berarti ilham. Jadi, teks
cerita inspiratif merupakan teks yang berisi cerita baik
fiksi maupun pengalaman penulis yang benar-benar terjadi, yang
mampu menggugah inspirasi dan semangat seseorang yang membacanya.
Siapapun bisa
mendapatkan ilham atau inspirasi kapan dan di mana saja, dan bisa yang
terlihat, terdengar, dan terasa. Jika seseorang melihat sebuah kecelakaan,
dongdangan nasi goreng dan pedagangnya tertabrak sepeda motor, misalnya. Tentu
orang tersebut akan mengembangkan pikirannya dan membayangkan berbagai
persoalan. Kasihan dia baru keluar, belum dapat uang. Kasihan sekali
dagangannya ancur. Kasihan sekali keluarganya di rumah, seharusnya menunggu
pendapatan malah harus masuk rumah sakit. Dan lain-lain.
Orang yang melihat
kejadian tersebut tak mungkin membayangkan bahwa dia sebenarnya sangat
berkecukupan. Dia punya usaha lain yang lebih dari sekedar tukang nasi goreng.
Dia berdagang nasi goreng hanyalah pengisi waktu luang, juga sebagai tambahan
pendapatan, di samping hobi. Lalu orang-orang juga sudah terbiasa menghujat si
penabrak dengan tuduhan; ngebut tanpa aturan, membawa motor sambil mabok, dll.,
dan pasti hanya tahu bahwa si pengendara adalah orang yang berkecukupan, yang
harus bertanggung jawab atas kejadian tabrakannya. Orang yang melihat tersebut
tak mungkin pula membayangkan bahwa si penabrak adalah orang yang miskin,
sepeda motornya pinjaman, dia terburu-buru karena istri di rumah mau melahirkan
dengan keadaan menghawatirkan, sementara keadaan ekonominya sangat susah.
Dari peristiwa
tersebut seorang penulis dapat mengembangkannya menjadi dua cerita (dua judul)
dengan inspirasi (ilham) “dongdangan nasi goreng dan pedagangnya tertabrak
sepeda motor”, (1) menceriterakan nasib tukang nasi goreng dan keluarganya; (2)
menceriterakan nasib si penabrak yang harus bertanggung jawab, dan penulis
melukiskan dia sebagai orang yang berkesusahan.
Itulah yang
dimaksud isnpirasi atau ilham dalam sebuah cerita.
Lalu bagaimana
dengan tema “Kisah Inspiratif Guru Mengabdi Membangun Kuningan MAJU?” Hal ini
dapat dimungkinkan menjadi dua terjemahan. Yang pertama penulis menceriterakan
seorang guru yang mampu memunculkan inspirasi yang hebat dan tepat dalam
melaksanakan pembelajaran di kelas, dan yang kedua adalah guru itu sendiri mampu menciptakan inspirasi ketika
melaksanakan pembelajaran di kelas. Hal tersebut mengingat bahwa “Kata
inspirasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kamus versi online/dalam
jaringan), inspirasi /in·spi·ra·si/ n ilham; menginspirasi/meng·in·spi·ra·si/ v
menimbulkan inspirasi; mengilhami: mudah-mudahan acara historis itu dapat ~
kita untuk tujuan yang lebih mulia dan besar;. Dapat dikatakan bahwa kata
inspirasi bemakna ilham, kemudian kata ilham diberi akhiran -if bermakna
bersifat. Sehingga arti kata inspratif adalah yang mampu memberi insprasi atau
ilham. Selanjutnya kata guru yang inspiratif bermakna guru yang mampu memberi
inspirasi atau ilham.” (A.
Syalaby Ichsan, REPUBLIKA.CO.ID)
Contoh peristiwa
kecelakaan, dongdangan nasi goreng dan pedagangnya tertabrak sepeda motor di
atas dapat pula dijadikan inspirasi oleh guru. Misalnya seorang guru ketika mau
berangkat ke sekolah secara kebetulan melihat peristiwa tersebut. Bagaimana
seorang guru PKN menginspirasi peristiwa itu dalam materi sila kedua? Bagaimana
seorang guru agama menerapkannya dalam pelajaran Agama? Demikian pula guru mata
pelajaran lainnya. Seorang guru Penjaskes tentu akan menerapkannya dalam materi
pertolongan pertama pada kecelakaan. Guru IPS akan mengajarkan bagaimana
bersikap sosial kepada korban kecelakaan, dan guru agama tentu saja mengajarkan
kepada anak didiknya agar selalu memberikan doa untuk orang yang terkena
musibah. Dengan demikian maka pendidikan karakter akan dapat diterapkan secara
nyata.
Dalam Guru Mengabdi
terdapat 18 judul karangan dari delapan belas penulis yang kesemuanya adalah
guru─mulai dari guru Kober/PAUD, guru TK, guru SD, SMP, dan juga SMA. Hampir
semua karya berupa kisah pribadinya yang merupakan bagian dari autobiografinya.
Dalam Linimasa Sang Pengabdi, Asep Ajat mengisahkan bahwa, “... Di sela-sela itu, istri mengisi hari-harinya dengan mengajak
anak-anak kecil usia 3-6 tahun untuk belajar, bermain di rumah. Pengalamannya
sebagai guru TK di Jakarta yang dititi karirnya mulai tahun 2008 membuatnya
lebih menghayyati perannya, meski pada saat itu tidak ada pungutan biaya apa
pun.” (Guru Mengabdi, 2021 : 3). Kegiatan mengajak anak-anak kecil usia 3-6
tahun untuk belajar Asep Ajat dan istrinya terinspirasi oleh istrinya, Cucu
Cunayah yang pernah mengajar di TK, di Jakarta. Jadi bukanlah inspirasi Asep
Ajat ketika sedang melaksanakan pembelajaran. Namun demikian ini patut diacungi
jempol, karena kedua pasangan suami istri ini telah mampu membangun sebuah
lembaga pendidikan setingkat PAUD di tempat tinggalnya.
Taryuni dalam Anak
Petani Lulus S2 sepertinya ingin berbicara tentang “Kisah orang tua tidak tamat SD tapi berhasil menyekolahkan anaknya
hingga S2 ...” (Guru Mengabdi, 2021 : 13) dalam kalimat pertama dan
paragraf pertama membuat pembaca penasaran─bagaimana kiatnya? Namun
paragraf-paragraf berikutnya adalah kisah keberhasilan Taryuni sendiri yang
memiliki semangat pantang menyerah dalam menapaki jenjang pendidikan hingga dapat
lulus S2. Adapun Suleha dalam “Menjemput Pahala” bercerita tentang
keikhlasannya dalam menempuh tugasnya sebagai Kepala Sekolah yang menurutnya
cukup jauh antara tempat tinggal dan tempat kerjanya.
Dalam Nining
Rohini, “Mengabdi Dan Menghidupi Adalah Panggilan Hati” dilukiskan perjalanan
seorang Nining Rohini dalam pengabdiannya menjadi seorang pendidik. Mohamad
Sidik mengisahkannya mulai dari awal menjadi tenaga honorer selama 20 tahun
sampai mendapatkan SK THL, bahkan lengkap dengan pekerjaan tambahan Nining. Ini
artinya Mohamad Sidik terinspirasi oleh Sang guru tersebut. Betapa keprihatinan
Nining begitu mengundang perhatiannya sehingga menjadi buah pikiran penulis
untuk diangkat menjadi sebuah cerita. Mohamad Sidik melukiskan pula keuletan
Nining dalam meniti kehidupannya, yang selain menjadi guru honorer, ia juga
berjualan telor asin, ikan, kerupuk, dan lain lain untuk menambah
penghasilannya─karena ia juga sudah lama ditinggal suami. Dikisahkan pula bahwa
Nining adalah seorang wanita yang aktif di masyarakat sehingga patut dicontoh
oleh rekan-rekannya. Namun tidak ditemukan bagaimana Nining mendapatkan
inspirasi yang mampu membuat anak didiknya betah dalam suasana belajar. Akan
tetapi keteladanan Nining terletak pada keuletannya dan pantang menyerah.
Dari kedelapan
belas penulis 13 diantaranya hanya mengisahkan nasib dan kesuksesan pribadinya.
Asep Sudiana yang lebih dikenal sebagai penulis puisi (Indonesia, Sunda) kali
ini mencoba menulis cerita dalam “Dua Sejoli Abdi Negeri Sepenuh Hati”. Dan ia
menceritakan kisah Pa Arkam─guru SD Negeri Suganangan, dan Ibu Rohanah, istrinya
yang menjadi guru di SD Negeri 2 Ciawilor. Asep Sudiana mengagumi mereka
berdua. Adapun Maman, M.Pd. dalam kisahnya “Dari Kuningan Untuk Indonesia”, pula
tidak ditemukan inspirasi tentang kesuksesannya dalam memeberikan materi
pembelajaran. Sepenuhnya hanya menceriterakan bagaimana dia sukses menjadi
penulis buku pelajaran (Buku Paket). Walaupun nampaknya ada sedikit kekeliruan.
“Bagi saya, tawaran menulis dari Pusat
Kurikulum dan Perbukuan Kemendikburistek itu merupakan anugrah Tuhan yang tak
terhingga nilainya.” (Guru Mengabdi, 2021 : 31)
Maman merasa bangga
ketika ditawari menulis buku paket Bahasa Indonesia oleh Jajang, guru SMA
Negeri 5 Bandung untuk program Pusat Kurikulum. Maman lupa bahwa sebelumnya sudah
menulis (bersama tim) buku pelajaran Bahasa Indonesia di Penerbit Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, penerbit nasional terkemuka yang sudah berdiri sejak
tahun 1958. “Sebelum mendapat tawaran
yang menjanjikan ini, saya pernah menulis buku paket Bahasa Indonesia untuk SMA
kelas X, XI, dan XII yang diterbitkan oleh PT Tiga Serangkai Solo.” (Guru
Mengabdi, 2021 : 28). Dari sinilah kebanggaan dimulai─untuk Dari Kuningan Untuk
Indonesia adalah di TS, karena bisa jadi Jajang pun mengajak Maman adalah
setelah melihat dan membaca karyanya dari bubu yang diterbitkan PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri. Apa pun imajinasi dan buah pikiran Maman tentu harus
diacungi jempol, sekalipun dalam Dari Kuningan Untuk Indonesia tidak ditemukan
inspirasi dalam pembelajaran.
Adalah Lia
Lugiawati, S.Pd. dengan “Buah Kesabaran Guru PAUD” yang cukup mencuri perhatian. Lia telah
sukses mengemas buah pikirannya dalam bentuk cerpen, bukan biografi atau
autobiografi. Inilah calon cerpenis asal guru PAUD. Cerpenis handal masa depan.
....
Saya menyapa dan meraih tangan anak kecil itu yang masih memegang
ujung baju neneknya.
“Selamat pagi? Siapa namamu nak?”
Anak manis itu tak menjawab, malah tambah pegang erat
tangan neneknya.
“Inay, bu guru nama panggilannya, ayo salim cu.” Jawab
neneknya, sambil menyuruh Inay, dan Inay pun meraih tangan saya yang masih
terlihat malu-malu.
.... (Guru
Mengabdi, 2021 : 38)
Kreatif dan
imajiner. Itulah yang patut disematkan untuk Lia. Bukan hanya itu, Lia berhasil
melukiskan Ibu guru Lia yang sabar, lembut, dan familier─bisa menjadi ibu,
kakak, dan bisa pula menjadi sahabat.
....
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, tepat satu
bulan inay belum ada perubahan, Inay masih tetap ditunggui neneknya si kelas,
bila kegiatan berdoa, bernyanyi tidak pernah mau mengikuti dan herannya anak
manis ini tak pernah dengar suara atau bicara juga terlihat main sama
teman-temannya di waktu jam istirahat. Tak ada senyum, anak manis ini dingin
sekali. Hanya mengerjakan tugas sederhana yang tidak mengeluarkan suara seperti
melipat, membentuk plastisin, meniru bentuk garis, menciptakan bentuk dari
balok, meniru gerak, baru Inay mau mengerjakannya.
.... (Guru
Mengabdi, 2021 : 39)
Demikian Lia
melukiskan tokoh Inay, anak dingin dan pendiam─murid Bu guru Lia. Terdapat
inspirasi yang cukup kuat ketika cuaca mendung yang lalu turun hujan di sekitar
sekolah─TK Tunas Bangsa II Cigadung. Waktu itu pembelajaran seharusnya di ruang
terbuka, namun Bu guru Lia memindahkannya ke ruangan kelas serta mengajak
anak-anak didiknya. Tehniknya cukup jitu. Dengan sabar Bu guru Lia terus membimbing
parasiswa termasuk Inay, sehingga akhirnya
....
“Aku bu guru.”
Suara yang lembut terdengar di samping saya, Inay
mengacungkan tangannya beranjak ke depat. Sungguh hari itu hari yang paling
bahagia untuk saya, tentunya rasa sabar dan harapan saya berbuah manis pada
waktunya.
“Inay ... hebat, ayo nak ambil gambarnya.” Saya sambut
dengan mengusap kepalanya.
.... (Guru
Mengabdi, 2021 : 41)
Lain halnya dengan
Yiyin Chendraeni, S.Ag. yang menjadi “aku” dalam “Takdir Itu Indah”. Di sini
“aku” yang semula selalu bimbang dalam cita-citanya. Semula “aku” terkesan dengan
Ibu gurunya ketika di sekolah dasar sehingga ia tertarik untuk menjadi guru,
namun kemudian ketika di SMP “aku” tertarik pula untuk menjadi perawat. Dia
terkesan dengan perawat yang merawat ibunya ketika dirawat di rumah sakit.
Kebimbangan pilihan itu berlanjut hingga ke SMA, dan ia tertarik ingin menjadi
ahli tehnik yang nantinya dapat bekerja di pertambangan. Namun akhirnya “aku”
harus menuruti saran dan kehendak orang tuanya sendiri yang menjadi guru. “Aku”
akhirnya kuliah di Prodi Pendidikan, untuk kelak menjadi guru─sebagaimana
inspirasiku ketika sekolah di SD. Itulah kisah pembuka dari seorang Yiyin dalam
kisahnya. Lalu bagaimana setelah menjadi guru? Ternyata Yiyin mampu menerapkan
ide-idenya dalam rangka mencerdaskan anak, dan bukan hanya anak menjadi cedas,
tetapi juga berkarakter.
Yiyin menginspirasi
dirinya dalam pembimbingan kepada anak didiknya agar mereka memiliki karakter
yang kuat, khususnya religius. Yiyin bukan hanya mengajar yang harus terpaku
dengan kurikulum (KIKD), akan tetapi mewarnainya dengan berbagai tehnik dan
pendekatan manusiawi. “Awal mengajar
dengan rasa pedenya mungkin kita dapat saja merasa lebih tahu dari siswa dan
lebih berhak untuk memerintah atau menyuruh anak dengan gaya bahwa kita lebih
tua dari mereka padahal mungkin itu akan membuat anak justru merasa melakukan
tugas yang kita perintahkan. Dan gaya seeperti itu harus diubah bagaimana
caranya agar anak-anak dengan kesadaran sendiri mau melaksanakan tugasnya.
Inilah yang coba kita lakukan. Merubah kalimat menyuruh menjadi mengajak. Salah
satu cara penerapannya yakni penerapannya dalam acara rutin sepekan yang biasa
kami lakukan yakni di hari Kamis dengan sebutan KAMIS FATHONAH.” (Guru
Mengabdi, 2021 : 74)
Lain Yiyin lain
pula Lina Hernawati. Kalau Yiyin di awal cerita ada kegalauan dalam memilih
cita-cita, Lina Hernawati, S.Pd., M.Pd. berkisah dalam “Sebuah Pembuktian”
tentang kegalauannya dalam meniti kariernya. Lina mengajar di SMKN. 3 Kuningan
dengan mata pelajaran IPA Biologi, Lina merasa terancam dalam pengampuannya
karena sekolah tersebut menghilangkan mata pelajaran itu. Lina dengan sabar
mencari sekolah lain untuk perpindahan tugas, sampai akhirnya diterima di SMAN
1 Luragung. Di sinilah Lina mulai tenang melaksanakan kewajibannya sebagai guru
dengan mata pelajaran biologi sesuai dengan pengampuannya. Sampai suatu ketika
..., “kira-kira di kelas kalian ada yang gak ikut study
tour gak ya ..., ada bu ...” kebetulan di kelas yang aku singgahi satu kelas
hampir sepertiganya tidak mengikuti study tour.
“wah kenapa ya, kok gak ikut!”
“Gak punya uang bu... oh gitu, baik deh kalau begitu,
kira-kira siapa yang mau ikut tournya belajar sama ibu tapi nantinya lomba,
tersipu malu-malu, sedikit senyuman mereka tipis-tipis, ayo... siapa” sambil
tatapanku tertuju ke siswa, dia Namanya Sri Novianti, aku tanya, “ .... (Guru Mengabdi, 2021 : 82)
Lina terinspirasi dari
keadaan siswa yang terpaksa tidak ikut study tour karena terganjal pembiayaan.
Lalu Bu guru Lina mengajak siswa ke ajang lomba tentang fisiologi dan anatomi manusia
yang diselenggarakan oleh Jurusan Keperawan, STIKU. Ada trenyuh dalam hati
namun Lina tidak memperlihatkan roman keprihatinan. Pasalnya parasiswa yang
diajak lomba adalah mereka yang secara ekonomi cukup lemah, sehingga tidak ikut
study tour. Dan, Bu Lina menghiburnya dengan study belajar untuk dipersiapkan ke
ajang lomba.
Dikisahkan bahwa
ternyata keikutsertaannya membuahkan hasil. Sri (anak didiknya) berhasil
menjadi juara ke-2 lomba itu. Tentu saja ini merupakan buah dari kesabaran,
keuletan, serta semangat yang dimiliki.
Aning Suhaeni dalam
“Muridku Sayang Muridku Malang” boleh jadi gagal dalam menyelamatkan Siti Susi
Susilawati, anak didiknya yang anak dari seorang ibu yang menderita gangguan
jiwa. Dikisahkan bahwa ada trauma yang diderita ibunya Susi semenjak
ditinggalkan almarhum suami keduanya. Hal itu bermula dari perpecahan rumah
tangganya dengan suami pertama. Mereka bercerai dan hak asuh anaknya jatuh ke
tangan bapaknya─mantan suaminya. Dikisahkan semenjak suami keduanya meninggal
Sang ibu tidak mau jauh dari Susi, anak keduanya dari suami kedua. Bukan hanya
di rumah, ke sekolahpun bahkan sampai harus ikut masuk ke ruang kelas─duduk
sebangku bersama Susi.
Aning terus
berusaha membujuk ibunya Susi agar tak ikut masuk ke dalam kelas, dan lama
kelamaan berhasil ibunya Susi tidak lagi mengikuti anaknya masek kelas, ua
menunggu di luar kelas atau kadang-kadang di kantin. “... Ketika istirahat Aku selalu mencoba mengajak ngobrol Ibunya
merayunya agar jangan ikut ke kelas. Rayuanku ternyata berhasil, esok harinya
Ibunya tidak ikut masuk ke kelas, dia menunggui anaknya di luar kelas kadang ia
menunggu di kantin.” .... (Guru
Mengabdi, 2021 : 97)
Perjuangan Aning
membimbing Susi ternyata terjegal oleh datangnya wabah covid 19, pembimbingan
pun dilakukan dengan mendatangi rumahnya karena semua sekolah tidak boleh
melaksanakan tatap muka. Walaupun demikian Susi bisa naik ke kelas enam. Pada
akhir kisah Susi, dikabarkan bahwa ia tidak dapat melanjutkan sekolahnya karena
sakit kejiwaan ibunya semakin parah.
Dari pemaparan di
atas dapat disimpulkan bahwa ke-18 kisah hanyalah merupakan kisah pribadi,
tentang keluh kesah, tentang kebanggaan, dan tentang harapan. Belum nampak
inspiradi guru yang mampu menumbuhkan semangat belajar bagi para siswa. Namun patut
diacungi jempol untuk karya Lia Lugiawati, S.Pd., Yiyin Chendraeni, S.Ag., Lina
Hernawati, S.Pd., M.Pd., dan Aning Suhaeni, S.Pd.I. Mereka telah mampu
menginspirasi dirinya dalam membimbing para siswanya.
Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah tata tulis dan redaksional─terkait dengan ejaan dan pola
kalimat, struktur kata, dan struktur kalimat.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.