Hot News
7 Desember 2021

Tanggapan Pelurusan Terkait Makam/Petilasan Pangeran Pasarean di Desa Ancaran

Penulis : Raden Hamzaiya

(Wargi Keturunan Keraton Kasepuhan, Sekertaris Santana Kesultanan Cirebon. Ketua Tim Pelestarian Kepustakaan/Sejarah Keraton Kaprabonan)

Cirebon semakin berkembang seiring dengan keberhasilan Syarif Hidayatullah menjadikan Cirebon sebagai salah satu kesultanan Islam di Jawa, di samping Demak dan Banten. Siapa Syarif Hidayatullah itu? Menurut sumber-sumber tradisi, Syarif Hidayat adalah putera Nyai Lara Santang dari hasil pernikahannya dengan Sultan Mahmud (Syarif Abdullah). 

Nyai Lara Santang adalah anak Ki Gedeng Tapa. Ia dilahirkan tahun 1404 Masehi dan nikah pada tahun 1422 Masehi. Nyai Lara Santang sendiri lahir tahun 1426 Masehi. Di atas disebutkan bahwa Cakrabuwana beserta adiknya yang bernama Nyai Lara Santang pergi berguru kepada Syakh Datuk Kahfi yang sudah bermukim dan mendirikan perguruan agama Islam di Bukit Amparan Jati. 

Atas saran Syekh Datuk Kahfi, Cakrabuwana beseta Nyai Lara Santang pergi menunaikan ibadah haji. Setelah melaksanakan ibadah haji, Cakrabuwana mendapat gelar Syekh Duliman atau Abdullah Iman, sedangkan Nyai Lara Santang mendapat gelar Syarifah Mudaim (Atja, 1972: 48 – 49). Diceritakan bahwa Syarifah Mudaim ketika masih di Makkah dinikahi oleh Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah. Ia adalah anak dari Nurul Amin dari wangsa Hasyim yang nikah dengan puteri Mesir. Hasil dari pernikahan Syaifah Mudaim dengan Sultan Mahmud ini lahirlah Syarif Hidayat. Syarif Hidayat lahir di Makkah pada tahun 1448 Masehi.

Setelah dewasa, Syarif Hidayat kembali ke tanah leluhur ibunya, Tanah Sunda. Dalam perjalanan pulang dari Mesir ke Tanah Sunda, Syarif Hidayat singgah di beberapa tempat, yaitu Gujarat, Pasai, Banten, dan Gresik. Tempat-tempat ini terkenal sebagai pusat penyebaran agama Islam di Indonesia. Ketika singgah di Pasai, Syarif Hidayat bermukim agak lama. Ia berguru kepada Syekh Ishak, ayah Sunan Giri. Ketika singgah di Banten didapatkannya di daerah itu sudah ada yang menganut Islam berkat upaya dakwah Sunan Ngampel. Dari Banten, Syarif Hidayat pergi ke Ampel Denta (Gresik) untuk menemui Syekh Rahmat (Sunan Ngampel) yang sudah terkenal sebagai guru agama Islam di Pulau Jawa Sunan Ngampel, sebagai pemimpin Islam di Pulau Jawa,  memberi tugas kepada Syarif Hidayat untuk menjadi guru agama dan menyebarkan Islam di Bukit Sembung (Cirebon). Memenuhi perintah Sunan Ngampel tersebut, Syarif Hidayat pergi ke Cirebon dan tiba di sana tahun 1470 Masehi. Sejak itu ia mendapat gelar Maulana Jati atau Syekh Jati.

Dari berita Tome Pires dan babad-babad diketahui bahwa sejak Demak berdiri sebagai kerajaan dengan Pate Rodim atau Raden Patah sebagai rajanya, daerah pesisir utara Jawa Barat terutama Cirebon telah ada di bawah pengaruh Islam dari Demak. Jika didasarkan pada berita Tome Pires itu, berarti Islam sudah ada di Cirebon sejak lebih kurang tahun 1470 – 1475 Masehi (de Graaf, 1952: 153). 

Kerajaan Demak menanamkan pengaruhnya di Pesisir utara Jawa Barat tidak lepas dari kepentingan politik dan ekonomi. Secara politik, Kerajaan Demak ingin memutuskan hubungan Kerajaan Sunda yang masih berkuasa di daerah pedalaman dengan Portugis di Malaka. Secara ekonomi, dinilainya bahwa pelabuhan-pelabuhan Cirebon, Kalapa, dan Banten mempunyai potensi besar dalam mengekspor hasil-hasil buminya (Tjandrasasmita, 1993: 20).

Pada tahun 1479 Masehi Syarif Hidayat diangkat menjadi Tumenggung di Cirebon dan mendapat gelar Susuhunan Jati. Selain sebagai pemimpin pemerintahan, Susuhunan Jati mendapat tugas dari para wali untuk menjadi pemimpin agama Islam di Cirebon. Cirebon pun ditetapkan sebagai pusat penyebaran Islam di Tanah Sunda+. 

Pada tahun 1526 Masehi, Susuhunan Jati berkeliling ke seluruh Tanah Sunda untuk menyebarkan agama Islam. Karena kesibukan Susuhunan Jati menyebarkan Agama Islam, kedudukannya sebagai penguasa negeri Cirebon diwakilkan kepada puteranya yang bernama Pangeran Pasarean. Pada tahun 1552 Pangeran Pasarean meninggal dunia. Kemudian penguasa negeri Cirebon diserahkan kepada Fadhilah Khan pada tahun 1552 Masehi. Menurut naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Fadhilah Khan adalah menantu Susuhunan Jati sendiri. Fadhilah Khan berkuasa di Cirebon hingga tahun 1570.

Dengan demikian, bila riwayat hidup Syarif Hidayat diringkaskan, maka dapat diuraikan sebagai berikut: berkait dengan nama, diperoleh sejumlah nama yang menunjukkan orang yang sama yaitu Sunan Gunung Jati, Susuhunan Jati, Syarif Hidayat, Syarif Hidayatullah, Makhdum Jati, dan Sayyid Kamil. Syarif Hidayat lahir di Mekkah tahun 1448 Masehi, meninggal di Cirebon tahun 1568 Masehi. Antara tahun 1479 – 1568 Syarif Hidayat memegang kekuasaan di Cirebon sebagai kepala negara dan kepala agama dengan luas wilayah meliputi hampir seluruh Tanah Sunda bagian utara. Akan tetapi sejak 1528 – 1552 kekuasaan kenegaraan diwakilkan kepada puteranya, Pangeran Pasarean; dan setelah puteranya wafat dari tahun 1552 hingga 1570 kekuasaan diwakilkan kepada Fadhilah Khan

Pada tahun 1568 Syarif Hidayatullah wafat dan dimakamkan di Astana Gunung Sembung, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Dengan meninggalnya Sunan Gunung Jati, maka terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, putera Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Ia telah menduduki jabatan penting dalam birokrasi pemerintahan Kerajaan Islam Cirebon, sehingga namanya pun berubah dari Pangeran Sawarga menjadi Pangeran Dipati Carbon. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565

Menurut sumber tradisi, kekosongan pemegang kekuasaan itu diisi oleh Fadhillah Khan. sampai meninggal pada tahun 1570 Masehi (Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad, 1991: 64, 86-87).Ia dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung. Meskipun telah memerintah Cirebon, menggantikan Sunan Gunung Jati, namun Fadhillah tidak diberi gelar apapun, baik Susuhunan, Pangeran, maupun Panembahan. Ia hanya disebut Wong Agung Pase atau Ratu Bagus Pase, yang berarti orang besar dari Pasai (Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad, 1991: 71-72).

Sepeninggal Fadhillah Khan oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, tahta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas  putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I  dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun (1570-1649). Dasar pertimbangan tahta itu jatuh ke tangan Panembahan Ratu I adalah; pertama, Panembahan Ratu-I mempunyai kedudukan kuat dilihat dari pertalian darah, ia adalah cucu Sunan Gunung Jati; kedua, tidak ada calon lain yang setara kedudukannya dengan Panembahan Ratu I. Ia adalah putera lelaki tertua Pangeran Swarga Dipati Carbon, putera Pangeran Pasarean (Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad, 1991: 75).

Ketika Pangeran emas menduduki tahta Kerajaan Cirebon, tidak ada masalah apapun. Suksesi berjalan mulus, meskipun dari segala usia masih relatif muda. Hal ini dimungkinkan karena pada saat itu situasi di Cirebon cukup kondusif, Kerajaan Sunda sudah bukan merupakan ancaman lagi bagi eksistensi Cirebon. Dengan Kerajaan Pajang terjalin hubungan yang sangat erat. Demikian pula dengan Banten, Banten masih tetap konsisten memandang Cirebon sebagai sumber pertama eksistensi kesultanannya. Selain itu, hubungan perdagangan dengan luar negeri berjalan lancar, pelabuhan-pelabuhan sebagai aset kerajaan Cirebon yang amat penting terpelihara keamanannya sehingga kapal-kapal dagang asing makin banyak yang singgah untuk melakukan transaksi dengan masyarakat Cirebon (Sunardjo, 1996: 44).

Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Ratu II (1649-1662/1667) (Sunardjo, 1983: 128).

Pada masa pemerintahannya, ia mengalami masalah ketika diminta oleh Amangkurat I (1645-1677) Raja Mataram, yang juga mertuanya, untuk mendekati Banten dan membujuknya supaya bergabung dengan Mataram serta  menghentikan serangannya kepada Belanda yang menjadi sahabat baik Amangkurat I, karena Amangkurat I mengetahui bahwa Banten dan Cirebon pada awalnya adalah satu rumpun keturunan dari Sunan Gunung Jati. Permintaan itu dilaksanakan oleh Panembahan Ratu II. Beberapa kali diadakan pembicaraan dengan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten, tetapi tidak membuahkan hasil. Bahkan Sultan Banten menghimbau agar Cirebon lebih baik bersekutu dengan Banten daripada dengan Mataram, serta memperingatkan bahwa melihat perilaku Amangkurat I terhadap Cirebon, dapat menyebabkan Cirebon kehilangan kedaulatannya. Sebagai akibat gagalnya membujuk Sultan Banten, Amangkurat I menilai Pangeran Adiningkusuma telah mengecewakannya dan dituduh bersekutu dengan Banten (Sunardjo, 1996: 53-54).

Pada tahun 1662, Amangkurat I mengundang Panembahan Adining-kusumah untuk datang ke Mataram disamping untuk menghormatinya juga mempertanggungjawabkan sikapnya terhadap Banten dan juga Mataram. Disertai oleh kedua orang puteranya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, ia memenuhi undangan tersebut. Namun, setelah upacara penghormatan selesai, mereka tidak diperkenankan kembali ke Cirebon, melainkan harus tetap tinggal di ibu kota Mataram dan diberi tempat kediaman yang layak serta tetap diakui sebagai penguasa Cirebon. Meskipun demikian, sesungguhnya mereka telah menjadi tahanan terhormat (tahanan politik). Penahanan ini terjadi mungkin akibat kekesalan Sunan Mataram terhadap raja Cirebon yang mengalami kegagalan dalam melakukan serangan ke Banten pada tahun 1650. Di ibu kota Mataram, Panembahan Adiningkusuma ditempatkan bersama kedua puteranya di sebuah rumah di kompleks perumahan bangsawan Mataram. Ia menetap di sana sampai ia meninggal dunia pada tahun 1667  yang kemudian dikenal dengan sebutan Panembahan Girilaya.  Sejak Panembahan Adiningkusuma dan kedua puteranya berada di ibu kota Mataram, pemerintahan sehari-hari di Cirebon dilaksanakan oleh Pangeran Wangsakerta yang tidak ikutserta ke Mataram antara tahun 1662-1667 (Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad, 1991: 89-90).

Dalam perkembangan selanjutnya, ketika terjadi pemberontakan Trunajaya terhadap Mataram pada tahun 1677  dan Trunajaya berhasil menguasai keraton Mataram, Pangeran Wangsakerta dibantu Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten berusaha membebaskan Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya dari tahanan Mataram. Kedua Pangeran Cirebon itu akhirnya dapat dibebaskan dari Mataram dan kembali ke Cirebon melalui Banten. Tatkala Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya berada di Banten, Sultan Banten mengangkat kedua Pangeran itu sebagai sultan di Cirebon dan menetapkan pembagian wilayah serta rakyat masing-masing. Pangeran Martawijaya menjadi Sultan Sepuh dan Pangeran Kartawijaya sebagai Sultan Anom. Sementara itu Pangeran Wangsakerta diangkat menjadi Panembahan Cirebon, tetapi tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton secara formal (Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad, 1991: 93).

Gelar kepala negara Cirebon, sejak putera Panembahan Girilaya naik tahta pada tahun 1677, berubah dari gelar Panembahan menjadi Sultan sebagaimana digunakan oleh Sultan keraton Kasepuhan, yaitu Pangeran Martawijaya dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703) dan Sultan Kanoman yaitu Pangeran Kartawijaya dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723). Gelar Sultan ini diberikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, karena keduanya pun dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibu kota Banten. Sebagai Sultan, mereka mempunyai kekuasaan penuh; mempunyai wilayah kekuasaan, rakyat, dan keraton masing-masing. Adapun putera lelaki lain Panembahan Girilaya, yaitu Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi Sultan,  melainkan hanya sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713). Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton sendiri. Tempat tinggalnya hanya berupa rumah besar biasa yang terletak di sebelah Timur keraton Pakungwati (Cheribon, 37.5; Subagja, 1990: 54-55). Dengan pengangkatan itu, eksistensi Kesultanan Cirebon yang dibangun oleh Sunan Gunung Jati berakhir

.

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Tanggapan Pelurusan Terkait Makam/Petilasan Pangeran Pasarean di Desa Ancaran Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan