(Ki Pandita)
“Percuma saja menjelaskan
Karena kau tidak ada di sana”
***
Hujan begitu pekatkan jalan. Si Jagur, Vespa VBB 64 telor asin melaju pelan ditiup angin malam yang menusuk tulang. Pilihan sederhana namun sulit, antara menembus derai atau menepi. Beberapa kubangan harus dilalui dengan hati-hati, jika tidak ingin celaka. Perjalanan sendiri yang jauh sudah ditempuh antara Jogja, Bekasi, Cirebon, Kuningan. Mencari apa, dan untuk apa? Percuma saja menjelaskan, karena kau tidak ada di sana.
Jalan menanjak arah Gronggong, Beber laju ke Caracas, remang cuaca yang terus semakin lebat. Bejo menghentikan Si Jagur, sebab lampu depan mulai redup lalu mati. Kebetulan ada sebuah warung kosong yang sudah tidak terpakai. Vespa dituntunnya.. parkir agak ke dalam teras. Sendiri, kuyup oleh hempasan hujan yang belum juga berhenti. Berusaha beristirahat sejenak, diterangi lampu kendaraan yang lalu lalang.
Dari bagasi samping Vespa, diambilnya sebuntal kain yang membungkus botol minuman. Vespa ini dinamai “Si Jagur” (si jago minum anggur). Duduk berselonjor pada lantai berdebu, dibukanya Chivas Regal. Direguk dengan penuh kekudusan dan perasaan lepas. Percuma saja menjelaskan, karena kau tidak ada di sana.
“Sepertinya nikmat sekali minumannya.” Terdengar suara dari sebelah belakang.
“Masih ada. Mau”? Bejo mengulurkan botol minuman ke arah lelaki sepantaran.
“Aku, Gugun.” Lelaki itu mengenalkan nama. Bajunya pun sama kuyup terdera hujan. Di sudut wetan teras warung, Vespa Sprint 76 kuning kehijauan dengan ransel kumal. Dihiasi penyok, goresan serta karat di beberapa sisinya. Dibukanya juga bungkusan berisi singkong rebus yang sudah dingin. Bekal dari rumah.
“Aku, Bejo.” Keduanya duduk di teras warung kosong. Berbagi singkong dan Chivas. Berbagi cerita menembus temaram waktu.
“Rencana mau kemana?” Gugun menepis sunyi, memulai obrolan.
“Kabur dari rumah. Kabur dari Isteri, berisik. Cari ketenangan.”
“Perempuan memang begitu.”
“Sudah menikah juga?”
“Belum. Berkali-kali jatuh cinta, tetapi masih gagal.”
“Perempuan memang sulit dimengerti.”
“Iya.”
“Sekarang mau kemana?”
“Jogja, kuliah ambil S2.”
“Woooow. Sekalian cari jodoh, siapa tau ada perempuan yang khilaf.”
“Hahahaa.....”
Kendaraan mulai sepi, hanya terlihat sesekali. Hujan belum reda, sedangkan malam terus berjingkrak menghembuskan aroma yang tidak bisa dijelaskan.
“Kabur kemana?”
“Melihat pantai Pangandaran.”
“Ya.... Vespa sedang berkumpul di sana.”
“Setelah itu, pulang ke rumah, kembali?”
“Harus pulang. Anak Vespa harus pulang ke rumah. Tidak selamanya hidup berkelana.”
“Iya, sering kali aku lupa pulang.”
“Tidak mudah untuk pulang, butuh keberanian untuk menghadapi kenyataan.”
Kilatan petir membelah gumpalan awan. Suaranya menghentak jantung. Di kebun seberang jalan, nampak pohon kelapa hangus tersambar. Genangan air semakin keruh dan bertambah banyak. Aroma kemenyan tercium mendekat, bercampur wangi melati. Pelan-pelan suasana berwarna hitam-putih. Vespa Sprint 76 terlihat abu abu lalu menjadi asap. Ditatapnya sosok Gugun yang juga berubah warna. Mereka saling menatap tajam. Sebelum tubuhnya menghilang, Gugun berpesan, “Jangan lupa pulang, kawan.”
Si Jagur, Vespa VBB 64, dinyalakan lagi. Ajaib, lampunya kembali menyala dengan terang. Diteguknya kembali Chivas yang hanya setetes. Tinggal menentukan sikap, antara terus ke pantai atau pulang.
Ciremai, Pertengahan Februari 2022.
Untuk para pecinta Vespa.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.