Oleh : Vera Verawati
Tubuh terbaring lemah bagai tak bertulang, waktu menggerus setengah kekuatan dari hidup yang telah dilalui. Rambut hitam itu sebagian kemilau perak, tubuh yang dulu tegap, gagah kini ringkih berlekuk di punggung yang terus memikul suluh.
Tak perlu menjelaskan pada musim, berapa lama berganti antara hujan, panas dan gigil terus berselisih menyisakan cerita usang pada tiang-tiangnya. Telah keropos oleh zaman yang menggila sedang diri masih asik menikmati sepi di sudut kali.
Rayuan semerdu buluh perindu, ajakan semesra panah asmara menghujam. Mengajak hengkang dari peradaban alam. Menuju hidup yang tak saling sapa meski bersisian, tak perlu bicara meski berhadapan. Ini zaman masihkah bertema kemanusiaan.
Jika gubuk bambu yang nyaris rubuh pun harus diratakan. Demi menyamakan kemegahan, entah siapa yang di untungkan. Karena murai-murai kecil mulai bertebaran kehilangan sarang.
Jangan usik tubuh-tubuh renta pemuja senyap. Jangan usir jiwa-jiwa damai yang terlahir dari kesunyian. Meski menjadi bagian yang hampir sirna. Keberadaan itu ingin tetap ada. Jika perlahan kau gagahi pepohonan hingga belantara hilang.
Satu-satu akan tetap menanam hingga tumbuh berkembang perlahan. Memberi bunga, memberi warna, member aroma, memberi tenaga, menyambung nyawa. Dan harapan-harapan yang hampir pudar, kembali berpijar meski samar.
Pondok bambu biarkan tetap pada keberadaannya. Meski atap yang dianyam oleh mimpi musim dingin, tiang-tiang terbuat dari doa dan keihklasan. Tubuh-tubuh itu akan setia mendampingi melewati sunyi, cukup di riuhkan bisik dedaunan dalam simfoni bumi persada.
Kuningan, 120222
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.