Gerimis tipis menghias kaca spion Vario. Sofia, Bidan gemuk berkerudung biru, duduk membereskan tensimeter. Udara terasa lembab dengan hembusan angin berdebu. Daun-daun kering dari pohon mangga di pekarangan rumah berhamburan di tanah. Di ruang kecil berukuran tiga kali empat meter itu ia menyendiri sekedar menenangkan hati.
Diceknya kembali percakapan di WA. Suaminya meminta ijin untuk pulang larut untuk menemani pejabat yang kebetulan singgah di kota. Berharap nanti ada sedikit recehan bisa dibawa pulang. Setiap orang boleh bermimpi. Siapa tau jika dekat dengan pejabat, ada kesempatan untuk melompat dari keadaan sekarang.
Berkali-kali suaminya malah tidak bisa diandalkan. Begitukah lelaki? Kerjanya hanya membuat janji-janji indah, dan tidak jelas realisasinya. Padahal kenyataan dan kebutuhan keluarga harus segera dijawab.
Sofia tahu benar, suaminya seorang pembohong, dan ia sungguh mencintainya.
Menunggu lelaki berhenti berbohong merupakan hal yang sangat menjengkelkan.Sebab akan diulangi dan diulanginya lagi walau pun dengan sumpah untuk berhenti. Tidak pernah ada kapoknya.
Musik mengalun laun dalam ruangan: “aku hanya punya hati, tapi kamu mungkin tak pakai hati. Kamu berbohong aku pun percaya. Kamu lukai ku tak peduli. Coba kau fikir dimana ada cinta seperti ini...... Tak usah tanya kenapa aku Cuma punya hati. Aku Cuma punya hati.” Langit bertambah mendung.
Menjadi seorang Bidan Desa dituntut untuk lebih punya perasaan. Bukan hanya mengatasi ibu melahirkan. Persoalan tetangga curhat hutang, ribut suami-isteri, cerita perselingkuhan sampai ribut dengan mertua. Kadang lebih setres memikirkan masalah orang lain dan lupa pada masalah sendiri. Tubuhnya lambat laun semakin gemuk.
Sofia menengok dari gorden, ke arah teras rumah. Sebuah motor butut tanpa plat nomer berhenti. Suaminya pulang. Seorang lelaki kurus jangkung berkulit sawo dengan kepala agak botak, menggendong tas abu, masuk ke dalam rumah. Dilepasnya sepatu dan langsung mendapatkan segelas air untuk minum. Matanya menoleh memandang Sofia dengan senyum tanpa daya. Dirogohnya dari kantong jaketnya yang kumal, secarik amplove berisi uang dan meletakannya di meja kaca. “Aku mau mandi dulu.”
Kebohongan seringkali menjadi tidak penting lagi untuk diributkan ketika kebutuhan bisa terpenuhi walau sedikit. Sofia juga tahu, bahwa tidak semua uang itu diserahkan padanya. Entah, suaminya sudah membeli rokok atau Anggur Malaga, itu sudah tidak penting lagi.
“Ayah sudah makan? Di dapur ada tumis kangkung.” Sofia menyapa suaminya dengan lembut.
“Perut masih terasa kembung, mungkin masuk angin tadi. Bikin teh hangat dulu, nanti kalau sudah agak enakan, baru makan.”
Sofia beranjak segera membuatkan teh hangat. Ia tahu, sebetulnya suaminya sudah kenyang. Entah ia sudah makan ditraktir pejabat, atau ia berhenti di warung dan makan dengan perempuan lain. Itu hal biasa.
Diletakannya gelas berisi teh hangat di meja depan suaminya yang sedang duduk. Ditatapnya dengan lekat. Hanya ada dua perasaan yang berkecamuk dalam batinnya. Jengkel dan cinta.
Nyai Sri Rejeki
Majalengka, Awal Agustus 2021
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.