Vera Verawati
Roda-roda itu menggilas jalanan lalu melaju cepat, secepat keinginan untuk segera sampai di hadapannya, wajah teduh dengan senyum lembut itu telah mengusik egonya. Meski untuk mendengar suaranya saja tak begitu mendapat respon seperti harapannya.
Petikan gitar dendang lagu balada tentang perjalanannya menemukan tambatan kedua, lupa atau berpura-pura lupa jika di teras depan telah terkurung merpati betina yang menjaga setia untuknya. Mengasuh anak-anaknya sendirian.
Namun benang sutra itu melilit di pergelangan kaki, saat langkah mulai salah. Maka langkah berikutnya bunyikan lonceng pertanda, segala upaya mencipta wahana tentang fantastiknya mendua.
Hari kemarin dihabiskan untuk duduk menekuri wajah itu, semakin ingin abaikan semakin liar tangan itu menggambarkan tegas, kuas menari gemulai menjelma rasa dalam satu wajah yang baru dikenal beberapa purnama namun merasuk menguasa sukma.
Tanpa bertanya keangkuhan memaparkan daftar keinginan atas kehadiran yang belum juga ada balasan. kesombongan itu lumat, saat uluran tangan itu tidak saja diabaikan melainkan di tepiskan dengan hanya satu pandangan menghujam.
“Lukisan ini untuk terakhir kalinya, tak ada lagi tentangmu setelah hari ini.”
Ada iba tertera di hati terdalam, namun cukup sudah, tak ingin mengukir perih memendam luka, jangan lagi ada kisah lelaki yang menepi untuk meminta diri menjadi siri. Terpojokkan pada keadaan yang selalu menunjuk satu jari atas semua kesalahan.
Cukup sampai di sini, kisah usai sebelum dimulai. Pucat kecewa terbias di wajah yang terlihat menua, tinggi impian tak seindah bayangan. Dipikir mudah menarik tangan itu kedalam pelukan, ternyata sulit bahkan diabaikan.
Kuningan, 170322
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.