suarakuningan.com – Anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) yang mengajukan permohonan untuk ijin pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, ada diantaranya yang pernah menjadi penyadap saat kawasan tersebut masih dalam pengelolaan Perhutani.
Diantaranya Ginar (50) yang sempat menyadap tahun 1993 hingga 2003. Ginar beserta istri dan ayahnya menjadi penyadap. “Alhamdulillah dapat jadi nafkah keluarga kami, bagi saya pekerjaan apapun yang penting halal, akan dilakukan untuk nafkah keluarga,” kisahnya.
Ginar menambahkan,” karena areal penyadapan menjadi penopang hidup kami,ya otomatis keamanan, kondisi lingkungannya pun kami jaga. Kalau lingkungan rusak, ya kami juga kena dampaknya.”
Ginar berharap dengan adanya peluang penyadapan kembali di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, dapat meningkatkan ekonomi keluarganya.
Ketua KTH Palutungan, Sarman (58)berharap dengan peluang pemungutan HHBK ini dapat meningkatkan ekonomi masyarakat.
Pria yang juga menjabat Kasi Kesra Desa Cisantana ini menceritakan banyak melemahnya ekonomi warga desa terutama masa pandemi ini. Peluang-peluang kerja sekecil apapun menjadi harapan bagi masyarakat. Beberapa diantaranya eks penggali batu yang kini menganggur, kami bersyukur bila peluang ini dapat terwujud.
Di kawasan eks Perhutani ada tanaman kopi, alpukat,kina yang jika dibuka zona tradisional diharapkan dapat bermanfaat bagi ekonomi masyarakat. Tentu, komitmen bersama untuk menjaga kelestarian, keamanan dan kenyaman hutan Gunung Ciremai ini menjadi tanggung jawab bersama.
“pohon pinus sendiri bukan tanaman endemi, nanti setelah tua dan mati, bisa reboisasinya dengan tanaman lokal khas asli Gunung Ciremai. Jika masih produktif usianya, berharap bisa ada peningkatan nilai ekonomi dari pinus yang ada,” tuturnya.
Ketua Paguyuban Masyarakat Tani Hutan (PMTH) Eddy Syukur didampingi anggota Kelompk Tani Hutan (KTH) menyampaikan sangat berhati-hati dalam rencana kegiatan aktivitas di hutan. “Berbagai aturan dan ketentuan dari pemerintah kita patuhi. Seandainya pemerintah merespon hasil pansus anggota dewan Kabupaten Kuningan untuk peninjauan zona tradisional, ini diharapkan menjadi penopang hidup masyarakat desa sekitar hutan. Kita memang orang pinggiran,tapi kami juga patuh terhadap aturan pemerintah,” ujarnya.
Eddy memaparkan Peraturan Dirjen KSDAE Nomor P.6 Tahun 2018 Tentang Juknis Kemitraan Konservasi Pada KSA & KPA. Dimana ruang lingkup peraturan ini, meliputi: a. Kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat; b. kemitraan konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem; dan c. pembinaan, pengendalian monitoring dan evaluasi.
Bentuk kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat dapat berupa:
a. pemberian akses; b. kerjasama antara pemegang izin pada kawasan konservasi dengan masyarakat setempat.
“Peluang Pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dengan tetap mengedepankan berbagai dasar, pertama: berdasarkan peraturan, kedua: berdasarkan bukti-bukti yang fatual dan sejarah tanaman komoditi berupa tanaman HHBKyang didukung data faktual atas dasar luasan persebaran tanaman yang akan dipungut oleh pemohon akses; jadi berdasar evident / bukti adanya kegiatan semasa PHBM Perhutani di areal tersebut, bisa untuk dimohonkan kembali; Ketiga, berdasarkan atas keilmuan adanya kajian-kajian konprehensif serta analisa yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; keempat, berdasarkan pengalaman yang sudah dilaksanakan di tempat lain, bahwa beberapa KSA dan KPA seperti Taman Nasional Halimun Salak, Taman Nasional Gede Pangrango, dll yang sudah menerapkan pola kemitraan ini lebih dulu. Dari keempat dasar tersebut, bukti keberadaan pohon pinus bukanlah ditanam perhutani, pada saat itu merupakan tanaman masyarakat sambil menanam palawija selama 6 tahun. Setelah tegakan tinggi dan naungan menutup, otomatis masyarakat tidak lagi bisa menanam. Dengan sisa tanaman sisipan petani menjadi pupuk, pohon utama tumbuh baik,” paparnya.
“Penanaman bersama masyarakat ini menguntungkan Perhutani, sehingga saat krisis ekonomi, Perhutani tidak terdampak hebat, karena pemeliharaan tanaman berkolaborasi dengan masyarakat,” ujarnya.
Eddy menceritakan bahwa kebakaran di Gunung Ciremai diperkirakan masyarakat terjadi setiap 10 tahun sekali terjadi kebakaran cukup besar. Hal ini menjadi fenomena alam yang terjadi di Gunung Ciremai. Sudah status Taman Nasional pun dua kali terjadi, yakni tahun 2006 dan terakhir 2017.
“Kelima, pola kemitraan konservasi ini sangat menganut prinsip hati-hati. Dalam hal ini masyarakat diharuskan berhati-hati dari bencana kebakaran hutan, kerusakan hutan, pencurian, perburuan liar dsb. Walaupun sebagai orang kampung, kami juga punya perasaan, naluri dan hati. Masyarakat pun tidak mau kawasan itu rusak, karena pasti akan dirasakan dampaknya langsung oleh masyarakat sekitar hutan. Secara ketat dalam proses pemungutan HHBK agar tetap memperhatikan kelestarian alam serta tidak merusak lingkungan,” tuturnya.
Dan untuk menjamin kelangsungan fungsi Ekologi, Sosial dan ekonomi ini, Eddy yang pernah bersama LPI PHBM, dan beberapa LSM menandatangi Deklarasi Kabupaten Konservasi bersama Bupati Aang dan Ketua DPRD dr. Toteng ini berharap LSM dan Akademisi untuk dapat mendampingi Masyarakat Tani Hutan agar dapat manfaat secara ekonomi bagi masyarakat sekaligus membimbing masyarakat dalam menjaga kawasan.(red)
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.