"Jadi kau ini tidak puasa..!" hardik pak Ustad yang mempekerjakan aku membangun rumah barunya.
"Hari ini saya membongkar atap rumah pak Ustad. Di atas sana panasnya sungguh membuat saya tak tahan menahan haus," jawabku saat kepergok aku minum air teh tawar pemberian warung di seberang jalan.
"Jangan-jangan tiap hari kau ini tidak berpuasa?!" suara pak Ustad berubah tak ramah, "ya Tuhan, sungguh berdosa aku telah mempekerjakan orang yang lalai akan kewajibannya."
"Tidak pak Ustad, baru hari ini saya tak tahan haus dan membatalkan puasa. Sungguh."
Pak Ustad beralih perhatian memanggil lima orang teman kerjaku. Serempak mereka mendekat dalam sikap hormat sekaligus takut di hadapan pak Ustad.
"Siapa lagi yang tidak berpuasa hari ini?" pak Ustad memeriksa semua teman kerjaku satu persatu dengan tatapan matanya yang tajam seolah hendak menerobos bagian dalam dada mereka.
"Ampuni kami, pak Ustad, hari ini kami semua tak tahan dengan suhu terik yang tak biasa ini. Kami kehausan, tetapi tidaklah lapar. Karenanya kami batal puasa sekedar minum saja," teman kerja tertua mewakilkan yang lain.
Terdengar pak Ustad beristighfar berulangkali seraya mengelus dada. Sedang kami berenam yang merubungi pak Ustad hanya menunduk yang kami bisa. Sungguh luar biasa wibawa pak Ustad yang satu ini, untuk bertatap mata saat biacara saja, tak ada dari kami berani beradu pandang.
"Dua hari lagi lebaran. Ini hari terakhir kalian bekerja untuk sementara. Setelah lebaran mungkin dilanjutkan? Atau, entahlah? Aku tidak suka mempekerjakan orang-orang yang tak patuh pada perintah agama."
"Ampuni kami, pak Ustad. Besar harapan kami untuk melanjutkan pekerjaan ini setelah lebaran," kembali teman tertua mewakili kami.
Pak Ustad tak bersahut, beliau melangkah mendekati mobilnya kemudian kembali ke tengah-tengah kami untuk membagikan upah kerja kami selama sepekan terakhir.
"Terima kasih, pak Ustad," kami semua serempak menghaturkan terima kasih.
"Mustinya kalian juga menerima THR sesuai janjiku tempo hari. Namun kalian telah mengecewakanku. Jadi cukuplah aku penuhi kewajibanku membayar apa yang menjadi hak atas keringat kalian," pungkas pak Ustad tanpa menunggu di antara kami bersuara lagi, beliau berlalu.
Di antara kami sempat terjadi ajang saling menyalahkan tetapi tidak sampai pada tahap pertengkaran. Kami pulang ke rumah masing-masing.
"THR itu tidak kau terima, pak?" selidik isteriku setelah aku bercerita singkat sesampainya di rumah.
"Sebenarnya THR bukanlah hak kita yang harus diharapkan. Kan pak Ustad tetap memenuhi kewajibannya atas hak-ku?"
"Kenapa pula bapak membuat pak Ustad gusar? Membatalkan puasa segala?" debat isteriku belum juga rela kehilangan THR.
"Aku dan yang lain hari ini sungguh tak tahan kehausan. Dan yang membatalkan kami hanya minum. Tidak.makan apa pun."
"Iya, Pak. Tapi bagaimana dengan kedua anak kita? Aku terlanjur janji membelikan mereka baju."
"Gunakan saja upahku sepekan yang kau terima itu. Apa sulitnya?"
"Kau ini, Pak! Kalau upahmu ini aku belikan baju anak-anak, lantas apa yang akan aku masak untuk lebaran nanti? Tabungan kita tak punya!"
Mendengar protes isteriku macam itu, mulutku kaku seketika. Tak ada alasan dapat keluar dari mulutku untuk membantahnya.
"Aku tak tega berterus terang pada anak-anak kalau aku membatalkan beli baju mereka. Kau saja yang bicara pada anak-anak, Pak!" ketus isteriku seraya berlalu menuju dapur.
Tubuhku yang lelah kian terasa layu dituntut istriku untuk bicara pada kedua anakku yang masih kecil, "ya Tuhan, bila bekerja untuk menafkahi keluarga adalah bagian dari ibadah, kenapa kau biarkan pak Ustad memergoki aku yang tak puasa? Kenapa kau hukum aku melalui orang sholeh seperti pak Ustad juraganku itu? Dan mengapa pula harus ada lebaran dengan segala tradisinya yang 'membebani' seorang kuli sepertiku?"
Iwenk. W
Kuningan 01-05-2022
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.