Ciap anak burung terjatuh tepat di pangkuan, lelaki itu penuh kasih menyentuh, berjalan mencari dimana letak sarang. Tepat pada ranting yang mulai mengering, haruskah dipindahkan atau biarkan tetap di sana, agar sang induk tak kehilangan.
“Tempatkan semula.”
Bisik dedaunan menyadarkan, biar rimbun kami yang menaungi, gegap kami menjaga dari segala bahaya. Bisunya menyelamatkan dari para pemburu, yang berebut merenggut, menebang, menggali. Setiap bulir nyaris tak tersisa selain bencana.
Seperti lelaki itu, tak kenal terik membakar, tak surut meski hujan ribut mengguyur. Dibawah tempias masih saja basah, beberapa lembar ribuan di saku, rasa tak tega untuk ditukar sepiring harapan dan sepotong impian masa depan.
Beberapa gedung lagi, terlihat rumah Tuhan di depan mata, setengah berlari dibawanya seperangkat alat menjahit sepatu, satu dua orang tergopoh mendorong gerobak asa yang juga masih penuh isinya. Sebelum matahari merajuk pergi, berbelas kasih pada Illahi.
Wajah-wajah beku terpampang pada pilar-pilar bertuliskan asma-Nya. Ringkih tubuh kurus menunggu peluh tersipuh dalam sebungkus kehidupan. Tak banyak yang diminta, setidaknya tak harus ada kata meminta terucap pada sesama.
Peperangan telah membumihanguskan harga diri, haruskah baju-baju tersingkap demi kata, “Beri aku,makan.” Tulikan saja telinga, pasang saja topeng paling manis, agar rintih ini tak harus terdengar oleh dinding dengan melangitkan janji-janji.
Meronta jiwa rasa terkoyak, tawa terbahak memaksa luka di pak dalam kotak cinta. Saat meringis bayangkan saja sejuta ciuman berhamburan, jangan kunci agar setiap saat merasakan lembutnya kecupan.
Teruslah melangkah, pada setiap pilihan akan temukan satu jalan menuju pulang. Meski telah robek busana tersangkut diriuhnya rasa lapar. Berjalanlah tengadah, karena masih ada rumah tempat kembali cinta tumbuh dan teus berbunga.
Secret Island, 270722
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.