Akhirnya, aku menuai karma atas kesombonganku. Yang tertinggal, hanyalah penyesalanku. Dina, perempuan yang perasaannya kucampakkan dahulu, mungkin tak akan bisa memaafkanku. Sedang kini, aku hanya seorang lelaki yang telah kehilangan nilai fisik, yang tak lagi diandalkan siapa-siapa. Aku hanya lelaki pincang setelah aku mengalami kecelakaan sepeda motor.
Karena
merasa bersalah kepadanya, aku pun tertarik menuliskan kisah kami. Aku ingin
mengungkapkan keresahan hatinya terhadapku melalui cerpen. Aku harap, ia akan senang
mendapatkan cerita yang mewakili perasaannya. Karena itulah, aku menuliskan cerpenku
tersebut dengan sudut pandang orang pertama, sebagai dirinya, demi menggugah
emosinya.
Tekadku
menghadiahinya cerpen tentang kami di hari ini, memang begitu menggebu-gebu.
Itu karena hari ini, tepat dua tahun sejak aku menyepelekan perasaannya. Kala
itu, aku menepiskan maksud hatinya saat ia menunjukkan gelagat cintanya. Aku
mengisyaratkan ketidaktertarikanku untuk menjadikannya kekasih di tengah
hubungan kami sebagai sahabat baik:
"Kenapa
kau tidak juga punya kekasih? Padahal, kulihat-lihat, kau punya kemampuan untuk
menaklukkan hati perempuan. Kau cerdas dan tampan," uliknya, hari itu, ketika
kami mengobrol di taman kampus selepas kami wisuda, kala kami menghadiri acara
pengkaderan organisasi kemahasiswaan
bidang penulisan ilmiah yang kami kecimpungi saat masih mahasiswa.
Aku
lantas mendengkus angkuh. "Aku hanya belum menemukan perempuan yang
menarik perhatianku. Yang ada selama ini, biasa-biasa saja di mataku."
Ia
pun mengangguk-angguk dengan bibir manyun, kemudian bertanya dengan tatapan
segan, "Memangnya, perempuan yang menarik bagimu, yang seperti apa?"
Dalam
sejenak, aku pura-pura merenung, lalu menjawab dengan enteng. "Yang pasti,
harus cantik. Yang rambutnya lurus, tubuhnya langsing, dan kulitnya
putih," tuturku, menyebut ciri-ciri fisik yang tidak ada pada
dirinya.
Seketika,
raut wajahnya berubah muram. Tampak sangat kecewa. "Apa persoalan fisik
semacam itu sangat penting bagimu? Bukankah lebih baik jika mendapatkan pasangan
hidup yang baik hati?" sidiknya, terkesan mencari celah agar aku
mendambakannya.
Aku
lantas tergelak pendek. "Soal hati yang baik, ya, tentu perlu. Tetapi soal
fisik yang menawan, ya, tak kalah perlunya juga. Aku mencari perempuan yang sesempurna
itu. Apalagi, aku kan tampan dan baik hati juga."
Ia
pun tersenyum kecut, kemudian memalingkan wajah dariku.
"Oh,
ya, aku juga mendambakan perempuan yang memiliki kesenangan yang normal.
Maksudnya, aku tak suka perempuan yang gemar memboroskan uang untuk membeli
buku dan menghabiskan waktu untuk membaca, apalagi cerita-cerita fiksi. Kurasa,
itu hobi yang tak berguna," sambungku, menyentil kebiasaannya.
Sontak
saja, ia tampak tersinggung. Ia pun menyengir pilu dan tak lagi menyinggung soal
percintaan.
Akhirnya,
karena kekecewaannya terhadapku, sejak saat itu, kami tak pernah lagi berjumpa.
Tanpa memberitahukan kepadaku, ia beranjak ke kampung halamannya, di pulau
seberang, dan menetap di sana. Kami pun tak lagi mengobrol, entah melalui sambungan
telepon atau media sosial. Kami seperti sama-sama merasa tak lagi punya
kepentingan untuk berkomunikasi.
Tetapi
kukira, kelancanganku membunuh harapannya kepadaku, memang sudah semestinya.
Meskipun kami dekat sebagai sesama mantan pengurus sebuah organisasi
kemahasiswaan, tetapi aku sungguh tak mengidamkannya untuk menjadi kekasihku.
Karena itu, ketimbang membiarkan perasaannya terus berkembang untukku,
membuatnya patah hati segera, kurasa lebih baik.
Belum
lagi, pada masa-masa itu, aku merasa tinggi diri. Aku merasa patut mencampakkan
perempuan yang tidak menarik perasaanku, sebab aku mudah menaklukkan perempuan
yang kuidamkan atas pesona diriku. Setidaknya, aku terkenal cerdas sebagai
lulusan terbaik di fakultasku, dan punya banyak penggemar sebagai pemain basket
yang gagah.
Tetapi
pada akhirnya, nasib buruk menerpaku. Setahun yang lalu, aku mengalami
kecelakaan sepeda motor yang membuat tulang pahaku patah. Aku pun hanya bisa
berjalan dengan berjingkat-jingkat. Karena itulah, aku jadi kehilangan harapan untuk
menjadi atlet basket profesional, serta kehilangan daya untuk tampil menarik di
mata kaum hawa.
Perlahan-lahan,
aku makin menginsafi dosa-dosa kecongkakanku terhadapnya. Aku menyesal telah merasa
sebagai lelaki yang sempurna, hingga enteng mencampakkan perasaannya dengan
cara yang sangat kasar. Sebab itulah, di tengah ketunaan fisikku selama ini,
aku terus berharap ia bisa memaafkan keangkuhanku yang telah menggoreskan luka yang
perih di hatinya.
Rasa
bersalahku terhadapnya pun, makin menggugah keinsafanku, sebab aku malah jatuh ke
dalam kesenangannya yang dahulu kukira tak berfaedah. Selama masa penyembuhan
kakiku, hingga kini, aku terus mengakrabi buku-buku untuk mengalihkanku dari
perasaan bosan. Aku bahkan jadi gandrung membaca buku fiksi. Dan perlahan, aku terdorong
untuk menjadi penulis.
Sampai
akhirnya, setelah sekian lama berlatih menulis cerpen untuk muatan di blog
pribadiku saja, aku pun berhasrat untuk menerbitkan karyaku di media arus utama
yang bergengsi. Aku ingin mengorbitkan namaku sebagai penulis di kalangan para
pengarang ternama. Karena itulah, aku bertekad untuk menulis sebuah cerpen
tentang kami dengan seapik mungkin.
Demi
rencana besar itu, sejak dua hari yang lalu, aku pun bergelut untuk merampungkan
cerpen yang menggambarkan kisah kami. Aku menuliskan tentang tokoh
"aku" yang kuimajinasikan sebagai dirinya. Tokoh "aku" lalu
jatuh hati kepada lelaki yang merupakan teman dekatnya. Namun tokoh
"aku" harus menerima kenyataan pahit, sebab sang lelaki tidak
menyukainya karena perkara fisik. Tokoh "aku" pun pasrah dan berhenti
berharap. Sampai akhirnya, sang lelaki mengalami kecelakaan kerja yang membuat
wajahnya terbakar dan jadi menyeramkan.
Demikianlah
sebuah cerpen tentang kisah nyata kami yang kubalut dengan rekayasa fiksi. Sebuah
cerpen yang kuciptakan untuk menyuratkan perasaannya kepadaku. Dan kuyakin, saat
ia membacanya, ia akan lekas merasa sebagai tokoh "aku". Ia pun akan tersentuh,
sebab ia mendapatkan satu cerpen yang berhasil mewakili keresahan hatinya
terhadapku.
Hingga
akhirnya, pagi tadi, aku mengirimkan cerpen itu ke alamat e-mail sebuah media
daring ternama yang kusasar, dengan menyertakan nama penaku. Dan seturut dengan
keyakinanku, tak cukup satu jam setelahnya, aku pun mendapatkan konfirmasi
rencana pemuatan: Terima kasih atas
kiriman cerpen Anda yang sangat menyentuh hati. Kami akan segera memuatnya.
Dan
siang ini, aku pun menyaksikan cerpenku telah dimuat. Seketika, tautan cerpen itu
menyebar di media sosial melalui akun media daring tersebut. Bahkan secara
khusus, sang redaktur fiksi membagikannya di akun Facebook-nya, dengan menyertakan
keterangan: Sebuah cerpen untuk Anda yang
pernah dicampakkan oleh seseorang yang Anda cintai karena perkara fisik.
Akhirnya,
aku merasa misiku telah berhasil, sebab sang redaktur fiksi media daring tersebut
tiada lain adalah Dina.***.
Ramli Lahaping.
Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis
di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com).
Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui
Instagram (@ramlilahaping).
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.